Ini sudah 72 tahun merdeka, Bung! Kok pendidikan di negara kita masih begitu-begitu saja?
Ada hal-hal yang sungguh menyesakkan di batin saya, jika melihat fenomena di dunia pendidikan yang tak habis-habisnya untuk diperbincangkan. Meskipun saya memang terlahir di era pasca-kemerdekaan---belum sampai melangkah ke usia 49 tahun---tapi melihat dunia pendidikan, duuuh rasanya setengah hati! Ingin maju, tapi langkah-langkah yang dilakukan, malah membebani siswa-siswi di seantero negeri. Kasihan juga ya, sebenarnya.
Merdeka secara "lahiriah", ya. Tapi, pada kenyataannya, dunia pendidikan kita tak jua untuk merdeka. Masih merindukan gebrakan-gebrakan, untuk mengeluarkan sistem pendidikan yang masih terbelenggu. Sehingga, tercipta generasi-generasi "bebas", kala negeri ini mencapai tahun emas---semoga bisa tercapai ya, aamiiiin!
Ya, begitulah keadaannya. Di hari kemerdekaan ini, entah kenapa, otak saya terus saja berpikir keras, dan merenung sembari saya membaca artikel. Dan pada akhirnya, saya (lagi-lagi) menyorot sistem pendidikan yang masih "terjajah", dan ingin "diulurkan tangan" untuk bangkit dan meraih kemerdekaannya.
Jujur, sampai saat ini, saya suka dunia sekolah dan ilmu pengetahuan, bahkan setelah 3 tahun meninggalkan bangku sekolah pun, kenangan-kenangan yang berkaitan dengannya masih saja "diawetkan" di sini. Tapi, tidak untuk sistem pendidikannya. Terasa menyiksa!
Ya, daripada lama-lama, saya bahas permasalahan pendidikan di negeri ini, yang dirindukan untuk segera merdeka. Tentu, dari sudut pandang dan analisa saya, berdasarkan pengalaman bersekolah, dan bahan bacaan yang saya pelajari.
Beban Pelajaran yang Terlalu Banyak dan Berat
"Kenapa sih, harus belajar Matematika lagi? Padahal aku 'kan siswa kelas Bahasa. Aku nggak suka pelajaran ini, dan maunya aku, lebih baik dihapus saja!"
Sering kali, hal-hal yang tidak berkaitan dengan minat, dipaksa dipelajari, dan membiarkan potensi tertentu yang harusnya dikembangkan, ditelantarkan begitu saja. Kalau udah begitu, lahirlah berbagai permasalahan di kemudian hari. Bisa berupa contek-menyontek di kelas, melakukan hal-hal yang negatif, dan sebagainya.
Kenapa ya, bisa terjadi demikian? Karena, dari dulu (mungkin) sampai saat ini, kurikulum di Indonesia sudah diberikan pelajaran "yang berat-berat" sejak duduk di bangku sekolah dasar. Lihat saja, duduk di kelas lima sampai enam (seingatku) sudah harus belajar sistem pernapasan, energi hingga tata surya pada pelajaran IPA, tapi 'kan sebaiknya bisa diberikan saat menginjak SMP kelak. Iyaa 'kan?
Kalau dibandingin dengan negara maju, seperti Jepang, di sana anak-anak SD malah ditekankan pemberian mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter. Ohh pantesan, orang-orang Jepang punya karakter positif yang kuat, kalau ketahuan korupsi langsung mengundurkan diri...