“It’s Hard to determine whether you really have feeling for someone or you’re just carried away by the good things he/she does”
Sabtu (06/11/10), malam minggu ini saya habiskan tidak dengan sendirian. Akhirnya saya bisa ber-malam minggu berdua dengan orang yang saya sayangi. Kami menghabiskan sore dan malam itu bersama, sekadar untuk melepaskan kejenuhan akibat minggu-minggu ujian. Rasa kecewa karena gagal melaksanakan yang telah saya dan teman-teman saya rencanakan, terbayarkan sudah. Hari itu saya belajar banyak hal.
Introspection is not a word to say. It’s a thing to do.
Ini bukan pertama kalinya saya (sok) menasihati orang untuk mau melepaskan diri dari masa lalunya dan mencoba untuk mengambil kesempatan yang ada di depan matanya. Mudah sekali mengatakan“You need to move on and take a new chance!” Ya, saat itu sering kali saya berhasil meyakinkan orang untuk percaya kalau tak ada gunanya mengurung diri dalam masa lalu dan mengharapkan sesuatu yang kurang realistis. Walaupun, keyakinan itu, faktanya tidak akan bertahan lama dan akan kembali pada ketergantungan pada harapan—yang katanya tak ada yang terlalu tinggi itu.
Beberapa jam kemudian, ketika kami duduk bersama dalam keadaan santai, kami mulai membicarakan hal-hal yang dengan topik yang secara otomatis (dalam keadaan apapun) akan terbahas. Lucunya, ketika saya mulai hanyut dalam obrolan itu, secara tidak sadar saya menceritakan suatu masalah yang mirip dengan (masalah) yang sebelumnya teman saya ceritakan, dan ternyata itu adalah masalah saya sendiri! Rupanya saya lupa merefleksikan apa yang telah saya katakan kepada teman saya ke dalam diri saya sendiri. Lalu teman saya itu mulai menasihati saya, hampir sama dengan apa yang telah keluar dari mulut saya untuknya. Seperti tebakan saya, ia kan menanyakan hal ini, “How can you asked me to take those chance, while you never let this happened to yourself?”
The confirmation bias. Buat saya, tidak semua kesempatan ada untuk diambil. Kesempatan itu ada untuk dipelajari. Gawatnya, pada proses pembelajaran itu, seringkali kita melibatkan orang lain. Ketika banyak kesempatan datang, kita tetap harus memilih salah satu. Maka, mengambil suatu kesempatan juga bukanlah hal yang sederhana. Lalu, kenapa saya tetap keukeuh—dengan mudahnya—menyuruh teman saya itu untuk melakukannya? Seakan-akan hal itu adalah sesuatu yang mudah dilakukan. Saya rasa, inilah jawaban mengapa keyakinan seseorang untuk berubah jarang ada yang bersifat permanen.
If only we can clearly predict what will happen to us after taking/leaving a chance…
Sepulang dari malam minggu yang pendek itu, saya langsung mengecek apa yang sedang terjadi di dunia per-twitter-an. Tuhan selalu memberikan saya kejelasan tentang apa yang sedang mengusik pikiran saya. Saya pernah mendengar kalimat ini “semesta mendukung apa yang kita pikirkan dan inginkan”
Disana saya menemukan sebuah kalimat (seperti yang ada di awal tulisan ini) yang di-tweet oleh seorang teman. Percaya atau tidak, dalam perjalanan pulang dari kelapa gading, teman saya menanyakan hal itu pada saya. Pertanyaan yang membuat saya terdiam dan menerka-nerka ada di posisi yang mana sebenarnya saya ini. Ia meminta saya untuk memastikannya, menanyakan kepada diri sendiri apakah saya benar-benar tulus atau jangan-jangan ada motif lain dibalik semua ini. Saya menjadi takut kalau kemungkinan yang kedua itu yang sebenarnya terjadi. Saya takut ini semua hanya sesaat. Saya takut berbuat salah. Tiba-tiba saya merasa harus menyerah.“Yasudahlah…"
Play safe. Mungkin karena melibatkan orang lain, saya harus memastikan tak akan merugikan siapapun ketika saya mengambil suatu keputusan. Kata teman saya, “I’m just trying to anticipate something won’t be broken at the end.” Saya mengerti.
Happy and hard laughs all day, doesn’t really mean dry pillows at night.
Saya berkuliah di jurusan yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, sehingga seharusnya saya dapat lebih mudah memahami manusia itu sendiri. Lalu saya berpikir, apakah benar saya bisa memahami orang lain lebih baik? Apa ada orang yang benar-benar dapat memahami kondisi dan masalah orang lain? Bahkan kita sendiri saja sering sulit memahami masalah sendiri?
Jawabannya, tidak ada yang benar-benar bisa memahaminya paling tidak sampai kita mau jujur pada diri sendiri dan menceritakannya pada orang lain. Di malam minggu itu, kami saling menceritakan masalah masing-masing, saling menasihati, awalnya saling menganggap bahwa masalah diri sendiri adalah masalah yang terberat. Di tengah perjalanan pulang itu, kami mempelajari banyak hal. Mulai dari menceritakan masalah masing-masing, mancoba saling memahami dan menasihati, dan saling merefleksikannya pada diri sendiri.
Beberapa jam kebersamaan itu membuat kami belajar untuk lebih saling menghargai. Menghargai orang lain dan menghargai apa yang kita miliki. Kami juga belajar mengingatkan. Mengingatkan kalau dunia itu tidak sesempit pemikiran kita. Kami belajar menerima.Menerima kenyataan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan saling menguatkan. Last but not least, kami belajar untuk mempelajari kesempatan.
A : “After these conversations, I’m sure that I will be a different person since I open my eyes in the tomorrow morning.”
W : “Well, I hope that means we’ll be a lot better than before.”
**
D.W.S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H