Hati Nurani Yang Membungkam Kebenaran
Mungkin setiap orang pernah mengalami semacam perasaan yang saling tarik menarik antara hati dan logika, saat kita sedang dihadapkan dengan sebuah fenomena.
Dimana kita merasa dilema dengan sebuah keputusan ketika kita harus mengatakan inilah kebenarannya atau sebaliknya, tapi sebenarnya hati nurani kita tak pernah salah dalam memilih, ketika kita memutuskan sesuatu tentang penilaian kita terhadap suatu fenomena atau peristiwa.
Kata kebenaran itu sendiri secara umum dapat di artikan penyesuaian antara pengetahuan dan objek atau diartikan sebagai sesuatu pendapat atau pun perbuatan seorang individu yang sesuai dengan (atau tidak ditolak oleh) orang lain dan bermanfaat bagi orang lain dan tidak merugikan individu atau pun kelompok tertentu .Â
Sehingga dalam pandangan manusia secara sosial kebenaran itu memiliki berbagai macam keragaman sesuai dengan epistemologinya masing-masing, apa yang menjadi instrumen pengetahuannya, sumber pengetahuannya.
Sehingga seringkali kita temukan dalam berbagai dis kursus berbagai macam ideologi mempersepsikan bahwa golongannya yang paling benar, baik kelompok agamis, materialis, maupun idealis atau yang lainnya.
Mungkin kebenaran memang bisa dibungkam kekuasaan tetapi sama sekali tidak akan mungkin bisa dikalahkan.Â
Protagonis -- Antagonis boleh jadi tidak tampak tetapi kebenaran selalu tiba pada saatnya. Meski kita tutup serapat mungkin, kebenaran akan keluar melalui celah paling halus. Begitulah watak kebenaran.Â
Disaat kemampuan untuk fokus pada suatu persoalan atau masalah menjadi lemah melebar dan mengaburkan maka pada saat dititik itulah kekuasaan yang lemah dibentengi dengan topeng topeng kesalehan yang indah.Â
Didasari dengan kebencian dan kedangkalan nalar, kebenaran dikaburkan agar terlihat menjadi salah. Inilah salah satu bentuk nalar post-truth.Â