Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjadi "Anak Berwajah Blasteran", Rasanya Seperti Apa?

14 Februari 2018   17:28 Diperbarui: 14 Februari 2018   21:17 3146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak blasteran, ada rasa "diskriminasi"-kah?

Sumber gambar: Tes
Sumber gambar: Tes
Anak-anak blasteran memang rentan merasakan yang namanya diskriminasi. Merasa dibedakan, dan kurang layak untuk dijadikan teman dekat. Ya begitulah. Karena, individu-individu yang berada dalam satu "payung" spesies berjenis Homo sapiens, umumnya suka mencari kenyamanan dengan satu kesamaan, benar 'kan?

Jadi, wajar kalau saya ada rasa iri setiap melihat teman-temanku di sekolah. Walaupun tampang saya sebenarnya lebih mirip manusia khas Indonesia karena gen dominan dari ayah, tetap saja saya merasa sendirian. Kok bisa?

Pasalnya (menurutku ya), teman-temanku yang kebanyakan bersuku Jawa, pasti lebih nyaman bergaul dengan sesama suku mereka, Kalau suku lain mah, jarang didekati, apalagi saya yang blasteran. Tak hanya diriku, salah seorang tetangga selingkunganku dulu, ternyata saat bersekolah di SD negeri, ternyata tidak banyak punya teman!

Nah, karena alasan kesamaan itulah, banyak anak blasteran menempuh pendidikan di sekolah yang dikelola yayasan agama, seperti yang dilakukan salah seorang teman blasteran Tionghoa selingkunganku yang lain. Dia, lebih banyak bersekolah di yayasan Kristen yang memungkinkannya bertemu teman yang sesuku dengannya. Ya, lagi-lagi, kembali pada rasa kenyamanan.

Tapi, walaupun rasa dikiskriminasi itu umumnya ada pada anak blasteran, namun pada sebagian orang, itu tak terlalu dirasakannya. Salah seorang murid TPA di kampungku, yang jelas-jelas kulitnya putih dan keturunan Tionghoa, ternyata asik juga bermain SOS bersama teman-temannya. Kurasa, mereka bisa berteman dengan siapa pun tanpa pandang bulu. Salut deh kalau begitu!

***

Namun, walaupun diselimuti oleh rasa yang sungguh berbeda, memang benar, jadi anak blasteran akan membawa kalian pada rasa toleransi yang tiada duanya.

Ya, seperti halnya pada diriku. Walaupun keluarga besarku kebanyakan beragama Islam, ternyata ada kok, sebagian kecil kerabatku yang keturunan Tionghoa dan beragama Buddha. Dan saya yakin, minoritas kerabatku itu pasti akan menyambut Sin Cia alias Tahun Baru Imlek 2569 yang akan membuka lembaran barunya, Jum'at lusa.

Dan, tak hanya sebatas pada darah asing yang mengalir pada diriku, ada pengaruh lingkungan masa kecil yang menguatkan diriku akan keberagaman. Saya jadi sedikit tahu tradisi dan persembahyangan keturunan Tionghoa yang saya lihat di lingkungan pabrik semasa kecil. Apalagi yang kuingat pas Sin Cia a.k.a Imlek, woww ada dupa dan buah-buahan yang tersaji di altar!

Belum lagi yang pernah saya lihat (namun saya tidak mengikutinya), ada kebaktian yang diadakan di depan pabrik tempat orang tua saya bekerja dahulu. Saat itu, bosnya juga keturunan Tionghoa dan beragama Kristiani. Dan, lagi-lagi membuatku paham, akan keragaman yang terhampar di bumi Nusantara yang sungguh dipuja karena toleransinya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun