Mohon tunggu...
Dewi Sinta Putri
Dewi Sinta Putri Mohon Tunggu... karyawan -

Si tukang mengkhayal yang lebih senang melukis kata daripada bicara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ami Part 2 Cinta dalam Perbedaan

23 September 2012   05:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika pemuda-pemudi seperti bunga yang mekar kala cinta datang, dan layu saat cinta itu pergi. Maka orang tua akan menjadi tanah tempat bagi bunga itu untuk menjulang tinggi dan berdiri dengan angkuhnya. Tanah yang menjadi tempat kembalinya sang bunga saat mereka berguguran. Karena sebesar, sehebat, setinggi dan setua apapun dirimu, kisah cintamu tidak akan bisa lepas dari campur tangan orang tua.

Seperti Zahra yang sudah dilarang berpacaran sejak memasuki bangku SMP, karena ternyata Dia telah dijodohkan oleh seseorang pilihan orang tuanya.

“Zaman apa ini? Ini bukan lagi masanya Siti Nurbaya? Masih saja percaya dengan perjodohan,” ledek Dita saat Zahra menjelaskan alasannya tidak pernah berpacaran.

Seperti Dita yang selalu dipojokkan oleh keluarganya untuk mengikuti ajang kencan buta karena kisah cintanya yang selalu berakhir sebelum masa musim panen padi berakhir.

“Ini memang bukan lagi zamannya Siti Nurbaya, tetapi lebih baik dijodohkan oleh orang tua daripada harus mengikuti acara kencan buta.” Balas Zahra saat Dita baru saja kembali dari acara kencan butanya yang gagal total.

“Hidupmu jauh lebih mengerikan daripada Zahra,” tambahku.

Dita menatap kami berdua dengan tatapan mengerikan. Seperti Serigala haus darah yang akan mencabik tubuh kami dengan mata sipitnya. Menurutku.

Atau mungkin seperti diriku sendiri yang selalu ditanya, disidir, dan sedikit diejek  dimana pacarnya, orang mana pacarnya, kerja apa pacarnya, kapan menikahnya, dannnn seterusnya. Sedikit menggelikan sebenarnya. Pasangan itu tempat kita berbagi susah senang hingga tua datang, tetapi sebagian orang membuat pasangannya atau pasangan anaknya seperti objek percontohan yang layak ditiru. Atau bahkan membuatnya terlihat seperti barang berharga yang layak dipamerkan dan menikmati rasa iri serta dengki yang dialami orang-orang disekitar mereka.

“Makanya pacaran jadi orang-orang ngga bertanya-tanya kamu itu normal atau ngga!” ledek Dita sambil tersenyum penuh kesenangan.

Ihh anak ini! “Ngga pacaran bukan berarti aku abnormal, Non. Santai saja lah. Aku kan ngga menggebu-gebu ingin punya pacar seperti...” aku sengaja tidak melanjutkannya karena Dita sedang menatapku dengan tatapan galak.

“Iya, akulah yang menggebu-gebu. Akulah yang bernafsu ingin punya pacar, hanya untuk menutup mulut kakak-kakakku yang bawel itu. Mereka bertiga terus saja mengejekku tidak laku,” omel Dita dalam satu tarikan nafas.

Zahra tersenyum dan menyodorkan minuman miliknya untuk Dita.

“Aku tahu!  Sudah ratusan kali kamu berbicara tentang hal itu,” jawabku.

Dita mengeluarkan sedotannya dari gelas dan menghabisi jus jeruk itu dalam satu teguk.

Menggelikan bukan? Manusia disejajarkan dengan barang dagangan. Bercanda ataupun tidak, sengaja ataupun tidak, kata-kata ‘tidak laku’ sangat tidak pantas untuk diucapkan, dan sangat menyakitkan hati untuk didengar.

Hari ini Aku dan Zahra dipinta secara paksa oleh Dita untuk menemaninya dalam acara kencan buta yang telah diatur oleh keluarga Dita dengan menyewa seorang Mak Comblang profesional. Sesuatu yang mengejutkan untukku dan Zahra, tentu saja.  Tetapi dengan santai Dita mengatakan bahwa, menyewa jasa Mak Comblang sudah hal biasa yang terjadi di dalam keluarganya. Kami ditugaskan menjadi penguntit dadakan yang bertugas mengawasi jalannya kencan buta, dan jika sesuatu tidak beres terjadi, aku dan Zahra diwajibkan untuk membawa Dita kabur dari tempat itu.

Tetapi ternyata hal itu tak perlu kami lakukan, karena belum sampai setengah jam Dita sudah meninggalkan pria itu lalu berjalan ke meja tempatku dan Zahra duduk. Ini adalah kencan buta ketiga baginya, dan tidak ada satupun pria yang berhasil menarik perhatian Dita. Apa ketiga kakakknya tidak mengetahui selera adiknya sendiri? Tidak ada satupun dari pria-pria itu yang berwajah asing.

Dengan raut wajah seperti telah mendapatkan kejutan paling buruk, Dita menarik kursi disebelah Zahra sambil menarik nafas dalam-dalam. Belum sempat kami bertanya, Dita sudah lebih dulu mengeluarkan uneg-unegnya.

"Mak Comblang gila!" umpatnya kesal. "Pria itu duda beranak tiga, ini kencan buta apa pencarian babysitter? Ya Tuhan!  Qila benar, hidup gue memang mengerikan. Kenapa juga gue harus setuju dengan kencan buta ini?!" Dita mengutuk dirinya sendiri.

Jujur saja jika aku ada diposisi Dita, aku pasti sudah melarikan diri secepat mungkin. "Untuk menyumbat mulut kakak-kakakmu yang bawel. Iya kan?" ucapku sambil meringis.

Dita tersenyum. "Seharusnya Aku lebih giat lagi mencari pacar yang super hebat hingga membuat ketiga kakakku mati karena iri," Dita memotivasi dirinya sendiri dengan cara yang aneh!

Zahra menyikut lenganku dan tersenyum melihatku yang sedang melototi Dita. Benar kan, penyakit wanita memang seperti itu. Selalu ingin lebih dari yang lain. Benci direndahkan dan dipojokkan, termaksud aku. Tetapi tanpa sadar sering kali kita juga merendahkan dan memojokkan orang lain. Ini seperti penyakit dendam turunan yang tidak ada obatnya.

"Melani!" Dita berseru dan mengangkat tangan kanannya.

Seorang gadis yang wajahnya sangat mirip dengan Dita menghampiri kami sambil tersenyum. Melani adalah sepupu Dita yang juga teman kami. Dia lebih tua setahun dari kami bertiga.

"Hai, gadis berkerudung," sapanya pada Zahra. "Hei, nona judes" tambahnya sambil meninju lenganku pelan.

"Sekumpulan keluarga yang menyebalkan," balasku sebal.

Melani tertawa sebelum pertanyaan Dita merubah raut wajahya.

"Ngapain disini? pacaran ngumpet-ngumpet ya?" selidik Dita

Mel hanya menghembuskan nafas pasrah.

“Berapa usiamu? Kita ini bukan lagi anak ABG yang harus sembunyikan status pacaran. Bukan masanya lagi  kita harus sembunyi-sembunyi saat bertemu lawan jenis,” Dita menceramahi Mel seperti seorang Ibu yang memarahi anaknya yang ketahuan pacaran.

"Kenapa harus disembunyikan?" tanya Zahra dengan lembut

“Kenapa ngga diajak ke rumah dan diperkenalkan? Kalau Dia ngga mau berarti Pria itu ngga serius,” tambahku.  Zahra mengangguk setuju, bahkan Dita yang tidak pernah bisa kumengerti jalan pikirannya juga mengangguk setuju.

“kalian kan tidak tahu, keluarganya ngga setuju dengan hubungan kami. Orang tuanya sih ngga terlalu kolot, tapi nenek dan tantenya benar-benar menyebalkan. Mereka ngga mengizinkan keluarganya memiliki hubungan dengan anak keturunan,” jelas Mel dengan nada sedih.

“alasan yang konyol! Hubungan berdasarkan ras ternyata masih berlaku di negara ini.” Manusia-manusia yang hebat. Aku kira sudah lama negeri ini merdeka, tetapi ternyata menghargai perbedaan masih barang langka.

“Karena itulah gue lebih suka dengan Pria bule, keluarga mereka ngga terlalu pusing dengan bibit, bebet, dan bobot”

Ihh anak ini, masih sempat-sempatnya untuk curhat colongan. Kita kan ngga sedang membahas masalahnya.

Zahra tersenyum melihatku melototi Dita. “Yang terpenting itu seagama, karena dari manapun kita berasal tetap kepada Tuhan kan kita akan kembali. Coba saja  terus mendekatkan diri dengan keluarga pacarmu, dan yakinkan keluarganya kalau kalian serius”

“Dan hilangkan pemikiran mereka tentang perbedaan ras,” tambahku sebal

“Gue bisa benar-benar jadi anak baik kalau terus dekat dengan Zahra,” ucap Dita sambil tersenyum kuda.

“Zahra dan aku yang justru tertular menjadi anak badung setelah berteman denganmu”

"Ighh, menyebalkan!" umpatnya.

“Tapi kalau kamu punya pasangan pria asing memangnya sudah pasti keluargamu akan setuju? Semua orang tua di muka bumi ini sama, hal pertama yang mereka tanyakan saat melihat pasanganmu adalah, apa tidak ada yang lain?, apa pria atau wanita ini yang benar-benar kamu inginkan?”

“Apa merusak mood-ku adalah hal yang sangat menyenangkan untukmu?” tanya Dita dengan wajah kesal.

“tentu saja,” jawabku sambil tersenyum manis.

“Aku tidak terlalu peduli tentang perbedaan, aku mempunyai kalian teman-teman yang berbeda denganku, tetapi sangat mengerti aku," ucap Dita dengan tersenyum.

Mau tidak mau aku juga tersenyum. Terkadang gadis jelek ini bisa juga mengucapkan hal-hal manis yang menyenangkan untuk didengar. Walaupun sangat jarang.

"Yang terpenting bagi keluargaku adalah agama. Namaku pasti akan dicoret dari daftar penerima  warisan jika aku menikah dengan pria yang berbeda agama,” tambah Dita.

Agama memang urusan pribadi seseorang. Tidak ada yang berhak mengusik agama orang lain, atau bahkan menyakiti Agama lain.  Tetapi perbedaan ras bukanlah hal yang patut dipermasalahkan. Tidak bisa kah kita hidup bersama di bumi ini dengan damai dalam perbedaan-perbedaan itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun