Duuh, bingung. Mau jalan-jalan ke mana ya?
Ketika ada hari-hari libur panjang yang kini baru saja berlalu, pasti di pikiran banyak manusia hanya satu rencana: jalan-jalan! Ada yang memang sudah merencanakannya, namun masih banyak orang yang terpaksa harus merehatkan diri ke tujuan wisata terdekat  atau hanya berdiam di rumah, hanya karena terbatasnya budgetyang tersedia.
Ah, cuma masalah tempat liburan---itu lagi, itu lagi. Apalagi saya, yang lebih banyak berlibur di supermarket dan mal-mal kota. Padahal, tempat ini bukanlah yang paling ideal bagiku. Apalagi kalau sudah rame-rame-nya, itu sama saja dengan menambah tensi stimulus yang menguras energi mentalku!
Sebenarnya, saya lebih suka jalan-jalan ke taman, gunung, bukit, hutan, dan air terjun yang tak terlalu banyak orang, namun saat ini malah susah ditemui tempat yang bisa memenuhi kriteria itu. Belum lagi tempat tersebut bisa dibilang "berbahaya" karena kondisinya sepi, apalagi kalau pengunjungnya adalah perempuan yang nggak punya teman. Takut diperkosa, diculik, dan semacamnya. Ya udah deh, lebih baik aku ke hutan desa aja....
Yang lebih parahnya lagi, gara-gara ulah manusia, sekarang tempat-tempat idealku perlahan-lahan akan lenyap. Hmmm, sampai kapan hal ini akan terjadi. Apa kejadian yang kusaksikan selama ini masih relevan dengan apa yang digembar-gemborkan dunia kepada kita?
Ya, kerusakan lingkungan dan alam memang saat ini menjadi isu yang merebut perhatian dunia. Bagaimana tidak, hal ini berkaitan dengan masa depan bumi, "rumah" kita bersama. Tak hanya menyumbang pemanasan global, banyak hewan yang terancam keselamatannya, dan lama-kelamaan, akan "menular" dampaknya ke manusia juga.
Coba kita bayangkan, kalau bumi ini keburu musnah, tanpa tumbuhan? Airnya tak ada yang bisa dikonsumsi gegara pencemaran? Mau ke mana lagi kita?
Pindah ke Asgardia, negara luar angkasa yang pernah dibicarakan itu? Hmmm, sepertinya, itu ribet! Lebih baik, perbaiki tempat tinggal kita sekarang!
Oh ya, sebenarnya, memang kalian tidak pernah tahu kalau kami, kaum introvertjuga butuh alam bebas sebagai tempat ideal untuk berekreasi. Walaupun kebanyakan manusia itu serakah dan tak peduli terhadap makhluk lainnya (ups, nggak semuanya lho!), perlahan tapi pasti, suara hati kami pasti akan menjerit. Dengan data-data dan referensi yang kubaca, saya akan membeberkan faktanya, supaya kami (dan makhluk lainnya) bisa mendapatkan ruang untuk "mencari kedamaian" di dunia ini, sesuai temperamen yang kami miliki.
Jadi, maafkan saya, kalau di sini diriku menulis artikel yang sedikit melenceng dari tema yang biasanya saya bahas.
- Kerusakan Hutan, Menghilangkan Tempat untuk Berkontemplasi
Penebang: "Aku tak peduli, yang penting aku bisa dapat kayunya buat dijual! Aku akan menjelma menjadi orang kaya di muka bumi ini! Ayo, kita tebang pohonnya!"
Memang cuplikan percakapan di atas merupakan jeritan para hewan yang biasanya tinggal di hutan. Ya, itu tidak salah. Faktanya, ada hewan-hewan yang secara default-nya, berhabitat di hutan, sebut saja orang utan, harimau, siamang, dan masih banyak lagi!
Ya, meskipun begitu, sebenarnya masih ada yang terlupa, bahwa kaum introvertseperti kami juga butuh alam bebas, seperti yang sudah saya jelaskan tadi. Alam bebas, bisa meliputi hutan yang sedang diperjuangkan keberadaannya, mencoba untuk tetap bertahan dari "penindasan" gergaji-gergaji mesin yang siap memusnahkan pohon-pohon di belantara tanpa ampun!
Berarti, kami juga membela hutan dan hewan-hewan liar, dong?
Hmmm, memang sebenarnya kami punya kepentingan yang berbeda dengan pohon dan hewan-hewan liar yang  "berumah" di tengah hutan. Namun, secara tak langsung, dengan adanya hutan yang kami manfaatkan untuk "bersantai", hewan-hewan yang dinaungi hutan juga bisa diuntungkan, karena sama-sama mendayagunakan hutan, asalkan kita tidak menganggu mereka, ya!
Oh ya, mengapa kaum introvert paling senang merehatkan diri di alam bebas? Karena, alam sekitar dengan keindahannya, memang menawarkan hal-hal yang membuat para pengunjungnya bisa berkontemplasi, merasakan kedamaian, dan melihat dunia yang lebih luas. Misalnya, meihat hijaunya pemandangan hutan dan burung-burung yang berkicauan. Waah, betapa harmonisnya!
Bahkan, untuk mendapatkan sensasi terbaik, para introvert tentu memilih tempat yang jauh dari kebisingan. Nah, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan pada Journal of Research in Personality, tempat "terfavorit" bagi para innies adalah gunung, malah mereka lebih suka tinggal di dataran tinggi! Tapi, kalau nggak ada gunung, bukit juga boleh, kok!
Tapi, untuk mendapatkan manfaat besar dari alam, ini yang paling sulit. Pasalnya, laju kerusakan hutan di Indonesia, semakin memprihatinkan. Menurut data terbaru dari FAO, pada tahun 2010-2015, Indonesia menempati urutan kedua setelah Brasil, dengan laju kehilangan hutan sebesar 684.000 hektar per tahunnya!
Padahal, kalau hutan habis ditebang dan tak ada lagi, apa yang terjadi? Terjadi erosi tanah, yang bisa menyebabkan tanah longsor di lereng bukit dan gunung (kecuali gunung berbatu), itu pasti. Debit air terjun, tentu semakin berkurang. Tak ada tempat lagi untuk peresapan air ke dalam tanah, yang berujung pada banjir bandang.
Apalagi kalau menyangkut nasib makhluk hidup lainnya. Hewan-hewan liar akan kehilangan tempat tinggal dan mengancam untuk "menyerang" pemukiman penduduk, juga penduduk pedalaman yang amat bergantung pada hutan. Sedangkan kita? Tak ada kayu, dan tanaman obat di hutan yang bisa dimanfaatkan!
Hmmm, kalau begitu, kalau tak ada hutan, kita selaku kaumintrovert, nggak bisa menikmati indahnya alam di hutan, gunung, sama air terjun dong? Yahhhh... ;(
- Polusi Cahaya yang Tak Memberi Kesempatan untuk Melihat Indahnya Langit!
Dan, ketika saya membutuhkan hiburan dan "liburan" yang lebih alami, kepingin sekali melampiaskan bebanku, melarikan diri ke hamparan bintang-bintang yang sangat menawan. Tapi, bukan untuk berdoa di hadpannya, ya!
Memang bagi sebagian besar orang, aneh kalau saya melakukan hal ini. Tapi, bagi introvert, ini adalah semacam "surga" baginya. Menurut yang pernah saya baca dan dialami, si innies memang suka melihat hal-hal yang "kecil" nan detail semacam bunga, bintang dan langit. Beda dengan kebanyakan manusia yang menganggap melihat bintang di langit sebagai hal yang membosankan, dan tak ada gunanya.
Sayangnya, melihat keindahan langit pada zaman sekarang ini, semakin sulit dijumpai. Bukan masalah tempatnya sih, karena pada hakikatnya semua tempat di bumi bisa melihat indahnya bintang-bintang yang bertaburan. Terus, masalah apa lagi yang terjadi di langit, yang menaungi kita di dunia?
Semenjak penemuan lampu pijar oleh Thomas Alva Edison, perlahan tapi pasti, dunia pada malam hari mulai bercahaya, padahal tak ada matahari yang menghadap permukaannya. Tentu, manusia akan "merayakan" hal ini sebagai simbol kemajuan dan kemewahan. Tapi, di balik itu, ada sebuah problema baru yang lama-kelamaan, semakin terkuak, ya apalagi kalau bukan polusi cahaya!
Yah, memang polusi ini tidak kelihatan oleh sebagian besar kita. Tapi, pernahkah kalian berpikir, kalau kita sendiri sebenarnya bisa menjadi "korban" dari pencemaran cahaya ini? Jam biologis kita menjadi kacau, karena dipaksa "kerja" pada malam hari dengan suasana seperti siang, yang sudah pasti akan mempengaruhi kondisi tubuh kalian!
Nah, nggak cuma kita saja yang merasakan dampak dari polusi cahaya ini, lho! Burung-burung yang terbang akan kebingungan arah, juga penyu yang kesulitan mencari tempat bertelur. Bahkan, menurut penelitian, tumbuhan yang terlalu banyak cahaya (buatan), tidak akan tumbuh subur. Duuh, kebayang 'kan kalau kondisi tumbuhan nantinya seperti apa?
Yang lebih parahnya lagi, menurut riset yang dilakukan Light Pollution Science and Technology Institute, lebih dari 80% penduduk bumi, tak lagi merasakan indahnya melihat Bimasakti di langit gegara hidup di tengah pencemaran cahaya. Â Atau, dengan kata lain, sepertiga umat manusia, melihat indahnya langit "berkabut putih", hanyalah sebuah mimpi yang tersimpan rapi.
Tidak hanya masyarakat umum saja, termasuk kaum introvertyang menggemari "pemandangan langit", pengamat astronomi juga mengeluhkan hal demikian. Observarium yang dikelilingi pemukiman yang sudah bercahaya, kini tak bisa "berfungsi" untuk mengamati bintang, dan ujung-ujung ingin pindah ke daerah lain!
Oh pantesan, waktu listrik padam di kampungku, aku malah bisa melihat bintang-bintang dengan leluasa. Seandainya aku hidup di pedalaman yang minim listrik, melihat Bimasakti di langit, adalah sebuah "hiburan" yang kemungkinan besar, pasti terwujud! *ngimpi*
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!
Referensi: satu, dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H