Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tak Diundang Pernikahan? Si Introvert Justru Diuntungkan!

28 Juni 2017   18:44 Diperbarui: 29 Juni 2017   20:37 2615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan depan, ya harapannya semoga bisa jadi waktu yang baik untuk dilalui semua orang. Pastinya, ada babak baru yang harus ditempuh di muka bumi, setelah melewati tahapan dan perjuangan yang pernah kita jalani selama ini.

Salah satunya, adalah momen untuk menikah. Kebetulan, bulan Syawal ini adalah bulan terbaik untuk menikah sesuai dengan ajaran Rasul. Ya, kalau dihubung-hubungkan dengan momen Lebaran, kurasa pertanyaan "Kapan Nikah" cukup relevan, meskipun sebaiknya tak diucapkan karena menyinggung ranah yang sangat pribadi.

Apalagi kalau sudah masuk persiapan pesta pernikahan. Adegan bagi-bagi undangan merupakan hal yang biasa terjadi. Oke, teman-teman yang mendapatkan tiket eksklusif untuk menghadiri acara, bisa berpesta pora saat perayaan tiba. Tapi, hal ini tak berlaku bagiku.

Hatiku ini langsung terluka ketika mendengar kabar dari teman sekelas sewaktu SD yang mengatakan, teman sekelas kami (sejak kelas satu sampai kelas enam) akan menikah. Sebagian besar dari teman-temanku, jelas kebagian undangan. Sedangkan diriku hanya bisa menjawab "Tidak" saat teman saya menanyakan hal itu.

"Paling dia lupa sama kamu. Teman yang diundang cuma teman yang dia ingat, apalagi teman-teman di kontak BBM"

Ah, biarkan saja. Bahkan ketika teman saya menawarkan saya untuk ikut menghadiri acaranya, lebih baik saya tidak datang ke sana.

***

Ketika saya menyampaikan kabar ini ke teman SD-ku yang lain, dia bersikap biasa saja. Ya, maklum saja, dia kan tak pernah sekelas dengan temanku yang mau menikah tadi.

Tapi bagiku, kabar ini bisa menyakitkan batinku. Kurasa, sebagai seorang introvert, saya ini perasa, sensitif. Gampang tersinggung. Sayangnya, karena tak memahami karakter orang lain, jadilah pertanyaan tersebut cukup menikam hatiku dan menorehkan rasa kecewa.

Saya sadar, saya bukanlah orang yang mudah akrab dengan orang lain, karena saya tak tahu cara yang tepat untuk menarik hati teman. Bahkan, untuk mengenalku lebih dalam saja perlu waktu lama. Maka tak heran jika teman yang benar-benar akrab dan bersahabat dengan saya tak banyak; paling hanya bisa dihitung dengan jari.

Jadi, jika berkaitan dengan undangan pernikahan, logikanya seperti ini: kalau si ekstrovert, lingkaran pertemanannya luas, karena dia adalah pribadi yang mudah akrab dengan teman. Tentu, hal ini bisa berpengaruh pada banyaknya undangan yang diterima kepadanya, bukan?

Nah, hal sebaliknya bisa terjadi pada si introvert. Kalau temannya memang tidak banyak, otomatis undangan yang dterima juga sedikit. Kecuali, kalau si pengundang masih ingat saya, hehe :D

Karena itulah, ketika mengingat kejadian itu, saya justru merenung, dan saya harus berdamai dengan keadaan diri sendiri  ketika saya memang tak diundang ke pesta pernikahan. Menyakitkan, memang. Bukankah hal ini justru menjadi berkah terselubung untuk mempertahankan energi diriku?

Oke, saya harus bahagia, dan tak boleh bersedih hati! Saya yakin, ada sisi positif di balik kekecewaan saya kala  tak diundang ke pesta. Ya, sebagai pengingat diri lah, kalau kejadian yang sama, bakal terulang lagi di lain waktu.

  • Terima Kasih Tak Mengundangku, Saya Bisa Hemat Energi!

Bagi (sebagian) kaum introvert, pergi ke pesta menjadi momok yang menakutkan. Apalagi kalau kehadirannya setelah pulang kerja. Sudah baterai diri tinggal sedikit, eh harus kepake pula. Ya sudah pasti, jika tak diberi waktu istirahat terlebih dahulu, si innies sudah jelas keteteran untuk melanjutkan aktivitas selanjutnya.

Selain itu, dengan adanya undangan pernikahan yang diterima, tandanya si introvert wajib datang, 'kan? Jika sudah banyak undangannya, dikhawatirkan akan menyita waktu me time yang merupakan kebutuhan pokok bagi si innies untuk mengisi ulang energinya. Waduh, saya harus pandai-pandai mengatur waktu dong...

  • Jika Saya Hadir Ke Pesta, Saya Harus Masuk "Dunia Mereka"

Tahu tidak, apa yang paling membuat si ekstrovert bahagia? Tentu saja ada banyak teman yang siap terhubung denganmu. Selain itu, dengan cahaya dan suara yang cukup bersahabat dengan kondisi diri mereka---yang telah terprogram dengan dopamin dan mode tancap gasnya (meralat yang pernah saya tuliskan sebelumnya)---membuat mereka tak masalah untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang penuh keributan.

Sayangnya, si introvert tak seperti itu. Suasana lingkungan yang terlampau ramai, justru membuat "baterai mental" mereka semakin boros. Jadinya, meskipun dia sudah makan di acara pesta, bukan berarti sudah kuat sepenuhnya. Kok bisa?

Coba kalian lihat sendiri, pada pesta pernikahan, tentunya tak bisa lepas dari suara musik yang memekakan telinga. Tujuannya, jelas, untuk bisa menghibur kedua mempelai. Meskipun demikian, tetap saja hal ini merupakan stimulus yang bisa menguras energinya. Jadinya, tenaga fisik bertambah, iya, tapi mentalnya itu yang membuat mereka lelah!

Duuh, kalau berada di tempat seperti ini, rasanya saya ingin cepat-cepat pulang....

***

Memang, mengundang pernikahan bukanlah hal yang dilarang, bahkan bisa menjadi agenda yang wajib. Karena si introvert bisa menghadiri acara yang memang tujuannya, mengapa tidak? Asalkan kita tahu trik yang tepat untuk bisa menjaga kondisinya, agenda kehadiran si introvert ke pesta pernikahan bisa berubah menjadi kegiatan yang menyenangkan.

Dan, ingat ya, bagi yang suka membicarakan hal-hal yang sensitif, jaga perasaan kami, biar kami tak tersinggung. Kalau tidak, bisa-bisa, kami tak akan mempercayaimu lagi!

Demikian penjelasannya, salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun