Tergelincir dari pijakan kebajikan karena kepentingan-kepentingan sesaat yang berangkat dari hawa nafsu, bukan dari hati nurani. Hikmah kebijaksanaan dibunuh dengan menihilkan segala macam bisikan kebenaran.Â
Caci maki dilahirkan karena kedangkalan data dengan menyingkirkan fakta-fakta. Dalil-dalil kebenaran disimpan dalam laci kejumudan.Â
Begitulah, akhir-akhir ini pijakan kebenaran berangkat dari kepentingan kekuasaan dalam bentuk kelompok, mazhab, keluarga, Bani/klan, pertemanan, politik, budaya, ekonomi, bahkan atas nama agama.Â
Yang kian lama dapat mengerahkan kehidupan kita, kebenaran bisa jadi akan berada dalam kekeruhan hingga sulit untuk dilacak, diambil atau digunakan, butuh kerja keras dan perjuangan.
Begitu banyak yang menyalahkan begitu banyak yang membangun prasangka agar semuanya kembali menjadi kabur, prasangka yang mengaburkan kebenaran dan terus mencoba menyalahkan yang benar, karena begitulah watak dari prasangka.Â
Menegakkan kebenaran agama bisa menjadi keliru jika berhadapan dengan kebenaran yang banyak. Bisa dianggap memalukan karena mengungkapkan kebatilan.
Dianggap tidak solider dengan kekuasaan yang korup dan tidak memenuhi hajat kepentingan publik. Maka benar, kebenaran itu milik orang-orang yang sedikit. Milik orang yang tak ingin terbawa arus.Â
Orang-orang yang sadar, kebenaran akan selalu setuju dengan akal sehat (common sense), nurani, jiwa, spiritualitas. Jika bertolak, tak mudah tertelan. Semakin dipaksa, semakin dilawan. Semakin dihidangkan, semakin berbau busuk.
Karena sejatinya kebenaran itu ia selalu hadir dimanapun dan kapan pun, selalu menampakkan wujudnya, sedalam apapun engkau menyembunyikannya, karena sewaktu-waktu ia akan hadir dan menampakkan wajahnya.Â
Sekarang, mungkin ia masih tersembunyi karena memang ia sedang dalam sebuah bungkus, boleh jadi kekuasaan, regulasi, atau pun kebohongan itu sendiri.Â
Semua orang bisa saja mengaku berada di jalan yang benar, tetapi kebenaran sejatinya tidak mungkin bisa dibuat-buat dan direkayasa dengan mencampurkannya dengan kebatilan.