Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Warganet dan "Blogger" Memang Selayaknya Punya Rasa Malu

21 September 2017   16:58 Diperbarui: 8 Juli 2018   10:09 3497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: CommsMEA

Hari Minggu lalu, saya sedang berada di restoran yang salah satu menunya saya review untuk keperluan lomba di Kompasiana ini. Sesudahnya saya lagi-lagi membuka tulisan saya, lalu saya cek, apakah tulisanku benar, sesuai referensi yang kubaca?

Dan, data-data yang kutuliskan, hampir semuanya benar. Tapi, ada beberapa kata yang kuselipkan di paragraf yang setelah saya cek, ternyata tidak ada di referensi. Jadinya, muncullah rasa malu dalam diri saya. Takut apa yang saya tuliskan ini akan menyesatkan dan muncul kesalahpahaman bagi pembaca.

Nah, setelah kejadian itu, saya putuskan untuk membuang kata-kata yang "bermasalah" tersebut, tapi saya jamin tak akan mengubah isi artikelnya. Yah, yang penting pembaca yang datang ke depannya tak akan risau dengan tulisanku!

Sebelumnya, saya masih ingat, kala menulis artikel di mana saya pernah melihat referensi saat menulis, karena berdalih ingin "mencocokan" kata-kata yang benar. Bahkan, pernah saya mengutip data-data dari sumbernya. Ketika saya melihat hasilnya, meskipun tak sampai 25% kutipan yang diperlukan, tetap saja diriku merasa malu, karena hal ini sama saja dengan mencederai tekadku untuk menulis dengan proses yang lebih jujur!

"Alhamdulillah, rupanya rasa maluku masih ada" kata suara hatiku dalam suatu kesempatan.

Merenungi hal ini, saya teringat apa yang pernah kubisiki dalam hatiku dua tahun yang lalu. Tulislah semampumu, kata inilah yang kukatakan nuraniku. Dan, sejak saat itu, saya kembali berbenah, dan kembali menulis artikel, berusaha melibatkan pikiranku sepenuhnya!

Lain kali, jangan meniru kelakuanku yang dulu, ya!

Kita Semua, Termasuk Warganet, Terikat pada Norma

Sumber gambar: CommsMEA
Sumber gambar: CommsMEA
Dulu, sewaktu kita lahir sampai akhirnya kita berbaur dengan lingkungan, tentu kita bertanya-tanya: "Mengapa ya, harus berbuat baik sama orang" atau "tidak boleh melakukan itu", daaan sebagainya. Karena, kita  sudah terikat dengan norma, yaitu (kalau saya boleh kutip dari sini), adalah aturan yang mengatur tingkah laku dalam hidup bermasyarakat.

Sepanjang di dunia ini ada manusia, norma tetaplah berlaku. Makanya, di dunia maya, walaupun tidak ada kontak manusia secara fisik, selama ada akun yang merupakan "perwakilan" manusia, tetap saja ada norma yang mengikat. Wujudnya? Ya sama saja ketika dilakukan di dunia nyata!

Menurut ilmu sosiologi, norma dibagi menjadi empat, yaitu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum sebagai pelengkapnya. Keempatnya punya sumber, bagaimana peraturannya, dan sanksi-sanksi yang diberlakukan, tentunya punya "ke-khasan" tersendiri.

Jadi, ketika kita dihadapkan di dunia maya, kita sudah terikat pada keempat norma tersebut. Diri ini, tentu punya hati nurani yang mengajarkan norma kesusilaan. Siapa yang berbuat tak pantas di internet, maka penyesalanlah akibatnya.

Lalu, dalam hubungannya dengan sesama warganet, kita harus paham, bagaimana bersopan-santun di dunia maya. Tentu saja hal ini termasuk norma kesopanan. Kalau tidak melakukan hal demikian, maka perilaku kalian akan dicela oleh pengguna lainnya!

Oh ya, kalian tahu muamalah medosiah yang dikeluarkan MUI 'kan? Walaupun peraturan tersebut dibuat oleh para ulama, tapi tetap, sumbernya berasal dari kitab suci yang diturunkan Tuhan. Makanya, peraturan tersebut digolongkan sebagai norma agama. Dan, tahu enggak, apa sanksi pelanggar norma tersebut? Guncangan jiwa di dunia, dan memperoleh siksa di akhirat nanti.

Nah, yang terakhir, norma yang paling tinggi dan melengkapi norma-norma lainnya, tentu saja norma hukum. Contohnya, bisa kalian lihat pada UU ITE yang diberlakukan beberapa tahun terakhir. Dengan adanya UU ini, mau enggak mau netizen harus menaatinya, sebab norma ini bersifat memaksa dan dibuat oleh negara. Jika tidak, hukuman penjara siap menanti kalian!

Ya, bisa dilihat sendiri, ada beberapa warganet yang tertangkap gara-gara menghina keluarga Jokowi. Itu artinya, pelaksanaan UU ITE benar-benar ditegakkan, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Sungguh, era pemerintah sekarang ini amat peduli dengan perkembangan teknologi masa kini, bukan?

Hmmm, kalau saya mengetahui norma ini, harusnya diriku lebih berhati-hati dalam ber-medsos nih...

Warganet dan Blogger pun Harus Punya Rasa Malu

Sumber Ilustrasi: YMI
Sumber Ilustrasi: YMI
Tahu norma, sudah. Terus, apa lagi ya yang diperlukan dalam "bermain" di jagat maya ini?

Setelah kupikir-pikir, tahu norma saja tidak cukup. Perenunganku akan dua kejadian ini membuatku harus mengambil kesimpulan sekaligus temaku untuk menulis artikel ini: para warganet dan narablog (blogger) harus punya rasa malu saat akan mengunggah sesuatu.

Malu? Yup, benar sekali. Tapi, bukanlah ada banyak penulis di dunia maya ini yang merasa malu akan karya-karyanya?

Yah, ini sih cuma perasaan minder aja alias tidak percaya diri. Ada teori psikologi yang membahas hal itu. Yang ku bahas di sini adalah, rasa malu yang mengantarkan berperilaku yang positif, bukan?

Secara psikologis, rasa malu yang saya maksud adalah rasa bersalah, yang "didasarkan" oleh emosi moral, yaitu emosi malu dan emosi bersalah. Dan, emosi malu sendiri adalah internalisasi emosi negatif yang dirasakan diri saat gagal mematuhi aturan sosial. Jadinya, emosi malu akan memunculkan emosi negatif yang dirasakan tidak menyenangkan, lalu memotivasi dirinya untuk melarikan diri dan menghindar dari hal tersebut.

Nah, kalau dirunut dari sejarah, ternyata nenek moyang kita Adam dan Hawa sudah terlebih dahulu mempunyai rasa malu. Tepatnya, ketika mereka memakan buah khuldi, lalu terbukalah auratnya. Gara-gara hal itu, mereka merasa malu, ditambah lagi merasa bersalah karena melanggar perintah Tuhan mereka. Makanya, sifat tersebut kemudian terbawa, dan mendarah daging dalam diri kita selaku generasi kekinian, bukan?

Tak hanya dalam diri kita saja, keluarga dan lingkungan sosial sangat berperan dalam memunculkan rasa malu, serta mengajarkan bahwa berbuat salah itu, hal yang memalukan. Kalian tahu 'kan, telanjang bulat di hadapan orang lain itu, memalukan? Makanya, ketika kita mengenakan pakaian, terus alat vitalnya dilihat orang, tentu kalian akan cepat-cepat menutupnya dengan kain, dan merapatkan pintunya. Itu berarti, sifat malu tersebut masih ada dalam hati kita.

Oh ya, sifat atau emosi malu itu bisa dipelajari di lingkungan keluarga, situasi kerja, dan sebagainya. Termasuk, di media sosial dan jagat maya ini. Biasanya, rasa malu itu muncul setelah melakukan sesuatu. Tapi, bukan berarti bisa dicoba di dunia maya 'kan? Nanti, ujung-ujungnya malah berujung petaka!

Tentunya, masih ingat bukan, seorang perempuan Italia yang akhirnya bunuh diri setelah menyebarkan video seksnya lewat WA, lalu berlanjut di situs dewasa, bukan? Dan, menurut salah seorang psikolog, bunuh diri tersebut bisa dipicu oleh rasa malu. Ya, kejadian ini, lagi-lagi membuat kita harus berhati-hati; dilarang melakukan hal-hal memalukan di dunia maya!

Karena itulah, kita memang selayaknya punya rasa malu ketika mengakses sesuatu di internet. Hal ini bisa didapat lewat pendidikan dan pembelajaran dari pengalaman kita pribadi. Yang pernah melakukan perbuatan memalukan di (luar) dunia maya, semoga rasa malu yang dimiliki menjadi semacam alarm agar selalu bijak dalam mengunggah konten di internet.

Terus, kalau kita belum melakukan kesalahan besar di jagat maya? Itu lebih baik, dan bisa ditumbuhkan moralnya di lingkungan rumah, sekolah, maupun masyarakat. Kenalkan, baik-buruk, salah-benarnya, agar kita selalu waspada dalam bersosial media!

Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!

Referensi: satu, dua, tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun