Mohon tunggu...
dewi lestari
dewi lestari Mohon Tunggu... -

lahir dan besar di jakarta, smpn 49 (1983-1986), SMA 14 (1986-1989), STAN - akuntansi (1989-1992), STIE YAI (1995-1997), sekolah terakhir di Magister Perencanaan & Kebijakan Publik UI (2006-2008), sekarang bekerja sebagai pegawai

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ayo Menghujat dengan Benar!!! (Siapa yang Belum Reformis, DJP, WP, atau Pengadilan Pajak?)

29 Maret 2010   16:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:07 2953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit terkuak bahwa peran Gayus adalah makelar kasus. Yaitu calo penghubung antara WP dan Pengadilan Pajak. Dengan kata lain, bukan semata-mata karena jabatannya sebagai penelaah keberatan, Gayus bisa menjadi kaya raya. Justru karena lihainya berkata-kata dan menjadi penghubung, makanya pundi uangnya jadi menggunung. Kok bisa? Mari kita lihat kronologisnya. Sistem pajak yang dianut Indonesia adalah Self Assessment, yaitu hitung sendiri, bayar sendiri dan lapor sendiri. Semua SPT dianggap benar sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Di ujung bawah SPT  ada sumpah yang menyatakan bahwa data yang disampaikan adalah data yang sebenar-benarnya. Karena sistem self assessment ini, maka wajar saja ternyata permainan pertama ada di Wajib pajak. Siapa sih yang mau bayar pajak dengan sukarela? Jujur saja, mungkin hanya 5 dari 100 SPT orang pribadi, yang statusnya kurang bayar. Maka untuk menyiasati keengganan bayar pajak, DJP memperkenalnya sistem pemotongan/pemungutan pajak (witholding tax). DJP memberikan wewenang pada Wajib pajak badan untuk memungut dan menyetorkan seta melaporkan pajak yang wajib dipungutnya. Maka di sisi Wajib Pajak sudah ada 2 celah untuk menyelewengkan uang pajak yang harusnya masuk kas negara. Celah pertama, WP melaporkan SPT-nya tidak dengan sebenarnya. Caranya bisa dengan merendahkan penjualan/penghasilan atau menggelembungkan biaya. Dus hasil akhirnya adalah rendahnya Penghasilan Kena Pajak. Celah kedua adalah tidak menyetorkan dan melaporkan pajak yang sudah dipungut ke kas negara. Contoh kasusnya sudah banyak. (silahkan baca  http://big-sugeng.blogspot.com/2010/01/inilah-hasil-keputusan-pengadilan.html) Di 2 celah ini, bisa jadi DJP sama sekali tidak tahu. Kalau SPT si WP kelihatannya seakan-akan benar, SPTnya tidak lebih bayar, tidak melaporkan kerugian, maka insyaallah SPT tsb aman dari jangkauan pemeriksaan DJP. Kalau PPh yang dipungut oleh si WP tidak disetor, dan pihak yang sudah dipungut pajaknya juga tidak mengkreditkan (biasanya karyawan, karena merasa sudah dipotong pajak, tidak merasa perlu untuk melaporkan pajaknya, makanya sekarang karyawan wajib lapor SPT OP, supaya bisa diyakinkan bahwa perusahaan sudah menyetorkan PPh Pasal 21 yang dipungut, siapa tahu pajak PPh Pasal 21 karyawan yang sudah dipotong dari gaji si karyawan, tidak dilaporkan oleh perusahaan), maka bisa saja si WP wajib pungut tidak merasa perlu untuk menyetorkan dan melaporkan pajak yang sudah dia pungut. Nah WP bandel model begini, cukup banyak.  Sudah bukan rahasia, bahwa perusahaan besar, terutama perusahaan multi nasional, punya perencanaan pajak yang sangat canggih didukung konsultan pajak. Sebagai informasi, jumlah wajib pajak badan sekarang ini kurang lebih 3juta sedangkan WP Orang Pribadi sekitar 11 juta (per agustus 2009), sedangkan jumlah pemeriksa pajak cuma 3000 orang seluruh Indonesia. Artinya, hampir mustahil untuk memantau seluruh SPT WP ini secara cermat dan akurat. Artinya lagi penyelewengan pertama penerimaan pajak yang harusnya masuk ke kas negara, ada di tangan wajib pajak. Berhubung petugas pemeriksa pajak hanya 3000-an orang dibanding jumlah WP yang 14 juta, maka hanya SPT  WP yang melaporkan kelebihan bayar pajak atau melaporkan SPT rugi (untuk WP Badan) yang jadi target pertama pemeriksaan pajak. Hasil pemeriksaan biasanya adalah koreksi pajak. Bisa Lebih bayar yang diklaim WP berkurang, bisa jadi malah WP harus setor pajak sebagai akibat dari ketidakbenaran (sengaja atau tidak sengaja karena tidak mengerti peraturan pajak) pelaporan SPTnya. Disini kembali ada celah penyelewengan. WP yang tidak kepingin membayar pajak tambahan akibat hasil pemeriksaan, berusaha mendekati pemeriksa pemeriksa pajaknya untuk menegosiasikan koreksi SPT-nya. Pemeriksa pajak yang lemah iman bisa saja tergoda, apalagi kalau memang koreksi pajaknya dalam wilayah abu-abu. Tetapi seperti kata Gayus sendiri, setelah Kantor pajak melakukan reformasi pajak, celah ini makin mengecil. Karena hasil pemeriksaan akan direview oleh kepala kantor, tim pembahas, tim review kantor wilayah, tim review kantor pusat (khusus untuk kasus tertentu) dan belakangan, oleh  tim Inspektorat Jendral. Nah, disini pun bisa saja ada makelar ikut bermain. Siapa makelar ini? bisa konsultan pajak, bisa juga pegawai WP sendiri, atau orang yang ngaku-ngaku bisa ngurus dan bernego dengan pemeriksa pajak. Ini terjadi karena keengganan sebagian WP untuk mengurus sendiri pajaknya. Karena sudah terlanjur ngeri dan merasa tidak berilmu pajak yang cukup untuk menghadapi pemeriksa pajak, terkadang WP mengutus konsultan pajak, atau pegawainya sendiri atau orang lain. Akibatnya, karena tidak bertemu langsung dengan pemeriksa pajak, si perantara tadi bisa saja bercerita macam-macam. Mengaku-ngaku bahwa petugas pajak minta duit, padahal duit itu bisa jadi langsung masuk kantongnya sendiri. Untuk menghindari hal begini, DJP sudah mengeluarkan aturan siapa saja yang boleh mewakili WP dalam hal pemeriksaan. Begitupun, setelah pemeriksaan selesai, WP harus menandatangani Surat Pernyataan bahwa WP tidak pernah memberi sesuatu apapun kepada pemeriksa pajak. Meskipun begitu, DJP pernah beberapa kali kecolongan, karena DJP tidak dapat memantau semua (Surat Pernyataan tersebut bisa saja dipalsu juga oleh si perantara. Maka, saran saya, biar bagaimanapun lebih baik, Anda, sebagai pengusaha/pemilik perusahaan atau orang pribadi, usahakan untuk langsung bertemu dengan petugas pajak anda terutama dalam hal pemeriksaan pajak, karena bisa saja ternyata anda tertipu oleh utusan yang anda percayai Seandainya (dan saat ini lebih sering terjadi) si pemeriksa pajak tak tergoda rayuan WP untuk menegosiasikan jumlah pajak yang masih harus dibayar, maka kasus pajak tersebut akan dibawa ke bagian keberatan/banding. BIla jumlah sengketa pajak dibawah 8 M, maka cukup penelaah keberatan di kantor wilayah yang menangani kasus keberatan. Untuk nilai diatas itu, kasus akan ditangani oleh penelaah keberatan di Kantor pusat. Disini ada kemungkinan celah penyelewengan lagi. Kembali lagi, biasanya atas inisiatif WP yang enggan bayar pajak, si Penelaah Keberatan bisa tergoda untuk mengabulkan keberatan WP. Tapi kembali lagi, sejak reformasi pajak bergaung di seluruh kantor pajak, petugas penelaah keberatan, biasanya tidak berani neko-neko. Yang aman, selama koreksi pajak tersebut didukung peraturan perundangan, maka biasanya keberatan ditolak. Nah, berkaitan dengan kasus Gayus, sudah pasti kasus yang ditangani Gayus bernilai besar. Tentu saja WP yang merayu Gayus WP besar juga. Seperti yang sudah diungkap Pak Dirjen Pajak, kasus keberatan yang dipegang Gayus 80-90%-nya hasilnya ditolak, artinya kasus ini diteruskan ke Pengadilan Pajak. Karena DJP sudah memutuskan bahwa koreksi yang dilakukan oleh pemeriksa pajak sudah benar menurut UU. Artinya lagi bisa saja ternyata atasan langsung Gayus, berikut atasannya lagi sama sekali buta akan sepak terjang permainan Gayus. Bagaimana bisa? karena yang dilakukan Gayus adalah sebagai makelar atau calo penghubung antara si WP dengan Pengadilan Pajak. Jadi tidak berhubungan dengan tugas Gayus sebagai penelaah keberatan. Secara track record, justru kasus yang dipegang gayus hasilnya adalah penolakan keberatan, maka prestasi gayus di mata atasannya adalah bagus. Sebagai informasi, Petugas penelaah keberatan bekerja sendiri, bukan dalam tim. Hasil kerjanya akan direview oleh atasan langsungnya , yaitu Kepala seksi (Kasi), direview kembali oleh atasan Kasi, dan seterusnya, sampai surat keputusan banding/keberatan ditandatangani. Sekarang kasus WP ini sudah masuk ke Pengadilan Pajak. Disinilah permainan ala Gayus sesungguhnya dimulai Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Saat ini ada 50 hakim yang berasal dari pajak sendiri dan pihak luar. Pengadilan pajak adalah badan di luar direktorat jenderal pajak. Sesuai UU no 14/2002, atas keputusan Pengadilan pajak,dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Saat ini, sesungguhnya tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya gayus memainkan percaloannya. Mungkin bisa saja WP yang dulu kasusnya dikalahkan di tingkat banding, justru dibantu Gayus untuk bertemu dengan bagian sekretaris pengadilan yang mengatur kasus si WP akan masuk ke majelis hakim yang mana. Mungkin pada saat pertemuan itu sudah disepakati bagaimana kelak hasil putusan itu diatur. Mungkin diatur pula bagian abu-abu mana yang bisa dipatahkan dalam kasus banding tersebut. Dalam suatu persidangan, DJP sebagai tergugat akan diwakili oleh penelaah keberatan, pemeriksa pajak, dan kadang-kadang turut mengundang pula Account Representative (AR) WP yang bersangkutan. Bilamana pemeriksa pajak berhalangan hadir atau mungkin sudah berganti (karena mutasi pegawai di DJP bisa terjadi tiap 2 atau 3 tahun sekali). Maka bisa saja Gayus hadir sendiri, terlebih bila Kasi atasan Gayus punya kesibukan lain. Maka makin leluasa Gayus mengatur alur permainannya. Tapi sekali lagi, ini cuma mungkin. Karena terus terang, saya tak dapat membayangkan apa sebenarnya yang dilakukan Gayus. Dari pengalaman saya berhadapan dengan majelis hakim, rasanya hampir tak mungkin berhandai-handai dengan mereka. Selain mereka sangat senior (umur jabatan hakim pengadilan pajak bisa mencapai 65 tahun), pembawaan mereka, jauh dari ramah. apalagi dengan toga hitam mereka yang kaku itu. Boro-boro mau senyum, menurut saya, majelis hakim di pengadilan pajak cenderung galak dan ketus pada DJP, entah  kenapa. Jadi kesimpulannya, siapa yang paling belum reformis? Kalau sedari awal WP merasa benar, maka sampai ke pengadilan pajak pun, WP berani mengajukan banding. Tapi tentu saja minus Gayus. Tak kan mungkin WP jujur seperti ini melirik-lirik Gayus. Kalau sedari awal WP tahu bahwa SPTnya tidak dilaporkan dengan sebenarnya dan enggan membayar kekurangan bayar pajaknya, maka mungkin WP kasak-kusuk mencari celah untuk mengurangi pembayaran pajaknya sekecil mungkin, meskipun itu artinya harus menyetorkan uang yang seharusnya ke kas negara ke kantong oknum macam Gayus dan hakim pengadilan pajak. DJP sudah berbenah dengan reformasi perpajakan. Terbutkti dari pengakuan Gayus sendiri yang bilang bahwa sekarang ini sudah susah main di DJP, maka lapangan permainan pun pindah ke Pengadilan Pajak. Bagaimana dengan para WP? Bagaimana dengan konsultan pajak yang membantu merencanakan pajak sekecil-kecilnya? bagaimana dengan pengadilan pajak yang mementahkan hasil koreksi pemeriksa pajak? Hanya satu jawaban. Mari kita sama-sama membenahi reformasi kita, mulai dari diri sendiri, mulai dari telunjuk yang mengarah ke diri kita sendiri. Salam Reformasi!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun