Sepanjang manusia ada, dari era kuno hingga kekinian, pastinya mereka pernah bermain dalam keseharian mereka, bukan? Apalagi bagi generasi 90-an, mereka berbahagia dengan permainan yang sangat sederhana. Sebut saja lompat tali, bola bekel, kasti, taplak, gasing, dan lain-lain.
Berbagai permainan yang diciptakan manusia selama ribuan tahun sampai saat ini, membuktikan bahwa kita, memiliki naluri sebagai makhluk bermain (homo ludens). Bahkan, kita perlu bermain dengan berbagai cara, sebagai hiburan sekaligus istirahat setelah kita melakukan berbagai rutinitas.
Namun, pastinya roda waktu akan berputar menuju kemajuan. Perubahan pada games menjadi sesuatu yang tak bisa terelakkan. Saat itu, sebelum era millenium, sudah ada permainan sejenis playstation, bahkan gimbot, yang games-nya yang terkenal adalah Tetris, telah dimainkan oleh sebagian generasi 90-an pada waktu itu.
Ya, di desktop dan handphone yang saat itu hadir dan kita gunakan, ter-install beberapa permainan yang terbawa dari sistem 'kan? Lama-kelamaan, akibat (r)evolusi pada kedua perangkat tersebut, kita bisa menguduh permainan, bahkan bisa bermain game online! Apalagi setelah kedatangan berbagai gadget berupa smartphonedan tablet. Tentu saja, games-nya canggih-canggih ya. Berbagai permainan tersebut, banyak terinspirasi dari cerita-cerita anime terkenal, lho!
Salah satunya, Pokémon Go yang tengah booming saat ini, banyak diunduh oleh brbagai kalangan, terutama kalangan muda Indonesia. Tentu, ada rasa yang mengasyikkan ketika memainkannya. Akan tetapi, bagaikan dua sisi mata uang, pasti ada sisi positif dan negatif, bukan?
Selain dapat menambah pengalaman baru dalam bermain, ternyata permainan Pokémon Go bisa sangat berbahaya jika tidak dimainkan dengan hati-hati. Karena itulah, perlu cara yang bijak untuk bisa mengendalikan game sehingga kita tidak lupa waktu untuk hal-hal lain, begitu juga dengan menggunakan berbagai alat teknologi lainnya.
Ternyata, imbauan tersebut telah dibuktikan sendiri oleh para ahli. Menurut Pak Komaruddin Hidayat dalam bukunya Wisdom of Life—beliau mengutip teori dan pernyataan John Naisbitt tentang seharusnya kita menggunakan teknologi mutahir, yang sekaligus menjadi judul karyanya, High Tech, High Touch. Maksudnya, kemajuan teknologi (high tech), meskinya dikendalikan oleh sentuhan tangan manusia yang memiliki kemampuan moral dan kemanusiaan yang juga canggih (high touch). Apa jadinya, jika teknologi semakin maju sedangkan low touch-nya rendah? Pasti binasalah dunia ini.
Nah, bisa dibuktikan sendiri, banyak orang yang menjadi korban dari penggunaan game, bisa lupa bersosialisasi dengan sesama, nilai sekolah jeblok, dan masih banyak lagi. Terlebih, jika game yang dimainkan tidak sesuai dengan usianya. Bisa-bisa,berpengaruh pada perkembangan mental anak dan perilakunya akan mengrah ke hal-hal negatif. Misalnya saja, kekerasan.
Dengan adanya sisi buruk seperti itu, sebaiknya kita melakukan berbagai hal, agar kita bisa menjadi pribadi yang high touch dalam pengunaan teknologi, khususnya game. Bagaimana caranya?
Pertama, libatkan orang tua untuk mengawasi anak-anak.
Banyak orang tua yang mulai khawatir dengan anak-anak yang mulai suka permainan, baik lewat aplikasi maupun secara online. Apalagi sampai si anak lupa waktu. Sebaiknya, orang tua harus memberi arahan pada anak-anak untuk menentukan kapan mereka bermain game serta durasinya, agar mereka tidak lupa dengan jadwal harian lainnya seperti bersekolah, makan, dan belajar. Kalau bisa, alihkan waktu berman game dengan yang lebih bermanfaat, misalnya membaca buku.