[caption id="attachment_317636" align="aligncenter" width="600" caption="Bulgogi yang menggugah selera"][/caption]
Malam terakhir di Korea Selatan.Dari balik jendela bus yang berembun, kunikmati suasana kota Seoul.Gedung-gedung modern memancarkan cahaya warna-warni, toko dan rumah makan bertuliskan aksara Korea yang bulat-kotak, mobil-mobil keren,dan anak-anak muda modis yang melangkah bergegas.Aku menoleh, memerhatikan suamiku, Sutedja Saputra, yang tengah terkantuk-kantuk . Kupandangi dia dengan sayang.Pasti dia lelah sekali sudah memanggul ransel berisi camera dan perlengkapannya seberat 11 kg ke mana-mana, demi memenuhi nafsu narsisku. Entah sudah berapa ratus fotokutercipta dari jepretan cameranya.
Tak lama kemudian, bus berhenti di parkiran sebuah gedung. Aku tepuk lembut pipi suamiku, dan dia langsung terbangun. “ Sudah sampai”. Bisikku.
Kami turun dari bus. Suhu satu derajat Celcius segera menggigit. Aku tiup napasku ke udara berkali-kali hingga terbentuk uap putih yang kemudian menghilang. Lagi dan lagi. Inilah caraku menikmati hal yang tidak aku jumpai di negeri tercinta.
“ Ssstt, Neng. Jangan ndeso ya.” Bisik suamiku sambil menjajari langkahku. Sebentuk senyuman iseng menghiasi wajahnya. Aku mendelik sebal, lalu melanjutkan meniup-niup napas.” Coba difoto dong, pasti keren hasilnya kalau ada uap putih begini.” Sergahku sambil bergaya. “ Ogah ah! Malu nanti dilihat orang, istri Akang kok ndeso banget.”
Cubitanku segera mendarat di pinggangnya. Dia tertawa-tawa lalu berlari mengejar rombongan yang sudah lebih dulu memasuki sebuah restaurant.
Aku berlari menyusulnya. Ketika melewati Mr. Danny, aku bertanya “Mr. Danny, restaurant apa ini?” Mr. Danny menunjuk ke papan bertuliskan aksara Korea di atas pintu masuk restaurant. “ Ini restaurant Geogujang. Kita akan mencicipi bulgogi, masakan daging khas Korea.”
“O, jadi tulisan itu dibaca Geogujang ya. Aduh, aku pusing melihat aksara Korea . Sulit dimengerti.” Aku menempelkan kedua telapak tangan di jidat sambil menggelengkan kepala. Mr. Danny tertawa.
Restaurant itu bergaya tradisional. Meja-meja kayu yang panjang berjejer dilengkapi bangku yang dipernis. Di setiap meja panjang terdapat 3 tungku dengan panci datar berdiameter lebar. Panci itu dipenuhi potongan daging tipis, irisan bawang bombay, jamur, dan butiran wijen. Api di tungku menyala dan kuah panas di dalam panci mendesis-desis mengepulkan asap beraroma sedap. Di sekeliling tungku terdapat mangkuk-mangkuk kecil berwarna putih yang berisi berbagai macam kimchi dari lobak,sawi putih dan ketimun, tauge segar atau kognamul, serta daun selada.
Aku duduk di dekat tungku yang berada di tengah. Aroma sedap dari masakan di tungku menggugah selera makanku. Hmmm... inilah bulgogi itu. Ingatanku kembali ke beberapa bulan lalu saat aku mencicipi masakan serupa di sebuah hotel di Jakarta. Aku penasaran, bagaimana rasa bulgogi yang lebih otentik di negeri asalnya ini.
Pelayan restaurant membagikan mangkuk stainless tertutup. Mangkuk itu berisi nasi hangat yang pulen dan butirannya agak lengket satu sama lain, sehingga mudah diambil dengan sumpit.
Kuambil sepotong daging, lalu aku kunyah perlahan. Dagingnya lembut, rasanya pas tidak terlalu menonjol asin dan manisnya, lalu ada rasa unik yang datangnya dari minyak wijen, dan nyaris tak terasa pedas ladanya. Bulgogi yang aku nikmati di Jakarta terasa lebih spicy. Mungkin karena resep bulgogi di Jakarta sudah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia yang gemar rasa lebih kuat.
Dengan ekor mata aku melirik suamiku. Wow.. dia makan dengan lahapnya. Aku pun melanjutkan makan malamku, tapi baru beberapa suap, aku merasa ingin ke toilet. Udara dingin membuat aku lebih banyak buang air kecil. “ Ke toilet dulu ya.” Bisikku. Suamiku tak menoleh, bahkan aku tak yakin dia mendengar bisikanku. Rupanya bulgogi telah membuat makannya demikian khusyuk.
