Mohon tunggu...
Dew
Dew Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa.

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Karyawan Betah, Usaha Lancar

18 November 2024   15:55 Diperbarui: 26 November 2024   08:47 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modal mumpuni, koneksi di sana-sini, kualitas produk bersaing, kok bisa terpuruk juga, ya?

Jangan-jangan, bukan sistemnya yang salah, bukan modalnya yang kurang, serta bukan kualitasnya yang buruk.

Kita mungkin sering mendengar orang berkata, “Kalau punya modal sekian, pasti bisa jalan.” Tapi tunggu dulu. Jangan lupa dengan pelaku usahanya.

Hal yang paling fundamental dalam usaha, justru adalah pelaku usaha itu sendiri. Kalau tidak, siapa yang mau mengawal keberhasilan usaha dan memastikan setiap keputusan berjalan sesuai arah yang telah ditentukan?

***

Dalam beberapa tahun terakhir, cukup sering bertemu dengan pengusaha-pengusaha yang penuh semangat dari berbagai range usia dengan berbagai produk barang dan jasa yang ditawarkan.

Di antaranya ada usaha dengan skala kecil yang berjalan lancar walaupun perlahan, ada pula usaha menengah yang sudah dimodali besar-besaran, namun masih jalan di tempat.

Kendala yang tampak bermacam-macam.

Ada yang terkendala dengan modal, lalu berhutang, namun pada akhirnya bisa melewati krisisnya. Ada yang terkendala karena kesulitan mencari barang. Begitu dapat, masih harus negosiasi harga yang win-win dengan supplier.

Ada pula yang kesulitan mengelola usaha karena masih dikerjakan sendiri. Ingin memiliki karyawan, namun penghasilan masih belum stabil.

Ada juga yang kendalanya terletak pada pelaku usaha itu sendiri, sembrono mengambil keputusan, emosional, hingga mencampur-adukkan urusan usaha dengan rumah tangga.

***

Dalam usaha, kata cuan sudah pasti menjadi tujuan setiap pelaku usaha, baik sebagai pemilik maupun sebagai karyawan. Hal tersebut seringkali melatarbelakangi adanya pengusaha yang semena-mena terhadap karyawan, dalihnya “kamu kan dibayar.

Sementara dari sisi karyawan, biasanya pasrah-pasrah saja, “yang penting dibayar.” Padahal semestinya hubungan pengusaha dan karyawan tidak sebatas itu.

Berkenaan dengan itu, tak jarang kita menemui pengusaha yang sering mengganti-ganti karyawan. Begitu merasa tidak cocok, ia tak segan segera mengganti dengan karyawan baru. Ada yang memecat dengan tiba-tiba, ada pula yang menggunakan trik.

Semisal, dengan meliburkan karyawannya beberapa hari, namun tak diberi kabar lanjutan. Hal ini dilakukan karena merasa tidak cocok, atau bahkan untuk menghindari kewajiban menggaji karyawan.

Ilustrasi: Freepik 
Ilustrasi: Freepik 

Dengan gaji yang tak sampai UMR, jam kerja berlebihan, beban kerja berlapis, serta harus mampu menyenangkan hati pemilik usaha, karyawan masih harus menerima makian dan ancaman dari yang bersangkutan apabila suasana hatinya sedang buruk.

Alhasil, karyawan silih berganti tak bertahan lama.

Padahal, jika kembali pada kata cuan, merekrut karyawan berulang-ulang justru mengurangi efisiensi. Jika dalam beberapa minggu atau bulan harus mengarahkan karyawan lagi dan lagi, hal tersebut akan memakan banyak waktu untuk penyesuaian karyawan baru. Bayangkan jika dalam 3 bulan karyawan harus berganti sebanyak 3 kali, maka selama 3 bulan itu akan terus menjadi masa penyesuaian, akibatnya proses usaha berjalan lambat.

Hal ini akan berdampak signifikan terutama pada usaha yang baru berada di awal tahap berkembang.

Di lain kasus, ada pula pengusaha yang kurang mendengarkan karyawan. Ia mengambil keputusan berdasarkan suasana hati. Namun ketika keputusannya berdampak buruk, barulah ia bertanya-tanya mengapa karyawannya tak mengingatkan.

Lain pula dengan pengusaha yang oportunis, namun terlampau positif melihat peluang di depan mata. Setiap peluang ia ambil, padahal belum memiliki gambaran akan dibawa kemana, serta tak mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

Contoh-contoh di atas menyadarkan bahwa dalam mengelola usaha, tak hanya aspek-aspek materi yang perlu dikembangkan, melainkan juga aspek personal.

Serta perlu disadari, ketika memutuskan merekrut karyawan sebagai tenaga pembantu, secara otomatis hal tersebut menambah peran yang diemban selain pengusaha, yaitu peran sebagai leader.

Pada usaha yang baru berkembang, barangkali akan lebih sulit menjelaskan visi usaha kepada karyawan, terlebih di saat yang sama pengusaha juga masih terus mencari apa tepat dan tidak bagi usahanya. Namun minimalnya, kita tidak lupa apa alasan kita merekrut karyawan.

Dengan segala proses perekrutan yang dilalui, barangkali niatnya begini, satu atau dua orang yang memiliki kemampuan tertentu dapat membantu mengembangkan usaha.

Ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan sendiri, dan satu atau dua orang ini lebih baik dari kita dalam hal tersebut. Sehingga, akan baik bagi kita untuk bertanya pendapatnya, melibatkan dalam diskusi, serta memberikan upah yang layak sesuai perjanjian.

Toh, apabila hak karyawan terpenuhi, hasilnya akan baik bagi pengusaha. Kinerja maksimal karena tak perlu memikirkan kebutuhan di luar pekerjaan, usaha menjadi lancar.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun