Kalau dipikir-pikir, pernikahan itu mirip dengan investasi di pasar modal. Pernah berpikir begitu juga gak?
Pasang surut dalam rumah tangga sepertinya juga bisa digambarkan dengan candlestick. Kalau naik turunnya grafik investasi mencerminkan penawaran dan permintaan harga, grafik pernikahan menggambarkan permintaan dan penawaran dalam pengambilan keputusan rumah tangga.
Ditambah lagi kalau dilihat dari sisi tujuan, tampaknya tujuan keduanya tak jauh berbeda.
Umumnya tujuan yang ingin dicapai dari investasi adalah profit. Bentuknya bisa berupa selisih harga jual dan harga beli atau bisa juga dividen. Untuk itu, pertumbuhan dalam jangka panjang adalah hal yang tak bisa dikesampingkan.
Harga hari ini boleh saja rendah dihajar permintaan komoditas yang menurun, tapi yang paling utama adalah bagaimana nilai investasi yang kita pilih dapat terus tumbuh seiring waktu.
Bukankah pernikahan juga begitu?
Kalau profit dalam pernikahan adalah bahagia, maka pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana cara mempertahankan kebahagiaan tersebut dalam jangka panjang? Selanjutnya adalah bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan sampai tutup usia, tumbuh bersama, serta tidak mudah goyah oleh "isu global" maupun "sentimen pasar".
Tentu saja pernikahan bukan tentang angka, perjalanan berumah tangga tak perlu diukur dengan grafik, tapi kalau boleh mengibaratkan pernikahan sebagai investasi, maka ada beberapa hal yang rasanya layak diperhatikan sebelum memutuskan untuk melangkah ke gerbang baru kehidupan tersebut.
Misalnya, mengukur diri.
Karena subjek utama dalam setiap keputusan yang kita ambil adalah diri kita sendiri, maka mengukur diri bisa jadi salah satu poin penting untuk diperhatikan sebelum mulai melangkah. Diawali dari modal awal dan kesiapan mental, pengetahuan dasar, serta pengendalian diri.
Modal Awal
Investasi itu lekat dengan makna "keuntungan di masa depan", namun investasi juga bermakna "mempercepat proses produksi dan pengembangan usaha". Dengan demikian, modal yang kita investasikan juga memberikan nilai guna.
Modal awal dalam berinvestasi bisa beragam, tergantung jenis investasinya. Sementara itu, modal awal dalam pernikahan adalah individu dan keyakinannya, disertai kesiapan mental untuk menjadi pasangan seumur hidup bagi individu lain dengan segala konsekuensinya.
Menyadari bahwa pernikahan bukan hanya untuk memperoleh kebaikan yang diharapkan, serta memahami ada peran yang harus dilakukan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan tersebut adalah modal awal yang nantinya menjadi fondasi dari ikatan.
Kalau sewaktu-waktu di tengah perjalanan modalnya mau ditambah, tentu sangat boleh, dengan begitu fondasi bisa semakin kokoh.
Pengetahuan Dasar
Sebagaimana kita mencari tahu kiat-kiat investasi, kiat-kiat pernikahan juga perlu digali. Bisa dari orang terdekat, internet, buku, dan sebagainya.
Sehari-hari kita bersinggungan dengan bermacam pernikahan dan rumah tangga, cerita tentang pernikahan juga sering kita dengar dari orang terdekat. Kalau ada satu ilmu yang teramat penting dalam kacamata pribadi, ilmu tersebut adalah komunikasi.
Pengendalian Diri
Berinvestasi berarti mempercayakan dana yang kita miliki untuk dikelola entitas bisnis dengan proyeksi positif di masa depan serta perkiraan risiko yang mungkin terjadi.
Karena proyeksinya untuk masa mendatang, tiga, empat, lima, atau bahkan sepuluh tahun lagi, maka angka positifnya belum siap di tangan, masih ada kemungkinan merugi. Oleh karenanya, rasa khawatir bertemu angka negatif di kemudian hari bisa terjadi. Rasanya siapapun orangnya, berapapun nominalnya, kalau rugi tetap saja bisa kecewa.
Belum lagi kalau ikut mengamati berbagai ketidak pastian yang lain, semisal regulasi yang bisa berubah sewaktu-waktu, kondisi sektor industri, kondisi sosial ekonomi secara global, dan sebagainya. Dengan berbagai ketidak pastian tersebut, pasar kadang riuh dan muncul isu-isu lain yang menyertai, meskipun kadang belum tentu benar.
Faktor-faktor tersebut, baik negatif maupun positif keduanya bisa memicu untuk segera ambil tindakan, entah itu menambah investasi atau menjual.
Kalau isunya baik, mungkin tindakannya adalah menambah investasi, sebaliknya kalau isunya negatif, tanpa pikir panjang menjual kepemilikan, meski kerugiannya cukup dalam. Padahal belum memastikan isunya benar ataukah salah. Lalu sebulan kemudian menyesal karena harga melambung kembali.
Situasi yang tidak biasa dengan emosi yang terpengaruh, terkadang bisa menuntun untuk mengambil keputusan yang tidak tepat.
Bukan berarti emosional itu salah, tapi ketika sedang emosional, minimal kita menyadari kalau kita sedang emosional karena terpengaruh dengan berbagai berita yang ada, berhenti sejenak, lalu kembali memikirkan tindakan yang tepat.
Warna-warni investasi.
Warna-warni semacam ini juga bisa terjadi dalam pernikahan. Dalam berbagai situasi yang mungkin terjadi, yang terpenting adalah bagaimana kita mengatasinya.
Ketika kecewa, ada tindakan yang tak boleh dilakukan. Ketika marah, ada kata yang pantang diucapkan, dan seterusnya. Emosional itu sama sekali bukan masalah, rasa perlu diekspresikan supaya saling mengerti, selama tidak impulsif dan tahu tindak lanjutnya bagaimana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H