Sejak era Presiden Soekarno, perusahaan multinasional (MNC) Telah menaikkan peran penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya disektor minyak, gas, dan emas. Terdapat perbedaan pandangan mengenai kontribusi MNC terhadap pemerintahan nasional dan lokal, tetapi kritik terhadap mereka menjadi lebih relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Studi oleh Malanesian Environment Foundation menunjukkan bahwa pembangunan tambang dan emas di Pasifik membawa dampak negatif, seperti merusak komunitas lokal dan menghancurkan sistem sosial tradisional melalui pengenalan uang, barang impor, dan alkohol. Selain itu, konflik antara pemerintah pusat dan daerah serta antara masyarakat setempat dan perusahaan tambang sering terjadi, sehingga menimbulkan ketegangan dan korban. Sejak otonomi daerah digulirkan, perusahaan-perusahaan multinasioal telah beroperasi di banyak tambang batu bara dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Beberapa perusahaan-perusahaan menjadi pengelola perkebunan kelapa sawit yang luas, sementara beberapa perusahaan lain dari kawasan Asia lainnya telah mendirikan pabrik-pabrik kertas dan jenis-jenis pabrik lainnya.
Â
- Eksploitas Terus Berlanjut
Pada masa Orde Baru, kontrak tambang dilakukan secara terpusat tanpa sistem bagi hasil. Namun, di era otonomi daerah, sistem bagi hasil di perkenalkan antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan insentif untuk pembangunan ekonomi. Sayangnya, tidak ada korelasi positif antara kekayaan sumber daya alam dan keberhasilan pembangunan. Desentralisasi menciptakan masalah dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana birokrasi lokal lebih fokus pada peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja daripada perlindungan lingkungan. Usaha untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi sumber daya lokal, termasuk pemanfaatan hutan untuk perkebunan dan pembukaan tambang batu bara. Di Sintang Kalimantan Barat, bupati menerbitkan 602 surat izin meskipun hanya separuhnya yang aktif, sementara di bulungan, Kalimantan Timur, 618 surat izin telah di keluarkan, menunjukkan perhatian yang lebih besar terhadap eksploitasi dibandingkan keberlanjutan lingkungan.
      Dalam beberapa hal, Pusat tidak lagi mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengerem laju deforestasi itu.
- Deforensi Hutan
 Diforensi hutan di Indonesiam yang membuat pencapaian pembangunan berkelanjutan semakin sulit, disebabkan oleh tiga faktor utama.
1. Pengaruh globalisasi pasar neoliberal telah memengaruhi sedemikian rupa para pengambil kebijakan sehingga menjadikan hutan hanya sebagai sumber daya ekonomi.
2. Oleh karena hujan dijadikan sebagai semata sumber ekonomi, berbagai izin pengelolaan hutan diberikan pada swasta. Maka kerusakan hutan Indonesia berlangsung sangat cepat. Selama tahun 2012 saja, lebih dari 1000 izin pengelolaan hutan diberikan kepada swasta
- Masalah besar pertambangan
Beroperasinya tambang-tambang di Indonesia menyebabkan kerusakan lokal, mengancam pembangunan berkelanjutan. Di era otonomi daerah, dampak negatif negatif perusahaan tambang mirip dengan sektor kehutanan. Penelitian Kutai Kertanegara menunjukkan bahwa dampak positif ekonomi bertolak belakang dengan dampak sosial dilingkungan. Konflik sosial meningkat, terjadi 2-5 kali dalam setahun, akibat limbah tambang, minimnya penyerapan ganti rugi kerja lokal, dan rendahnya ganti rugi untuk tanah dan tanaman kepada masyarakat setempat. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H