Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kasus Selamatan Raffi dan Nagita: Pelajaran untuk Seluruh Stasiun TV

24 Juni 2015   09:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:22 17911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program siaran “Janji Suci Selamatan Tujuh Bulanan” yang disiarkan 14 Juni 2015 mulai pukul 13.54 hingga pukul 21.34 WIB. (Tribunnews.com)

 

Trans TV sepertinya akan bernasib sama dengan apa yang pernah dialami RCTI, akhir Desember tahun lalu. Hal ini terjadi karena stasiun TV tersebut menayangkan pesta Selamatan Raffi dan Nagita, diikuti dengan acara Baby Shower, selama tujuh jam. Durasi yang dinilai KPI sebagai durasi yang tidak wajar untuk sebuah ukuran infotaiment. Hal yang sama pernah terjadi pada Pernikahan Raffi dan Nagita, dua hari berturut-turut, bulan Oktober tahun kemarin. Akibatnya, berdasarkan hasil akumulasi pelanggaran tersebut, KPI dan Kemenkominfo akan meninjau kembali izin Trans TV. Kemungkinan, Trans Media akan kehilangan salah satu unit usaha stasiun televisi. Sayang sekali, bukan?

Menjadikan Acara Kebudayaan Sebagai Pendidikan bagi Masyarakat

Menurut yang saya baca pada artikel dari Kompasianer M. Ali Amiruddin, penayangan acara yang mengandung kebudayaan sangat bagus untuk dijadikan contoh bagi generasi muda yang mau melestarikan budaya bangsa, agar keberlangsungan budaya bangsa, tetap terjaga.

Jadi, para pemirsa jangan langsung menganggap acara tersebut ‘tidak penting’! Sebenarnya dibalik penayangan itu semua, tidak ada yang sia-sia. Hal-hal yang mengangkat kebudayaan perlu dilestarikan pada acara televisi. Pasalnya, tidak banyak masyarakat pada zaman modern yang mau melestarikan tradisi karena berbagai alasan. Jangankan pernikahan, acara tujuh bulanan saja tidak pernah!

Oleh karena itu, walaupun banyak pemirsa yang tidak suka akan acara tersebut, hendaknya para pemirsa mengambil sisi positif dari acara tersebut. Penayangan acara kebudayaan Raffi dan Nagita yang dikemas secara detail bisa sebagai sarana untuk belajar (dengan bimbingan dan penjelasan orang tua tentunya), bagaimana tata cara acara adat seperti pernikahan, siraman, tujuh bulanan, dan sebagainya. Hal tersebut sangat berguna untuk para pemirsa yang hendak menggelar acara serupa di lingkungan masyarakat.

Belajar dari Penayangan Pernikahan Gibran-Selvi

Teguran KPI di atas rupanya tidak berlaku pada acara Pernikahan Gibran dan Selvi. Menurut Judhariksawan, ketua KPI, acara tersebut mengandung sisi baik dari kebudayaan yang ditonjolkan pada pernikahan tersebut.

Lantas, apakah KPI menganggap acara Selamatan Raffi dan Nagita tayangan yang tidak berguna? Tidak! Justru yang mendasari pemberian sanksi yang membedakan antara acara pernikahan Gibran-Selvi dan Selamatan Raffi-Nagita adalah durasi, cara penyajian dan konten yang ditampilkan.

Seperti yang diketahui, Gibran rupanya tidak mau pernikahannya disorot media terlalu lama. Karena itu, pihak stasiun TV hanya menayangkan momen penting, dari siraman, midodaereni, dan sebagainya yang disajikan secara bertahap pada acara berita. Bahkan ada juga stasiun TV yang mengemas acara tersebut selama 3,5 jam.

Sedangkan, pada acara Selamatan Raffi dan Nagita, selain durasinya yang memakan waktu tujuh jam, ada peristiwa tidak penting yang seharusnya tidak ditampilkan, seperti macet di jalan, dan sebagainya. Hendaknya pada acara tersebut hanya ditampilkan hal-hal penting saja, yaitu budaya Indonesia dan tidak melebihi durasi yang ditetapkan KPI, atau bisa juga dengan menayangkan prosesi tersebut secara bertahap pada acara infotaiment. Hal yang sama harus diperhatikan dan dijadikan pelajaran untuk semua stasiun TV yang hendak menayangkan acara serupa.

Stasiun TV, Jangan Terjatuh pada ‘Lubang yang Sama’

Frekuensi adalah milik publik. Kata-kata tersebut harus dicamkan betul tidak hanya pada stasiun TV, juga penyelenggara acara yang melibatkan para artis. Hendaknya para artis dan stasiun TV bertanya pada diri sendiri: “Apa sih manfaatnya bagi publik?”. Karena, penayangan tersebut secara tidak sadar akan menghilangkan acara yang lebih penting yaitu berita. Seperti yang pernah dibahas di artikel ini, pemirsa tidak bisa mendapatkan informasi aktual karena acara berita ditiadakan akibat acara selebritis yang cukup lama.

Oleh karena itu, stasiun TV harus mengerti kebutuhan para pemirsa. Karena kebutuhan pemirsa akan acara TV berbeda-beda sesuai minatnya. Ada yang menyukai acara berita, tapi tidak suka infotaiment. Ada pula yang suka menonton acara-acara ringan. Ada juga yang suka menyaksikan acara film dan sebagainya. Dengan memahami kebutuhan pemirsa, stasiun TV bisa membagi porsi acara TV dengan adil.

Kemungkinan, proses persalinan para artis akan ditayangkan kembali di televisi secara live, dan tidak lepas dari sorotan publik. Seharusnya stasiun TV berkaca dari kesalahan yang diperbuat dalam menayangkan acara televisi dan tidak terulang lagi pada acara persalinan nanti, sehingga nasib keberadaan stasiun TV tidak ‘menghilang’. Kalau sekali melakukan kesalahan, itu wajar. Namun kalau sudah berkali-kali, sudah mencerminkan perbuatan yang tidak baik.

Oleh karenanya, stasiun TV harus berkomitmen untuk menyenangkan para pemirsa dengan acara-acara yang tidak melanggar aturan. Kasihan bukan, pemirsa sudah dikasih amanah berupa frekuensi masih saja disia-siakan oleh stasiun TV.

Demikianlah, semoga stasiun TV bisa mengambil pelajaran. Salam Kompasiana!

Sumber berita: tribunnews.com, bintang.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun