Jreenggg!
Sebuah e-mail yang tak terduga telah masuk ke kotak pesanku. Nama pengirimnya, memang enggak asing lagi bagi para murid di Kompasiana ini, dan dikenal dengan penulis fiksi bermuatan psikologis dan kesehatan. Siapa ya, namanya? Ah, biar kalian yang jawab sendiri deh.
Tapi yang jelas, dia menanyakan padaku soal bagaimana rasanya jadi anak blasteran, ada rasa diskriminasi-kah? Ahaaaa.... saya seperti mendapatkan teman senasib dalam satu kesamaan aliran darah; sama-sama punya "darah asing". Belum lagi dengan ciri khas yang membuat mereka gampang ditebak: kok beda ya, apa ini bukan "orang Indonesia asli"?
Sungguh, pertanyaan semacam ini telah memaksa saya untuk berpikir lebih dalam, seakan masuk laci waktu terus pergi ke masa-masa sebelumnya. Akhirnya, diriku telah menemukan jawabannya, yang insyaAllah bisa menjelaskan bagaimana suka-dukanya menjadi anak blasteran. Tak cukup bermodalkan pengalaman diri, saya pun juga punya beberapa teman semasa kecil-selingkungan yang saya dengar ceritanya, yang kalau berdasarkan ras itu ternyata bernasib sama; berdarah campuran!
***
Sebentar lagi "dunia Tionghoa" akan merayakan Sin Cia. Apa itu? Kebanyakan dari kalian pasti enggak ngerti, yang kalian kenal cuma nama Imlek. Ya, begitulah. Sin Cia dan Imlek memang merujuk pada perayaan yang sama, yang jatuh pada tanggal pertama, bulan pertama dalam kalender Tionghoa. Dan yang jelas, ini tak bakal lepas dari ampao, lampion, dan kue keranjang, bukan?
Nah, berkat kehadiran perayaan Imlek ini, lagi-lagi Indonesia diingatkan tentang keragaman. Sadar enggak, kalau Indonesia punya warga dan keturunan warga-warga asing, tidak hanya kaum pribumi yang punya beratus-ratus suku bangsanya?
Jika dilacak secara historis, memang benar. Pengalaman Indonesia yang punya kerajaan yang banyak didatangi warga asing serta dijajah sama bangsa asing pula, ditambah lagi kedatangan turis mancanegara yang menjelajah alam Indonesia, memang mengubah segalanya. Jangan heran kalau banyak anak blasteran yang mendiami Bumi Pertiwi ini, yang lagi-lagi berkontribusi untuk membangun dan memajukan bangsanya?
Lha, kok bawa-bawa penjelasan artikel yang pernah kutulis tahun kemarin? Katanya, mau bahas tentang suka dukanya?
Ya udah, saya bahas ini deh.
Sebagai kaum minoritas, ras super-duper langka yang hidup di daerah tempat tinggalku (apalagi Indonesia, jumlahnya pasti kalah banyak dari suku Jawa), pasti saya punya "perasaan" tersendiri; (bisa jadi) siap-siap diperlakukan berbeda! Tapi, kalau ditanya bagaimana rasanya, manis-pahitnya jadi keturunan yang ada darah "negeri lain", saya pun menjawabnya begini:
Ya, tergantung sih.
Kok bisa? Karena, seseorang dengan yang lain, pasti pengalamannya berbeda. Ya, begitulah dengan anak blasteran, enggak mungkin lah cerita hidup disamain, ya nggak?
Tapi, dengan pengalamanku dengan teman semasa kecilku, okelah, inilah yang bisa saya bagikan, untuk menggambarkan, bagaimana sih sebenarnya cerita anak ras campuran yang rasanya juga beragam, seperti nano-nano.
Kalian pasti ditanya, "Kamu sukunya apa?"
Teman sebangkuku, menduga saya orang Palembang dan itu dilihat dari kota kelahiranku. Yaelaaah, emangnya menyimpulkan suku bangsa semudah itu?
Bagiku, lahir di kota tertentu, belum tentu menunjukkan suku bangsa yang mendiami kota tersebut, meskipun memang ada seseorang yang lahir di kota yang memang dihuni oleh kaum mayoritas. Ambil contoh, teman sebangku saya memang datang dari Bandung dan bersuku Sunda. Ada juga teman lain yang bersuku Batak, kedua orang tuanya dari Medan, tapi takdir berkata lain; lahir di kota yang terkenal dengan banyak siger (mahkota khas Lampung)-nya.
Dan, kalau diriku sendiri? Meskipun saya lahir di bumi Sriwijaya, kalau menurut silsilah, tidak ada pendahuluku yang berasal dari Sumatera. Justru itu, tujuh puluh lima persen moyangku berasal dari Jawa ditambah seperempatnya dari Tiongkok. Ah, beneran nih?
Ya, karena (trans)migrasi plus takdir Tuhan yang memainkan peranan; menjadi faktor utama yang menyebabkan diriku terlahir di daerah lain. Dan, tak hanya saya yang mengalaminya; banyak anak blasteran lain yang merasakan hal yang sama!
Jadi, kalian masih bingung, sebenarnya sukunya apa?
Kalau begitu, tanyakan saja sama orang tuanya, jangan malu-malu! Kalau waktu sekolah pernah buat silsilah keluarga, bagus! Sekalian ajukan soal-soal tentang suku dan asal moyang kalian darimana. Karena, bisa jadi terselip "darah lain" yang mengalir di tubuh kalian, entah dari sisi ayah, maupun pihak ibu. Sehingga bisa ketahuan deh, seperti apa suku kalian yang sebenarnya!
Hmmm, orang Batak aja wajib punya silsilah, masa' kalian sendiri enggak membuatnya?
Perihal bahasa, antara bilingual dan monolingual
Makanya, kalau saya ditanya soal bahasa, terus terang saya ini monolingual, hanya bisa berbicara dan mengerti bahasa Indonesia. Daan, kalau soal anak blasteran yang monolingual, apa saya hanya sendirian? Tidak, malah masih banyak!
Oh ya, katanya ada juga warga keturunan yang juga bilingual; menguasai dwibahasa. Kalau soal itu sih, di keluargaku ada kok yang seperti itu!
Ya, tepatnya saat libur lebaran tahun 2016 lalu, saat kami berkesempatan mengunjungi rumah kakak dari nenekku (dari pihak ibu). Di bawah meja tamunya, terdapat majalah dan buku bacaan yang hampir semuanya berbahasa dan beraksara Mandarin. Begitu juga TV kabel di mana saya melihat acara berita, juga berbahasa Mandarin!
Duuh, bisa dibayangkan tuh, pasti kerabat kami sudah paham bahasa Tionghoa itu 'kan?
Tapi, apakah anak blasteran, bisa menjamin berbahasa asing juga?
Sekali lagi, ya tergantung sih. Tidak mungkin punya darah asing bisa mewariskan bahasa asing juga. Itu mustahil. Pada artikel yang pernah kutulis, 'kan sudah kujelaskan, kalau orang tuanya tidak mengajarkan bahasa leluhur, yang terjadi hanya bisa berbicara dengan bahasa nasionalnya.
Makanya, kalau ada anak blasteran yang hanya bisa monolingual atau ada juga yang bilingual, itu semua berpulang pada beberapa faktor yang menentukan. Yakni, pengaruh lingkungan dan orang tuanya, plus kebiasaan yang mengarahkan untuk mempelajari bahasa tersebut. Yah, bukankah penguasaan bahasa itu bisa dicapai dengan mempelajarinya?
Maka, janganlah heran kalau ada orang Melayu yang bisa berbahasa Sunda, atau keturunan Inggris yang menguasai bahasa Jawa, misal. Lagi-lagi, itu semua kembali pada lingkungan yang "menciptakannya" untuk bisa seperti ini.
Anak blasteran, ada rasa "diskriminasi"-kah?
Jadi, wajar kalau saya ada rasa iri setiap melihat teman-temanku di sekolah. Walaupun tampang saya sebenarnya lebih mirip manusia khas Indonesia karena gen dominan dari ayah, tetap saja saya merasa sendirian. Kok bisa?
Pasalnya (menurutku ya), teman-temanku yang kebanyakan bersuku Jawa, pasti lebih nyaman bergaul dengan sesama suku mereka, Kalau suku lain mah, jarang didekati, apalagi saya yang blasteran. Tak hanya diriku, salah seorang tetangga selingkunganku dulu, ternyata saat bersekolah di SD negeri, ternyata tidak banyak punya teman!
Nah, karena alasan kesamaan itulah, banyak anak blasteran menempuh pendidikan di sekolah yang dikelola yayasan agama, seperti yang dilakukan salah seorang teman blasteran Tionghoa selingkunganku yang lain. Dia, lebih banyak bersekolah di yayasan Kristen yang memungkinkannya bertemu teman yang sesuku dengannya. Ya, lagi-lagi, kembali pada rasa kenyamanan.
Tapi, walaupun rasa dikiskriminasi itu umumnya ada pada anak blasteran, namun pada sebagian orang, itu tak terlalu dirasakannya. Salah seorang murid TPA di kampungku, yang jelas-jelas kulitnya putih dan keturunan Tionghoa, ternyata asik juga bermain SOS bersama teman-temannya. Kurasa, mereka bisa berteman dengan siapa pun tanpa pandang bulu. Salut deh kalau begitu!
***
Namun, walaupun diselimuti oleh rasa yang sungguh berbeda, memang benar, jadi anak blasteran akan membawa kalian pada rasa toleransi yang tiada duanya.
Ya, seperti halnya pada diriku. Walaupun keluarga besarku kebanyakan beragama Islam, ternyata ada kok, sebagian kecil kerabatku yang keturunan Tionghoa dan beragama Buddha. Dan saya yakin, minoritas kerabatku itu pasti akan menyambut Sin Cia alias Tahun Baru Imlek 2569 yang akan membuka lembaran barunya, Jum'at lusa.
Dan, tak hanya sebatas pada darah asing yang mengalir pada diriku, ada pengaruh lingkungan masa kecil yang menguatkan diriku akan keberagaman. Saya jadi sedikit tahu tradisi dan persembahyangan keturunan Tionghoa yang saya lihat di lingkungan pabrik semasa kecil. Apalagi yang kuingat pas Sin Cia a.k.a Imlek, woww ada dupa dan buah-buahan yang tersaji di altar!
Belum lagi yang pernah saya lihat (namun saya tidak mengikutinya), ada kebaktian yang diadakan di depan pabrik tempat orang tua saya bekerja dahulu. Saat itu, bosnya juga keturunan Tionghoa dan beragama Kristiani. Dan, lagi-lagi membuatku paham, akan keragaman yang terhampar di bumi Nusantara yang sungguh dipuja karena toleransinya!
Jadi, bagaimana seharusnya kita menyikapinya?
Hargailah keberagaman, karena keragaman adalah "kekayaan" bangsa kita yang tiada bandingannya dengan bangsa-bangsa lain. Kalau kita sudah bisa menghargainya, mudah-mudahan, tak ada ceritanya, kejadian separatis yang sudah jelas akan merugikan bangsa sendiri, juga bisa tercipta kedamaian di bumi pertiwi, kini, nanti, hingga selamanya!
Karena itulah, kalau sudah tahu hal ini, masihkah kalian "mengagungkan" warga pribumi dan meremehkan kami, para anak blasteran?
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H