Mohon tunggu...
Dewi Rima
Dewi Rima Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas dari Buku Ajarkan Aku untuk Melupakan

Sedang belajar di Pendidikan Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Sastra Banding antara Novel "Cinta dalam Ikhlas" karya Kang Abay dengan "Selamat Tinggal" Karya Tere Liye

13 Februari 2021   17:59 Diperbarui: 13 Februari 2021   18:03 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian Sastra Bandingan

Pengkajian sastra bandingan adalah studi karya sastra lanjut. Setiap pemerhati sastra, termasuk kritikus, pada saatnya akan berkecimpung dengan pengkajian sastra bandingan. Bagi pemerhati sastra yang telah belajar karya sastra lebih memadai, kiranya pengkajian sastra bandingan memang sebuah keharusan. Rasa ingin tahun dan ingin segera mengupas tuntas persilangan antar sastra, jelas menantang pemerhati sastra.

Penelitian sastra bandingan berangkat dari asumsi bahwa karya sastra tidak mungkin terlepas dari karya-karya yang telah ditulis sebelumnya. Bisa dikatakan penelitian sastra bandingan tak mungkin lepas dari unsur kesejarahannya. Karya sastra lahir dari masyarakat yang memiliki konvensi tradisi pandangan masyarakat tentang seni. Yang lebih penting lagi sastra amat mungkin berasal dari karya sebelumnya yang dianggap mainstream. Karya-karya besar biasanya yang mengilhami karya selanjutnya. Akan tetapi bisa juga sebaliknya karya besar justru lahir karena terinspirasi karya kecil yang diciptakan sebelumnya.

Pada prinsipnya kajian sastra bandingan adalah pengamatan mendalam untuk melihat persamaan dan perbedaan di samping mengamati keduanya yang sekaligus mencari hubungan atau pertalian antara dua atau lebih karya sastra. Studi sastra bandingan pada umumnya membahas mengenai relasi di antara dua buah karya sastra atau lebih yang memiliki latar budaya yang berbeda di satu sisi, tetapi memiliki berbagai kesejajaran baik dari segi bentuk maupun konten di sisi lain.

Menurut kajian Guillen (1993: 3) mengatakan bahwa kajian sastra banding selama ini berorientasi pada kegiatan menguji karya sastra dari sudut pandang internaionalitas saja. Padahal identitas sastra banding tidak semata-mata tergantung pada bagaimana pelaku penelitian sastra banding berkegiatan membandingkan.

Jika satu karya sastra memiliki unsur-unsur kesamaan, kemiripan dan seterusnya, tentu saja tidak dapat serta merta dikatakan bahwa karya yang satu dipengaruhi oleh karya lainnya. Secara transformatif pengaruh itu bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dalam kenyataannya memang seringkali ditemukan adanya penggalan-penggalan plot yang memiliki unsur-unsur kemiripan, pengaruh kuat dan bahkan kesamaan. Dunia globalisasi termasuk salah satu ruang terjadinya pengaruh itu.

Menurut Damono (2005: 5) sastra bandingan bukan hanya sekadar mempertentangkan dua sastra dari negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak pada karya-karya besar walaupun kajian sastra bandingan seringkali berkenaan dengan penulis-penulis temanya yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat pengakuan dunia ppun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antar bangsa tetapi juga sesama bangsa sendiri, mialnya antarpengarang, antargenetik, antarzaman, antarbentuk dan antartema.

Maka dapat dipahami bahwa sastra bandingan adalah persamaan dan perbedaan teks. Jadi pertalian teks yang terpenting dari kajian ini adalah bagaimana seorang peneliti mampu menentukan sastra membandingkan kekhasan sastra yang dibandingkan.

Sinopsis Novel Cinta dalam Ikhlas

            Bintang Athar Firdaus harus kehilangan ayahnya pada usia 5 tahun dan kehilangan Teh Rani, kakak perempuan tertuanya pada saat kelas III. Athar tinggal bersama Mama, kakak, dan adik perempuannya.

            Ketika SMP, Athar termasuk laki-laki yang biasa saja, bahkan cenderung nakal. Athar sempat terlibat perkelahian di sekolah bahkan Mama pernah dipanggil ke sekolah lantaran dia sempat berbuat onar. Athar sempat berpacaran dengan beberapa cewek saat SMP, namun ujung-ujungnya selalu kandas. Menurutnya, saat itu ia hanya terjebak rasa gengsi karena teman-teman satu gengnya sudah punya pacar semua. Rumitnya dunia pacaran membuat prestasinya di sekolah semakin menurun.

Rasa tertariknya pada Ara menurutnya bukan rasa ketertarikan biasa. Ia tidak ingin menjadikan Ara hanya sebagai pacar, namun juga sosok pendamping hidupnya kelak. Sesuai dengan perkataan temannya Mamat, Athar berubah menjadi pemuda rohis. Di organisasi rohis, Athar mengenal banyak orang baik dan shalih. Tentu saja, organisasi yang mulanya asing itu justru mempermudah jalannya untuk berubah.

Setelah keduanya berpisah,banyak sekali rintangan yang Athar hadapi. Sampai suatu ketika Aurora akan dilamar oleh dokter muda, tapi Athar tidak menyerahdengan niat baiknya itu. Ketika Athar mendapat SMS dari Aurora yang berisi Aurora akan dilamar oleh dokter muda dan Aurora meminta Athar untuk secepatnya menemui Ayahnya.

Ketika Athar menemui Ayah Aurora mereka banyak berbincang-bincang dan ketika Ayah Aurora memintanya untuk pulang karena sudah larut malam, sebelum pulang Ayah Aurora berkata kepada Athar bahwa ia akan mendapatkan jawaban dari niat baiknya itu esok hari. Keesokanharinya Aurora menelvon Athar ternyata jawaban dari niat itu diserahkan kepada Aurora, dan ketika Athar bertanya kepada Aurora keputusannya apa?, jawaban Aurora "ia memilih Athar". Athar sangat bersyukur ternyata Aurora memilih Athar, bukan dokter muda itu, dan Athar berjanji akan berusaha membahagiakan Aurora, menjadi suami dan imam yang terbaik untuk Aurora.

Sinopsis Novel Selamat Tinggal

      Sintong Tinggal merupakan seorang mahasiswa Jurusan Fakultas Sastra, ia sering disebut sebagai mahasiswa abadi karena 7 tahun masih berada di universiti dengan dalih belum menyelesaikan skripsinya. Walaupun hapir drop out, pihak dekan dengan persyaratannya masih menaruh kepercayaan untuk Sintong. Sebab, Sintong telah mencatat sejarah melalui tulisan-tulisannya yang selalu dimuat di koran nasional, sukses menuliskan cerita pendek yang menarik, esai, artikel dan sebagainya. Sehingga ia masih diberi satu semester untuk menggapai gelar sarjana.

Padahal jika dilihat dari pengalaman yang mumpuni, Sintong pasti mampu menyelesaikan skripsinya dengan mudah. Namun, dalam tengah perjalanan cinta pertamanya bersama Mawar Sinar Bintang telah pupus. Bagai petir disiang bolong, Sintong mengalami patah hati teramat dalam sehingga menggaggu studinya.

Sintong berasal dari keluarga yang kurang berkemampuan, ia merantau dengan bermodal beasiswa sekaligus sebagai penjaga toko buku bajakan di Pasar Senen kepunyaan paman dan bibinya. Kecintaanya terhadap buku, membuatnya mudah untuk merinteraksi dengan buku. Namun, masih beberapa kesalahan dalam hatinya mengenai pembajakan buku yang dia sendiri ingin terbebas dari jerat hukum cipta. Suatu hari, ia menemukan satu buku Sutan Pane dari lima karya misteri seorang penulis emas pada periode tahun 1930-1965. Akhirnya buku itulah yang menjadi bahan kajian yang ia tulis.

Ditengah perjalanan ia bertemu dengan Jess, mahasiswi yang tertarik dengan dunia kepenulisan. Sintong merasakan adanya perhatian yang berbeda dari perempuan ini. Lalu bagaimanakah kelanjutan cerita dari Jess? Atau ia akan tetap pada cinta pertamanya? Dan yang pasti Sintong lulus dengan menggali tulisan-tulisan Sutan Pane sebagai kajian hingga akhirnya membawa Sintong menjejaki sejarah hidup dengan pemikiran seorang Sutan Pane melalui orang-orang yang pernah mengenali tulisannya.

Analisis Sastra Banding

Fenomena yang dapat ditemukan dari kedua novel tersebut ialah covernya yang berwarna biru dapat melambangkan ketetangan jiwa. Kemudian ilmu psikologi dalam mengikhlaskan adalah hal yang paling utama dalam merubah kehidupan yang lebih baik. Selain dari itu, ada hal lain didalam nya terdapat persamaan yang dapat dikaji didalam kritik sastra banding yakni sebagai berikut:

1. Tema

Kedua tema dalam kedua novel tersebut ialah kehilangan. Terbukti dalam novel Cinta dalam Ikhlas terdapat kata berikut, "Beberapa tahun setelah kejadian ini akhirnya aku menyadari, betapa beratnya kehilangan seorang bapak. Sesuatu yang juga sangat memberatkan Mama yang harus rela ditinggal belahan jiwanya pada usia masih tergolong muda, 38 tahun. Sekarang beliaulah yang harus berperan  sebagai kepala keluarga, dibantu oleh kakak-kakakku yang belum ada seorangpun yang lulus sekolah. Mereka pada usianya yang masih sangat muda harus ikut merasakan tanggung jawab untuk membantu Mama." (Abay, 2017: 4).

Sedangkan dalam novel Selamat Tinggal mencoba untuk melepaskan orang yang dikasihinya untuk orang lain, "Tapi mau dikata apa, Mawar telah menemukan pemuda yang lebih keren. Maka Sintong yang walaupun mungkin masih keren, tidak lagi terlihat keren. Surat-surat itu tidak lucu dan menggemaskan lagi. Mawar Terang Bintang menemukan sosok yang lebih menggemaskan. Dan persis saat Sintong melihat Mawar mencubit lengan pemuda berseragam itu, tertawa gelak dalam percakapan berdua, Sintong tahu, kisah cinta telah tamat." (Liye, 2020: 45).

2. Latar 

a. Tempat

Persamaan antara keduanya yakni berlatar belakang anak kampus. Terletak pada penyampaian penulis Cinta dalam Ikhlas yakni "Selesai dari Masjid Pusbai, aku langsung menuju kampus, ada perkuliahan hari ini pukul 14.00" (Abay, 2017: 264).

Sedangkan penulis Selamat Tinggal memaparkan secara rinci seperti pada kata berikut, "Hanya kipas angin tua di dinding, yang berderit berisik setiap dinyalakan di siang terik -- Sintong sering kali khawatir kipas itu terjatuh. Tapi dia lebih suka siang terik yang panaas dengan suara derit kipas itu, dibandingkan hujan, ketika tempias air menyebrang masuk ke toko, membuat repot, otomatis membuat sepi dagangannya. Toko buku itu bernama Berkah, terletak di dekat stasiun KRL, berjejer bersama delapan toko buku lainnya. Bangunannya sederhana, dengan luas dua puluh meter persegi, dibiarkan begitu, lebar muka empat meter, dindingnya batu bata merah, dibiarkan begitu saja, lantainya dilapisi acian semen, dengan atap asbes. Bukan semata stasiun KRL-nya yang membuat ramai, melainkan kampusnya. Ada sebuah kampus besar persis di dekat stasiun. Menyebrangi rel, di gang kecil, kalian tiba di pintu alternatif memasuki pagar kampus." (Liye, 2020: 7-8).

b. Waktu

Dalam novel biasanya memiliki waktu yang kompleks mulai dari pagi hingga malam. Namun, peneliti memasukkan waktu pagi saja. Contohnya tercatat dalam Cinta dalam Ikhlas, "Pagi sekali kami sudah berada di sekolah, mempersiapkan mental kami dengan baik. Hanya lima band terbaik yang akan tampil." (Abay, 2017: 67).

Sedangkan dalam Selamat Tinggal memaparkan seperti makna mengisyaratkan pagi walaupun tidak mengatakannya secara langsung, buktinya dalam pernyataan berikut ini, "Bus kampus yang hilir mudik membawa mahasiswa menuju fakultas masing-masing jalan di kaca. Jam delapan, jadwal kuliah pertama. Sintong juga berangkat ke kampus pagi ini, tapi dia tidak menuju ruang kuliah, melainkan Gedung Dekanat." (Tinggal, 2020: 16).

c. Suasana

Kebahagiaan dan ketertarikan dalam menjalani hubungan dengan wanita yang menggunakan surat. "Aku kembali ke Bandung dengan perasaan bahagia. Rida dari Mama adalah segalanya bagiku. Aku sampaikan juga kepada Mama bahwa ada seorang wanita shalihah dan baik yang mengajakku untuk bertaaruf." (Abay, 2017: 278)

Sedangkan Tere Liye menuliskannya sebagai berikut, "Sudah lama Sintong tidak deg-deg-an seperti saat itu saat bertemu seorang gadis. Terakhir kali adalah dulu. Ketika hidupnya masih tentang Mawar Terang Bintang -- yang berakhir tragis." (Liye, 2020: 35)

Kutipan suratnya novel Cinta dalam Ikhlas,

Assalamualaikum

Halo, Tari, maaf membuatmu menunggu lama. Sekarang aku sudah memberi jawaban. Alhamdulillah aku sudah mendapatkan surat izin menikah (SIM) dari orang tua. (Abay, 2017: 279).

Sedangkan dalam novel Selamat Tinggal,

Hi, Mawar.

Aku telah tiba di Jakarta. Usai daftar ulang. Kampus ini besar sekali ternyata. Luasnya kurang dari enam puluh hektar, dengan puluhan gedung megah. SMA kita dulu bisa muat di salah satu gedungnya. (Liye, 2020: 35)

3. Tokoh

Tokoh utama yang ditercatat dalam novel keduanya ialah pemuda.

Dalam novel Cinta dalam Ikhlas, penulis mengutarakan secara langsung oleh tokohnya, "Orangtuaku memberiku nama Bintang Atherisena Firdaus. Sebuah nama indah penuh harapan kebaikan. Teman-temanku memanggilku Athar." (Abay, 2017: 2)

Sedangkan dengan penulis Selamat Tinggal memaparkan oleh penulisnya. "Namanya Sintong, penjaga toko buku. Tidak, itu bukan roko buku keren yang biasa kalian datangi di mal, dengan AC dingin, lampu terang benderang, lantai keramik kinclong. Juga tidak dengan petugas toko berseragam, rak-rak berbasis rapi, lorong-lorong lapang yang bisa untuk berkejar-kejaran." (Liye, 2020: 7)

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. (2005). Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.

Guillen, Claudio. (1993). The challenge of Comparative Literature. Terjemahan oleh Cola Frazen Cambridge: Harvard University Press.

Liye, Tere. (2020). Selamat Tinggal. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Abay, Kang. (2012). Cinta dalam Ikhlas. Yogyakarta: Penertbit Bunyan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun