Mohon tunggu...
Dewi Sekarsari
Dewi Sekarsari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Singaperbangsa Karawang

I'm writing for my portfolio & my voice. I hope you enjoy! :)

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

SDGs dan Ekonomi Hijau: Mengapa Perusahaan Harus Beradaptasi dengan Model Bisnis yang Ramah Lingkungan untuk Bertahan di Masa Depan?

28 Januari 2025   22:20 Diperbarui: 28 Januari 2025   22:20 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan ekonomi hijau telah mendapat perhatian besar di seluruh dunia, terutama sebagai respons terhadap krisis iklim yang semakin mendalam. Penerapan ekonomi hijau bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan mempertimbangkan SDGs, ekonomi hijau diharapkan dapat mengurangi jejak karbon global, meningkatkan efisiensi sumber daya alam, dan mempromosikan penggunaan energi terbarukan. Namun, transformasi menuju ekonomi hijau tidaklah mudah. 

Banyak negara menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam kebijakan ekonomi mereka, terutama negara berkembang yang sering kali terhambat oleh keterbatasan teknologi dan investasi. Denmark telah menjadi pionir dalam penerapan ekonomi hijau, terutama dalam transisi energi dari bahan bakar fosil menuju sumber energi terbarukan. Negara ini memiliki komitmen kuat untuk mencapai net-zero emissions pada tahun 2050, dan saat ini hampir 50% dari kebutuhan listrik negara tersebut dipasok oleh tenaga angin. 

Studi yang dilakukan oleh International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa Denmark berhasil menciptakan lebih dari 40.000 pekerjaan di sektor energi terbarukan dalam dua dekade terakhir, serta mengurangi emisi karbon secara signifikan. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa investasi besar dalam teknologi hijau dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, meskipun tantangan awal berupa biaya tinggi dan infrastruktur yang terbatas tetap ada. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi terbesar di Asia Tenggara, menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan ekonomi hijau. 

Namun, ada langkah positif yang diambil, terutama dalam sektor energi terbarukan. Sebagai contoh, Indonesia berkomitmen untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya dengan kapasitas 3,6 GW pada tahun 2025. Proyek-proyek ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, serta menciptakan lapangan pekerjaan baru. Meski demikian, implementasi ekonomi hijau di Indonesia terhambat oleh hambatan struktural seperti infrastruktur yang belum memadai, ketergantungan pada batu bara, serta kebutuhan akan kebijakan yang lebih mendalam untuk mendukung sektor hijau ini secara berkelanjutan. 

Norwegia telah berhasil mengimplementasikan kebijakan transportasi yang berorientasi pada pengurangan emisi karbon dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik. Menurut laporan dari Norsk Elbilforening (2021), lebih dari 50% dari kendaraan baru yang terjual di Norwegia adalah kendaraan listrik. Pemerintah memberikan berbagai insentif, seperti pengurangan pajak dan bebas biaya tol, untuk mendukung transisi ini. Penerapan sistem transportasi hijau di Norwegia telah mengurangi emisi karbon sektor transportasi secara signifikan, dengan estimasi pengurangan 1,8 juta ton CO2 per tahun. Namun, tantangan utama yang masih dihadapi adalah infrastruktur pengisian daya yang masih terbatas, terutama di daerah terpencil. 

Di Brasil, sektor pertanian berkelanjutan menjadi bagian penting dalam upaya negara tersebut untuk menciptakan ekonomi hijau. Program "Agroforestry" yang mengintegrasikan pertanian dengan penanaman pohon di lahan yang sama telah meningkatkan hasil pertanian sambil menjaga keberagaman hayati. Salah satu studi kasus yang menonjol adalah sistem pertanian di Amazon yang menggabungkan tanaman perkebunan dengan pohon-pohon hutan, yang terbukti meningkatkan ketahanan tanah terhadap erosi dan memperbaiki kualitas air. Meski demikian, tantangan terbesar bagi Brasil adalah deforestasi ilegal yang masih terjadi di sebagian besar wilayah Amazon, yang mengancam keberlanjutan upaya ekonomi hijau tersebut. 

Sebagai salah satu perusahaan multinasional terbesar, Unilever telah menjadi contoh perusahaan yang memimpin dalam penerapan prinsip ekonomi hijau. Dengan komitmen untuk mencapai net-zero emissions pada 2039, Unilever menginvestasikan lebih dari $1 miliar dalam proyek-proyek keberlanjutan, termasuk pengurangan emisi karbon dan penggunaan bahan baku ramah lingkungan. 

Studi oleh Business for Social Responsibility (2020) menunjukkan bahwa Unilever berhasil mengurangi jejak karbonnya sebesar 52% sejak 2010. Keberhasilan perusahaan ini menunjukkan bahwa sektor swasta dapat memainkan peran kunci dalam mempercepat transisi menuju ekonomi hijau, meskipun tetap membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang. 

Bhutan, yang dikenal dengan kebijakan kebahagiaan nasional bruto, telah mengimplementasikan ekonomi hijau dengan sangat berhasil melalui sektor pariwisata berkelanjutan. Negara ini membatasi jumlah wisatawan dengan mengenakan pajak tinggi kepada pengunjung asing untuk memastikan pariwisata tidak merusak lingkungan alam. Bhutan fokus pada penggunaan energi terbarukan, dengan hampir 100% kebutuhan listrik negara tersebut dipenuhi oleh energi hidroelektrik. Meskipun pariwisata hijau memberikan pendapatan signifikan, tantangan yang masih dihadapi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian alam dalam skala yang lebih besar. 

Di banyak negara Afrika, meskipun potensi ekonomi hijau sangat besar, penerapan kebijakan hijau sering terkendala oleh masalah sosial dan ekonomi yang lebih mendalam. Sebagai contoh, di Nigeria, yang memiliki salah satu cadangan minyak terbesar di dunia, transisi ke energi terbarukan dan ekonomi hijau masih sangat terbatas. 

Menurut laporan dari African Development Bank (2021), meskipun terdapat potensi besar dalam sektor energi terbarukan seperti tenaga surya, ketergantungan pada industri minyak dan gas serta hambatan politik membuat transisi ini berjalan lambat. Namun, beberapa inisiatif lokal di Kenya dan Tanzania yang mengembangkan proyek energi terbarukan dan pertanian berkelanjutan menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang tepat, ekonomi hijau dapat dijadikan solusi untuk mengurangi ketimpangan sosial di Afrika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun