Adat kematian orang Jawa sebenarnya cukup menarik. Karena secara konsep, kematian hanya dianggap sebagai matinya jasad dan nafsu di dunia. Sebagai peralihan dari alam dunia menuju alam gaib.
Karena itu wajar, bila ada selamatan-selamatan yang tetap digelar sekalipun si mendiang sudah cukup lama meninggal. Orang yang meninggal dunia dianggap mengalami pembebasan, yang nanti akan membantunya menemukan hakikat kehidupan.
Istilah kematian ini disebut juga dengan kesripahan atau lelayu.
Selamatan Dalam Adat Kematian Orang Jawa
Selamatan atau slametan merupakan unsur dominan dalam upacara adat Jawa. Asal katanya adalah slamet, yang bermakna selamat, bahagia dan sentosa. Acara ini biasanya diadakan secara lesehan, dengan hidangan berupa nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauk.
Terkait dengan lelayu, selamatan yang digelar menurut adat kematian jawa antara lain:
Upacara Ngesur Tanah (Geblag)
Ngesur Tanah (atau disebut pula Surtanah) dilakukan pada hari meninggalnya si mendiang. Ngesur artinya menggeser. Upacara ini menandai bergesernya kehidupan fana ke alam baka. Bahwa semua manusia berasal dari tanah dan akan kembali pula menjadi tanah.
Sajian upacara ngesur tanah antara lain nasi gurih, ingkung, urap, cabai merah utuh, krupuk rambak, kedelai hitam, bawang merah, bunga kenanga, garam halus dan tumpeng yang dibelah.
Upacara Nelung Dina
Dilakukan tiga hari setelah hari kematian. Selamatan ini dilakukan sebagai penghormatan para ahli waris kepada roh yang meninggal. Sebab masyarakat Jawa meyakini bahwa sampai pada hari ketiga, roh si mati masih berada di rumah. Kemudian mulai mencari jalan keluar yang termudah untuk meninggalkan keluarga dan kediamannya.
Upacara Mitung Dina
Selamatan ini dilakukan tujuh hari setelah meninggalnya seseorang. Untuk memperlancar keberangkatan roh si mati, secara simbolis genteng atau jendela akan dibuka sebelum selamatan dimulai.
Termasuk dalam hidangan selamatan mitung dina adalah kue apem, nasi asahan, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang serta pindang putih.
Upacara Matang Puluh
Empat puluh hari meninggalnya seseorang diperingati dengan selamatan matang puluh. Selain untuk penghormatan, upacara ini dilakukan untuk mempermudah perjalanan roh menuju alam kubur.
Ubarampe matang puluh antara lain benang lawe, jodog, sentir, cupak, minyak klentik, botol, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, pisang raja, beras, gula kelapa, jarum dan bala pecah.
Upacara Nyatus
Upacara nyatus dilakukan untuk menandai hari keseratus meninggalnya seseorang. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan hal-hal yang bersifat badan wadhag.
Upacara Mendhak Sepisan
Mendhak sepisan dilakukan setahun setelah kematian. Istilah lainnya adalah upacara meling. Asalnya dari kata ‘eling’ yang berarti mengingat. Maksud selamatan mendhak sepisan adalah agar ahli waris mengingat kembali jasa mereka yang telah meninggal dunia. Sekaligus untuk mengingatkan, bahwa suatu saat mereka pun akan meninggal.
Upacara Mendhak Pindho
Dua tahun setelah kematian, giliran upacara mendhak pindho. Selamatan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan semua kulit dan darah. Sebab pada tahun kedua jenasah sudah hancur luluh tinggal tersisa tulang belulang saja.
Upacara Nyewu
Selamatan nyewu adalah peringatan hari keseribu meninggalnya seseorang. Menurut kepercayaan tradisional, setelah seribu hari maka roh tidak akan kembali kepada keluarganya lagi.
Upacara Kol
Kol (atau kol kolan) adalah selamatan untuk memperingati hari kematian seseorang. Dilaksanakannya pada hari dan bulan yang sama ketika si mendiang meninggal. Kol pertama dilakukan setahun setelah upacara nyewu.
Nyadran
Nyadran artinya berkunjung ke makam kerabat yang telah meninggal. Umumnya dilakukan pada bulan ruwah atau menjelang bulan ramadhan bagi mereka yang beragama Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H