Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kesalahan, Melahirkan Pengetahuan?

13 Maret 2016   03:41 Diperbarui: 13 Maret 2016   15:32 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi peneliti. Sumber gambar: worldwidecancerresearch.org"][/caption]Sudah setahun lebih saya mencoba pengalaman baru dengan belajar menulis di Kompasiana. Banyak yang saya dapatkan melalui kegiatan merangkai kata per kata menjadi informasi yang padu. Sekali lagi, sudah cukup banyaak! Memang sudah beberapa artikel di Kompasiana saya yang membahas hal-hal tersebut. Tapi, yang tak terlupakan saat belajar menulis adalah ketika saya melakukan kesalahan-kesalahan saat menulis.

Bagi penulis pemula, terlebih lagi yang baru saja memulai menulis dari nol, itu hal yang wajar jika ada terjadi kesalahan. Namanya aja belajar menulis. Saya masih ingat, saya menulis itu walaupun sudah ditayangkan itu selalu ditambah-tambah jika ada ide yang kurang, bahkan ada kalimat yang saya rubah. Cerobohnya lagi, saya berusaha menambah foto dengan menyertakan sumbernya, eh foto itu malah dihapus Admin dan mendapatkan ‘surat cinta’ agar saya tidak mengulangi lagi kesalahannya.

Ya, saya waktu itu terlalu prefeksionis dalam menulis. Seringkali nggak menyempatkan waktu untuk menyunting tulisan sebelum tayang atau menambah ide-ide waktu tulisan masih dalam bentuk draft. Sampai suatu ketika, saya membaca tulisan Kang Pepih yang berjudul Tidak Etis, Mengubah Konten Tulisan Sendiri yang Di-HL-kan Kompasiana. Artikel ini sukses “menampar” diri saya. Waaah, ternyata artikel ini sangat relevan dan bermanfaat dalam menulis ya, walaupun telah ditayangkan dua tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2013. Tahu sendiri ‘kan, pada waktu itu saya belum bergabung di Kompasiana dan saya masih duduk di bangku sekolah, tepatnya pada kelas tingkat akhir.

Ketika inspirasi hendak datang, sadar atau tidak, karena dorongan diri sendiri atau setelah membaca berita dan buku, saya merenung yang kemudian saya dapat ide untuk menulis, terlebih artikel-artikel tentang pengalaman kepenulisan saya. Namun, dua artikel terakhir saya tentang menulis, “Muhasabah” dalam Menulis dan Menghindari “Sistem Kebut Semalam” Saat Menulis, justru terlahir setelah saya melakukan kesalahan saat menulis. Ya, minimal jadi pelajaran buat diri sendiri dan orang lain, agar bisa menulis dengan lebih baik.

Ketika Kesalahan Melahirkan Hikmah dan Pengetahuan

Salah dan lupa, dua hal yang sudah menjadi bagian dari tabiat manusia secara turun menurun. Yaa sejak zaman nenek moyang kita ada di dunia ini. Itulah kelemahan kita dibalik kesempurnaan fisik dan akal yang telah diciptakanNya, dan menjadikan kita termasuk makhluk paling sempurna diatas tumbuhan, hewan, bahkan alam semesta sekalipun.

Tentu, saya sudah membahasnya pada artikel ini, dimana dengan sifat salah yang ada pada diri kita, kita terhindar dari kesombongan. Kesombongan itu bisa berupa merasa diri paling benar maupun paling pintar sehingga orang lain salah maupun bodoh. Padahal, diatas itu semua, hanya Tuhan yang memiliki segalanya, termasuk kebenaran dan kepintaran. Hanya Dia yang pantas membanggakan diriNya!

Okelah. Memang, salah itu dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Ups, gak selamanya itu ya. Kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, jika direnungkan, berpikir kritis dan diambil pelajaran maupun kesimpulan dari permasalahan, justru melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru yang sangat bermanfaat, contohnya seperti pada kasus saya di atas.

Dalam dunia sains, penelitian adalah ujung tombak utama untuk melahirkan penemuan baru. Tapi, terkadang, tanpa direncana pun—banyak kejadian sehari-hari yang berawal dari kesalahan kita yang justru berguna di kemudian hari. Tidak hanya di dunia sains, ada temuan-temuan baru di bidang kuliner, misal, itu semua diawali dengan peristiwa yang tidak disengaja!

Tahu Post-it? Kertas perekat “ajaib” yang kini banyak digunakan di kalangan pelajar dan dijadikan sebagai peralatan ATK ini berawal ketika Dr Silver ditugaskan untuk membuat lem super yang sangat kuat, namun gagal karena lem tersebut “unik” dan akhirnya tidak lagi digunakan. Hingga suatu ketika, rekannya, Athur Fry, yang penasaran dengan lem tersebut mencoba merekatkan kertas nyanyiannya yang mudah terlepas dengan lem super itu, tetapi nyatanya lem tersebut tidak merusak kertas. Akhirnya, dari kejadian itu, lahirlah ide untuk membuat Post-it yang kini telah banyak dipakai di seluruh dunia.

Begitu juga dengan makanan ringan yang kini telah mendunia itu, Chocochip. Sang penemu, Ruth Grave ketika itu hendak membuat kue cokelat. Sayang sekali, cokelat batangannya habis sehingga dicampurlah adonan tersebut dengan coklat bar. Ketika adonan dipanggang, anehnya coklat bar tersebut tidak meleleh dan tetap utuh seperti waktu dicampurkan. Hal inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya kue Chocochip yang mudah ditemukan di berbagai belahan dunia.

Tetaplah Berpikir Kritis!

Kita, manusia, pada dasarnya diciptakan untuk selalu berpikir dan mencari tahu apa yang terjadi di dunia ini. Bahkan, akal yang dianugerahkan Tuhan kepada kita dapat menuntun kita untuk menciptakan hal-hal baru baik sesuatu yang sederhana, maupun yang paling rumit dan canggih sekalipun, teknologi misalnya. Sampai sekarang pun, manusia-manusia masa kini terus berpikir jauh ke depan untuk menciptakan penemuan-penemuan baru, bahkan menyempurnakan penemuan yang telah ada sebelumnya.

Terlebih lagi dalam dunia tulis-menulis. Kemampuan imajinasi yang hanya ada pada benak kita, bisa menciptakan jutaan karya fiksi di dunia yang menakjubkan untuk dibaca! Luaaar biasa! Apalagi jika pengalaman tersebut ditarik kesimpulannya untuk menjadi bahan tulisan. Tulisan-tulisan tersebut bisa menjadi nilai tambah, bermanfaat bagi pembaca.

Sayang sekali, generasi muda kita kebanyakan masih belum memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Sistem pendidikan di sekolah kebanyakan memberikan ilmu bagi siswa dalam bentuk ceramah maupun presentasi, selesai. Jarang sekali ada tugas yang butuh pemikiran kritis, kecuali yang pernah bergabung di kelompok penelitian.

Pantas saja, banyak anak sekolah yang melakukan aksi contek-menyontek di sekolah ketika ujian tiba. Ini bukan hanya masalah ketidakjujuran lho ya. Ditambah lagi, jumlah jurnal ilmiah yang dipublikasikan Indonesia masih rendah dibanding negara-negara lain, apalagi negara maju yang berpikirnya jauh lebih baik dibanding kita. Sekali lagi, keduanya bisa ditimbulkan, generasi muda banyak yang malas berpikir dan terlalu mengandalkan kepraktisan!

“Jangan terus menerus melakukan kesalahan, ambilah pelajaran”. Inilah kalimat bijak yang sering kita dengar maupun dibaca. Namun, dalam praktiknya, apakah kita sering melakukannya? Hanya orang bijaklah yang melakukan itu untuk mengarungi hidup, bahkan justru diperlukan oleh kita, terutama pelajar, untuk selalu berpikir kritis!

Mengapa? dalam mengambil pelajaran hidup, tentunya melibatkan pemikiran dan renungan yang paling dalam. Artinya, kita dituntut agar selalu berpikir! Jika kita melakukan kesalahan, dan kita berpikir tentang kesalahan itu, otak kita akan mengambil keputusan yang berlawanan untuk kebaikan. Misalnya begini, kita baru saja melakukan kekacauan dalam pekerjaan kita. Lalu kita berpikir, apa penyebabnya. Ooh ternyata begini, kecerobohan! Makanya diambil kesimpulan: kita tidak boleh melakukan kecerobohan dan harus mengerjakan sesuatu dengan cermat.

Begitu pula dengan berpikir dalam menyelidiki sesuatu. Intinya, setelah bertanya atas problema yang terjadi, mencari jawaban dan ditemukan hubungan terhadap kedua hal, tariklah kesimpulan, terutama penyelesaian dari masalah tersebut. Jadilah gagasan-gagasan baru. Tentu, dibutuhkan pengetahuan yang cukup untuk bisa berpikir menemukan hal-hal baru.

Inilah cara berpikir yang sederhana, namun membutuhkan latihan terus menerus. Tidak harus ketika melakukan kesalahan itu, kok. Cara berpikir serupa sangat diperlukan ketika kita, terutama para pelajar dan mahasiswa nih, menyelidiki permasalahan pada kehidupan dan lingkungan sekitar, ketika melakukan penelitian, riset ilmiah, maupun menulis. Niscaya, tulisan-tulisan, dan jurnal ilmiah akan terlahir aktual dan penuh inovasi-inovasi baru. Bukan tidak mungkin, negara kita kelak menjelma menjadi negara yang maju!

Demikianlah, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!

Referensi: andriewongso.com, ciputraentrepreneurship.com, bungasari.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun