Kecil-kecil, cabe rawit. Itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan peran masyarakat keturunan Tionghoa, kaum minoritas terbesar di Indonesia. Seperti di negara asalnya yang penuh dengan perang saudara pada masa lalu, ternyata pada Rezim Soeharto, mereka 'dikurung' dalam negaranya sendiri; tidak bisa bebas untuk beribadah menurut kepercayaannya, apalagi merayakan Imlek, hanya karena negara Tiongkok pernah terlibat pada G30S/PKI!
Namun, berdasarkan pengalaman dari nenek moyang mereka, mereka menjadi tabah dalam menjalani hidup meskipun nama asli mereka dibuah ke nama Indonesia; nama asli mereka hanya dipakai dalam acara non-formal. Mereka juga diharuskan memilih agama dari 5 agama resmi di Indonesia, karena agama Konghucu waktu itu dilarang dijadikan agama resmi, maka tak heran jika agama Kristen lebih banyak dipilih oleh warga keturunan Tionghoa dibanding agama tradisi mereka, Buddha. Mereka ikut bekerja dibalik layar sesuai peran masing masing misalnya pengusaha.
Pada akhirnya, kemajuan Indonesia pun berkembang melalui tangan-tangan Tionghoa, tanpa mereka sadari. Bahkan ada juga atlet Indonesia yang mengharumkan nama bangsa, meskipun menyembunyikan identitas asli Tionghoa mereka pada waktu itu, sebut saja Alan Budikusuma dan Susi Susanti, atau pengusaha sukses yang mengenal produk teknologi dalam negeri yang tak kalah kualitasnya dengan negara Jepang dalam bendera perusahaan milik Hartono, maupun perusahaan terkenal Lippo Grup yang dimiliki oleh keluarga Riady. Apalagi di zaman sekarang pun peserta Olimpiade Sains Internasional, siswa-siswi cerdas dan berbakat pun didominasi oleh keturunan Tionghoa.
Sekarang pun warga keturunan Tionghoa masih unjuk gigi; berperan besar dalam kemajuan bangsa sesuai dengan bidang yang mereka minati. Ada yang jadi atlet, pengusaha, pembawa acara di TV, penyanyi, artis, mahasiswa, jurnalis, dosen, dokter, menteri, aktivis, politisi, pendeta, dan ada juga yang menjadi ustadz dan ustadzah! Peran mereka di masa lalu dilanjutkan oleh mereka secara lebih bebas karena di era Gus Dur, keberadaan keturunan Tionghoa kini diakui, dan dihargai. Tidak peduli siapa mereka dan sukunya apa, meskipun berkontribusi untuk kemajuan Indonesia, mengapa tidak?
Bukankah negara kita menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Kita harus diakui bahwa suku Tionghoa datang pada ribuan tahun lalu ke Nusantara, melebur dalam kebudayaan kita. Nasi Goreng, Mi Kuah maupun Goreng, Lumpia, hanyalah secuil dari pengaruh kebudayaan Tionghoa yang membuat ragam kuliner Indonesia menjadi lebih kaya. Seharusnya kita jaga kebudayaan, juga eksistensi suatu suku bangsa. Apa jadinya kalau keturunan Tionghoa tidak ada dalam kehidupan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H