Ketika kembali dari toilet, aku kaget melihat panci datar di hadapan suamiku terlihat “ sepi”. Hanya ada potongan jamur dan irisan bawang bombay dengan kuah yang masih mendesis-desis. “ Lho, bulgoginya mana? Kok lenyap?” Tanyaku.
“Ya, sudah dipindahkan ke sini.” Ujar suamiku dengan wajah tanpa dosa, sambil memegang perutnya.
“Aduh Akang, Neng kan baru makan sedikit.” Protesku kesal. Dengan muka ditekuk, aku melanjutkan makan nasi dan kimchi sambil memandang panci datar kesepian itu. Rasanya aneh, seperti menonton pertunjukan tanpa ada bintang utamanya.
“ Maaf, Akang kira Neng lagi diet. Akang kan lapar, sudah kerja keras menggendong ransel camera kemana-mana demi foto-foto Neng.” Rayunya sambil cengengesan. “ Jangan cemberut, ah. Itu masih ada.” Dia memberi isyarat dengan kepalanya ke arah tungku yang dikelilingi rombongan kecil Mbak Fahira dengan dua anaknya, Fadilla dan Sheilla yang duduk di sebelahku.
Sebenarnya aku malu, tapi potongan daging lembut beraroma sedap di tungku mereka benar-benar menggoda. Lagipula, panci datar itu masih penuh dengan bulgogi, nyaris utuh.
“ Sheilla, kenapa makannya sedikit sekali?” Tanyaku.
Sheilla mengaduk-aduk nasinya dengan sumpit. Sambil melirik Mamanya dia menjawab,” Sheilla nggak lapar, Tante. Soalnya tadi kebanyakan makan kue manis di mall. “
“ Iya, Mbak. Tadi Sheilla dan Fadilla jajan kue coklat di mall, jadi sekarang tidak nafsu makan. Ayo dong bantu kami makan bulgogi-nya. Sayang nih, masih banyak.” Sahut Mbak Fahira.
Hatiku bersorak. Pucuk dicinta ulampun tiba. Cihuy..! Akhirnya bisa makan bulgogi sampai kenyang.
Dengan tampang kekenyangan suamiku berbisik “ Neng, coba tanya Mr Danny bagaimana cara memasak bulgogi. Nanti di rumah masak yang banyak buat Akang ya.”
“Ogah ah!” Sergahku. Rasanya masih kesal dengan insiden lenyapnya bulgogi saat ditinggal beberapa menit ke toilet tadi.
“ Ya sudah, kalau tidak mau. Akang mau pensiun jadi tukang potret Neng ya. Bye..bye..” Ups! Serangan telak. Tampaknya suamiku sudah sangat faham , kalau aku yang narsis parah ini tak akan sanggup melewatkan moment jalan-jalan tanpa berfoto.
Dengan wajah serupa Jepang kalah perang aku beringsut mendekati Mr. Danny. “ Mr. Danny, saya ingin tahu lebih banyak tentang bulgogi. Bagaimana sejarahnya, dan bagaimana cara memasak bulgogi. Saya ingin memasak untuk keluarga saya.”
Mr. Danny mengangguk. Kemudian mengalirlah penjelasannya. Bulgogi berasal dari kata “bul” yang berarti api dan “gogi” yang berarti daging. Jadi bulgogi itu sebenarnya daging panggang yang dibuat dari irisan tipis daging has dalam dan dibumbui kecap asin, gula, bawang putih, bawang bombay, minyak wijen, madu, biji wijen, daun bawang, gochujang atau pasta cabai , dan lada hitam. Cara memasaknya juga mudah. Daging direndam dalam campuran bumbu selama beberapa jam, paling bagus setengah hari supaya bumbunya benar-benar meresap. Lalu daging bersama saus rendamannya dimasak di atas panci datar, ditambah irisan jamur. Untuk penyajiannya biasanya disertai daun selada sebagai pelengkap.
Zaman kerajaan Goguryo, ada masakan daging panggang yang disebut maekjeok. Bumbunya sama seperti bulgogi, hanya cara memasak maekjeok mirip dengan membuat sate yaitu dibakar di atas api. Setelah peradaban berubah dan ditemukannya alat-alat masak yang lebih modern, memasak maekjeok tidak lagi dengan dibakar di atas api tapi dimasak dengan panci datar. Pada sebuah buku masak terkenal di Joseon, disebutkan bahwa bulgogi menjadi masakan kegemaran masyarakat.
Bulgogi bukan saja digemari masyarakatKorea, tapi juga wisatawan asing. Karena rasanya yang lezat, bulgogi termasuk dalam daftar 50 makanan terlezat di dunia versi pembaca CNN di nomor urut 23.
Pengalaman malam terakhir di Seoul sangat berkesan karna bulgogi. Rencananya aku akan mencoba resep dari Mr. Danny, nanti setiba di rumah. Semoga saja hasil masakanku selezat bulgogi asli Korea, meskipun resikonya bakal tidak kebagian lagi, karena diserbu habis-habisan oleh anak-anak dan suamiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H