Mohon tunggu...
Dewi Sinta
Dewi Sinta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya membaca dan mendengarkan musik....

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembangunan Berkelanjutan: Era Otonomi Daerah

7 Oktober 2024   13:10 Diperbarui: 7 Oktober 2024   13:21 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah pembangunan menarik perhatian secara teroris dan praktis, terutama terkait isu global contohnya seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan pencemaran lingkungan. Kemudian pembangunan berkelanjutan muncul sebagai solusi untuk menangani masalah tersebut, dengan menekankan keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hal ini diwujudkan melalui Peraturan Presiden di Indonesia No. 59 Tahun 2017, yang di mana menyelaraskan pembangunan berkelanjutan dengan rencana pembangunan nasional.

  • Globalisasi Neoliberal

Globalisasi memiliki berbagai aspek, salah satunya adalah globalisasi neoliberal yang menekankan dominasi pasar dalam ekonomi dan politik. Visi ini mengarahkan kebijakan publik di banyak negara, termasuk Indonesia, dengan menjadikan pasar sebagai elemen utama dalam perekonomian global, hal ini dikemukakan oleh Brink Lindsey dari Cato Institut di Washington (Wolf, 2007: 17). Menurutnya, globalisasi merujuk pada tiga makna yang berbeda , tapi saling berkaitan yaitu:

1. Globalisasi digunakan untuk menggambarkan fenomena politik (entah disebabkan oleh alasan politik atau teknologi).

2. Untuk menggambarkan fenomena politik yang terbatas mengenai runtuhnya rintangan-rintangan yang dipasang oleh pemerintah atas arus internasional barang, jasa, dan modal.

3. Untuk menggambarkan fenomena politik yang jauh lebih luas mengenai persebaran global kebijakan-kebijakan berorientasi pasar, dalam lingkungan domestik ataupun internasional.

Upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh motivasi untuk investasi, produksi, dan konsumsi berdampak besar pada lingkungan. Hal ini menyebabkan masalah utama, yaitu menipisnya sumber daya alam dan meningkatnya pencemaran. Penurunan sumber daya alam terjadi akibat penggunaan bahan mentah sebagai dasar industri dan energi seperti minyak bumi dan batu bara. Semakin tinggi kebutuhan industri, semakin banyak sumber daya yang dieksploitasi. Dengan meningkatnya pemerintah produksi, semakin besar pula jumlah energi yang dibutuhkan untuk pengolahannya, sehingga mempercepat penipisan sumber daya alam dan pemburukan kondisi lingkungan.

Otonomi Daerah: Bagaimana Pembangunan Berkelanjutan ?

            Desentralisasi yang dimulai pada tahun 2000 memberikan potensi positif bagi pemerataan pembangunan dengan memanfaatkan potensi lokal dan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Pembagian hasil eksploitasi sumber daya yang lebih adil antara pusat dan daerah meningkatkan kapasitas daerah untuk kesejahteraan rakyat, berbeda dengan Orde Baru yang terpusat.

            Undang - Undang Nomor 32/2004 tentang otonomi daerah mengadopsi prinsip dari Undang -- Undang Nomor 22/1999, namun lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan, pemberdayaan, partisipasi masyarakat, dan daya saing daerah. Otonomi daerah bertujuan untuk menyelenggarakan pemerintah sesuai kebutuhan dan potensi lokal, sehingga meningkatkan efektivitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga Otonomi daerah pada hakikatnya adalah mempercepat pembangunan daerah, baik dalam bidang kesejahteraan maupun ekonomi, dan juga untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah yang ada, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan efisiensi serta respon pelayanan, potensi kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah.

            Di luar kendala-kendala implementasi otonomi daerah, otonomi daerah akan menghadapi tantangan dari globalisasi. Bagaimanapun globalisasi akan menciptakan batasan-batasan di luar yang diciptakan bagi usaha pemerintah lokal dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Implikasi dalam hal ini haruslah dilihat dalam dua hal yang saling berkaitan yaitu:

  • Globalisasi neoliberal haruslah dilihat sebagai diskursus dominan yang memengaruhi praktik-praktik kebijakan publik. Dalam konteks ini ukuran-ukuran dan keseluruhan diskursus yang menyertainya akan di proses oleh pemerintah lokal dalam rangka otonomi daerah.
  • Imbas langsung dari globalisasi neoliberal adalah penetrasi perusahaan-perusahaan multinasional langsung ke daerah. Berbagai kebijakan regulasi dan privatisasi di tingkat nasional telah membuka peluang bagi menguatnya peran perusahaan multinasional. Indonesia telah mengalami hal ini  jauh pada masa awal kemerdekaan dan terus semakin semakin kuat di masa Orde Baru dan Era Reformasi.

Uraian berikut akan memaparkan bagaimana globalisasi dan otonomi daerah memberikan dampak-dampak buruk bagi pembangunan berkelanjutan  dengan melihat kiprah perusahaan-perusahaan multinasional. Kemudian, akan dilihat pula kerusakan-kerusakan lingkungan(akibat diforestasi dan pembukaan tambang) selama implementasi otonomi daerah.

  • Dampak-dampak MNCs ditingkat lokal 

Sejak era Presiden Soekarno, perusahaan multinasional (MNC) Telah menaikkan peran penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya disektor minyak, gas, dan emas. Terdapat perbedaan pandangan mengenai kontribusi MNC terhadap pemerintahan nasional dan lokal, tetapi kritik terhadap mereka menjadi lebih relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Studi oleh Malanesian Environment Foundation menunjukkan bahwa pembangunan tambang dan emas di Pasifik membawa dampak negatif, seperti merusak komunitas lokal dan menghancurkan sistem sosial tradisional melalui pengenalan uang, barang impor, dan alkohol. Selain itu, konflik antara pemerintah pusat dan daerah serta antara masyarakat setempat dan perusahaan tambang sering terjadi, sehingga menimbulkan ketegangan dan korban. Sejak otonomi daerah digulirkan, perusahaan-perusahaan multinasioal telah beroperasi di banyak tambang batu bara dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Beberapa perusahaan-perusahaan menjadi pengelola perkebunan kelapa sawit yang luas, sementara beberapa perusahaan lain dari kawasan Asia lainnya telah mendirikan pabrik-pabrik kertas dan jenis-jenis pabrik lainnya.

 

  • Eksploitas Terus Berlanjut

Pada masa Orde Baru, kontrak tambang dilakukan secara terpusat tanpa sistem bagi hasil. Namun, di era otonomi daerah, sistem bagi hasil di perkenalkan antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan insentif untuk pembangunan ekonomi. Sayangnya, tidak ada korelasi positif antara kekayaan sumber daya alam dan keberhasilan pembangunan. Desentralisasi menciptakan masalah dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana birokrasi lokal lebih fokus pada peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja daripada perlindungan lingkungan. Usaha untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi sumber daya lokal, termasuk pemanfaatan hutan untuk perkebunan dan pembukaan tambang batu bara. Di Sintang Kalimantan Barat, bupati menerbitkan 602 surat izin meskipun hanya separuhnya yang aktif, sementara di bulungan, Kalimantan Timur, 618 surat izin telah di keluarkan, menunjukkan perhatian yang lebih besar terhadap eksploitasi dibandingkan keberlanjutan lingkungan.

           Dalam beberapa hal, Pusat tidak lagi mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengerem laju deforestasi itu.

  • Deforensi Hutan

 Diforensi hutan di Indonesiam yang membuat pencapaian pembangunan berkelanjutan semakin sulit, disebabkan oleh tiga faktor utama.

1. Pengaruh globalisasi pasar neoliberal telah memengaruhi sedemikian rupa para pengambil kebijakan sehingga menjadikan hutan hanya sebagai sumber daya ekonomi.

2. Oleh karena hujan dijadikan sebagai semata sumber ekonomi, berbagai izin pengelolaan hutan diberikan pada swasta. Maka kerusakan hutan Indonesia berlangsung sangat cepat. Selama tahun 2012 saja, lebih dari 1000 izin pengelolaan hutan diberikan kepada swasta

  • Masalah besar pertambangan

Beroperasinya tambang-tambang di Indonesia menyebabkan kerusakan lokal, mengancam pembangunan berkelanjutan. Di era otonomi daerah, dampak negatif negatif perusahaan tambang mirip dengan sektor kehutanan. Penelitian Kutai Kertanegara menunjukkan bahwa dampak positif ekonomi bertolak belakang dengan dampak sosial dilingkungan. Konflik sosial meningkat, terjadi 2-5 kali dalam setahun, akibat limbah tambang, minimnya penyerapan ganti rugi kerja lokal, dan rendahnya ganti rugi untuk tanah dan tanaman kepada masyarakat setempat.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun