Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dengan Menulis, Kita Bisa "Meniru" Layaknya Ilmuwan, Kok!

8 Desember 2017   21:15 Diperbarui: 10 Desember 2017   02:55 3495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Psyciencia

Bulan ini, saya sudah menuliskan dua artikel, beraroma teori ilmiah dan psikologi. Tapi, rasanya ada sesuatu yang mengganjal, yang harus kubagikan di sini, sekarang.

Selama saya (belajar) menulis selama tiga tahun di sini, sudah tiga ratusan artikel yang telah kuabadikan di sini. Mungkin, dari tahun ke tahun, tulisanku malah semakin lebih bagus, ya. Kok bisa ya, saya bisa menulis artikel-artikel seperti ini?

Apa hanya karena pengalaman yang banyak? Bagiku, ini jelas tidak mungkin!

Jujur saja, selain harus memaksakan diri untuk banyak membaca, saya harus melakukan berbagai macam cara agar karier kepenulisanku semakin berkembang dan hasil karyanya, semakin berkualitas. Bahkan, dengan bermacam-macam cara itu yang kemudian menuliskan hasilnya, secara tak sadar saya menirukan apa yang dilakukan para ilmuwan!

Hah? Ilmuwan?

Bukan ilmuwan beneran kok, tapi "amatiran" dan "tak resmi". Walaupun hasilnya sederhana, tetap saja dihargai! Justru itu, dengan tulisan sederhana ini, kita bisa memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Tapi.... bukan berarti tulisan yang hanya pengalaman "dihina" dan dikesampingkan lho. Namun, tulisan berilmiah inilah yang memang bernilai lebih tinggi, dan memang tulisan-tulisan seperti itu lebih layak untuk kita baca, dan menyelami isinya.

Oh ya, dalam penelitiannya, para ilmuwan, profesor dan peneliti tentu menggunakan berbagai cara untuk menciptakan karya mereka yang berilmiah, dan dua di antaranya, adalah cara yang saya pakai untuk mendapatkan bahan untuk menulis. Hmmm, apa saja ya metodenya?

Bereksperimen dalam Menulis

Kalau saya harus kuingat-ingat lagi, kurasa ada satu pengalaman yang ada hubungannya dengan tema ini. Dan itu pun harus terlempar ke masa lalu. Ya, apalagi kalau soal kenangan-kenangan yang berada di laboratorium sekolah, iyaa 'kan?

Sebagai alumni anak IPA, sudah barang tentu dalam pelajarannya, rasanya kurang sempurna belajar teori tanpa praktik yang menyertainya. Karena itulah, di sekolah disediakan laboratorium untuk menunjang pembelajarannya. Meskipun kami selama bersekolah jarang berpraktik di ruangan lab, bukan berarti tak ada kenangan satu pun yang bisa dibawa pulang selepas bersekolah.

Ya, pasti ada. Tepatnya, saat kami hendak praktik tentang Koloid. Guru kimia, yang tak lain adalah wali kelas kami, memang menugaskan kami untuk membawa berbagai zat-zat dari rumah. Ada susu, santan, dan masih ada lagi zat-zat yang lainnya!

Setelah zat-zat tersebut kami bawa ke sekolah, mulailah kami berpraktik. Yang paling saya ingat, ketika kami dibawa ke sebuah ruangan sempit nan gelap di sebelah laboratorium kimia itu, lalu disorotlah cahaya senter pada gelas berisi zat itu. Walaupun tak semuanya sesuai kenyataan, mengakui hasilnya secara jujur 'kan lebih baik. Daripada ngaku benar tapi ternyata manipulasi, iyaa nggak?

***

Terus, kalau begitu, adakah hubungannya dengan proses menulis?

Ya, tentu saja ada! Memang, terkadang saya menulis artikel tak cukup bermodalkan riset dan membaca beragam referensi semata, namun harus ada "eksperimen" juga. Lho kok bisa begitu?

Karena, kegiatan "eksperimen" ide menulis, salah satunya biar bisa menguatkan isi tulisan. Jadi, tulisan kita ini nggak melulu berisi teori ilmiah yang njlimet banget, justru itu,harus dibumbui dengan sisi pengalamannya juga, biar pembaca bisa merasakan apa yang dialami penulisnya secara langsung. Dengan kata lain, kegiatan bereksperimen itu bisa menciptakan pengalaman baru bagi si pelakunya, bukan?

Coba kalian bayangkan, ada dua artikel yang disajikan di hadapan kalian. Yang pertama, artikel yang cuma berisi materi berilmiah, yang kedua, ada pengalaman pribadinya. Lalu, manakah yang kalian pilih? Tentu yang kedua 'kan?

"Soalnya, tulisan ilmiah kaku banget, kecuali kalau dipopulerkan lewat bahasa khasnya. Enakan baca yang pengalaman pribadi, 'kan lebih praktis!"

Nah, kalau kalian mau bukti, artikel tentang Membeli Kebahagiaan Lewat Tulisan adalah salah satu contohnya. Setelah membaca tulisan dari Prof Komar dan menemukan idenya,  tentu saya merasa tidak cukup dengan gagasan itu, dan kayaknya, saya perlu ada pembuktian, nih!

Karena itulah, untuk meyakinkan diri apa yang dikatakan oleh para referens(i), saya beli buku, lalu membacanya dengan penuh konsentrasi (tentu dengan catatan harus jauhi gawai dulu). Setelah itu, apa yang terjadi?

Dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, rasanya ada yang berbeda deh dalam pikiranku. Saya bisa mendapatkan informasi dan pengalaman baru, bahkan jika diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, saya merasa senang dan bahagia. Berarti, percobaanku akhirnya berhasil!

Kalau memang hasil eksperimen ide dianggap sukses, inilah yang berhak dibagikan dalam tulisan, kepada para pembacanya. Akuilah secara jujur dan apa adanya, apa yang dituliskan adalah apa yang telah dilakukan sebelumnya. Jangan mentang-mentang nulis hasilnya padahal belum dicoba, duuh kalau kayak gini, bisa bahaya!

Dalam Mendapatkan Bahan Menulis, Perlu Pengamatan dan Menganalisisnya

"Kok si A bisa tahu sih, apa yang dituliskan? Padahal dia nggak punya relasi, dengerin curhat aja enggak pernah. Apa sih rahasianya?"

Ya, harus kuakui, saya memang tidak banyak punya teman. Maka jangan heran, kalau jumlah artikel yang melibatkan obrolan langsung dengan orang lain, mungkin hanya berjumlah sedikit. Beda, dengan kebanyakan para penulis di sini, yang beruntung bisa ke mana-mana, bertemu orang lain, ngobrol, terus hasil cuhatannya dijadikan bahan tulisan. Duuh, enak bener ya?

Namun, bukan berarti saya cuma bisa pasrah, dan ya sudah, tak melakukan apa-apa. Masih ada alternatif lain biar saya tetap mendapatkan bahan tulisan. Apa itu?

Kan ada internet! Bukankah dengan dunia virtual yang diciptakan manusia, kita semakin dipermudah?

Oh, iya ya.

Dengan internet, kita bisa kok, mengetahui apa yang terjadi dan perkembangannya di belahan dunia ini, plus membaca beragam informasi di luar bidang yang disukai. Misalnya saja, pada bulan Oktober lalu dimana saya banyak membaca artikel di internet tentang kemimpinan, yang pada akhirnya dijadikan bahan untuk menulis artikel ini.

Padahal 'kan aku seorang perempuan, tidak menjabat sebagai pimpinan, ngapain repot-repot membaca artikel tentangleadership segala? Buang-buang waktu!

Eitss... jangan salah! Tak ada yang terbuang percuma apa yang kita baca, karena suatu hari nanti, hasilnya bisa bermanfaat. Di sampung itu, mempelajari bidang lain di luar keilmuan kita, malahan bisa meperkaya wawasan di benak kita, lho!

Namun, di luar itu, saya sering memanfaatkan "area jagat maya" ini untuk mengamati fenomena dan peristiwa, yang kemudian menganalisisnya. Ya, seperti Prof Komaruddin, Guru Besar Psikologi UIN Jakarta yang seringkali mengamati kondisi psikologis secara langsung di kantor-kantor pemerintahan dan politisi, yang hasil dari penelitian dan pengamatannya dituangkan dalam tulisan-tulisannya, saya pun seperti itu.

Hanya saja, saya tak perlu bertatap muka langsung "ke sumbernya" hanya demi pengamatan. Saya tinggal duduk, ambil gawainya, terus cari aja di mesin pencari atau membaca langsung dari sumbernya. Beres 'kan?

Lalu, apakah saya sudah mengamati, terus berhenti sampai di situ? Tidak! Secara tak sadar, saya pun berpikir, menganalisis dan "membaca" apa yang saya amati. Bahkan saya melakukan hal itu sembari saya menulis. Lalu, apa contohnya?

Saya melihat para Kompasianer yang mendapatkan penghargaan berupa piala Kompasiana Awards, piagam dan uang tunai. Ya, mungkin saja banyak orang yang senang akan pencapaian mereka dan beramai-ramai mengucapkan selamat. Tapi, saya pun berpikir, membayangkan mereka yang menerima piala, dan menyimpulkan sembari menuliskan artikelnya, apa yang menyebabkan mereka berhasil meraih penghargaan tersebut.

Ternyata, dari membayangkan mereka yang memenangi penghargaan, terus melihat kiprah mereka sebelumnya (lalu dicocokkan dengan teorinya), mereka menulis karena merupakan minat dan jati dirinya, terus dengan dorongan mereka tekuni dengan konsisten, mengembangkan potensi yang berada dalam dirinya menjadi sebuah kesuksesan. Ini toh rahasianya!

Hmmm, untuk yang lain, saya yakin kalian sebagai penulis bisa 'kan "membaca pengalaman dan fenomena", terus menganalisa dan menyimpulkannya?

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun