Mohon tunggu...
Coretan Embun
Coretan Embun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Random

Bragging Rights @ coretanembun2011.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bulan Kasih Sayang dan Say No to KDRT: Menghapus Kenangan

8 Februari 2023   12:29 Diperbarui: 8 Februari 2023   16:29 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


     Aku terbangun dari tidur dengan dada berdegub. Kembali lagi terdengar suara teriakan yang mengandung kata makian. Dari ruang keluarga. Oh bukan, tepatnya bukan "ruang keluarga"--kalau boleh kukondisikan--lebih tepatnya "ruang pertengkaran".

     Hampir setiap hari hal itu terjadi, tapi aku tidak dapat melakukan apapun. Aku tidak boleh keluar dari kamar sebelum Ayah selesai memaki Ibu. Namun untuk saat itu aku harus keluar--mau tidak mau--karena aku harus ke sekolah. 

     Bu Guru berpesan, aku harus datang lebih pagi setiap hari Rabu, karena hari itu adalah jadwalku piket. Sambil mengumpulkan segenap keberanian, aku keluar kamar. Mengabaikan perintah Ayah.

     Yang terjadi selanjutnya, aku melihat Ayah memukul wajah Ibu. Hingga Ibu tersungkur di lantai. Tidak cukup sampai di situ, Ayah kemudian menjambak rambut Ibu. Lalu menyeret Ibu. Melihat hal itu seketika aku menjerit. Kutabrak Ayahku dengan badanku yang tidak sebanding dengannya. Tubuhku terpental.

    Ayah memegang kedua bahuku. Meneriaki wajahku. Aku dibilang bukan anak yang menuruti perintah orang tua. Kesalahanku adalah karena aku keluar kamar sebelum Ayah dan Ibu selesai bertengkar. Tanpa kuduga--sebuah tamparan keras mendarat di wajahku.

   Wajahku menjadi panas dan terasa sakit karena tamparan Ayah. Tapi yang lebih menyakitkan adalah "hatiku". Saat Ayah masih saja berteriak dan beradu argumen dengan Ibu, aku sudah berada di kamar mandi. Kembali melanjutkan rutinitas, untuk segera bersekolah.

     Dalam perjalanan ke sekolah, aku merasakan rasa lapar yang luar biasa. Karena aku tidak mungkin sarapan dalam kondisi Ayah dan Ibu sedang bertengkar. Yang aku pikirkan hanya ingin segera keluar rumah dan pergi ke sekolah.

     Tapi perutku tidak bisa diajak berkompromi. Sesampainya di gerbang sekolah, langkahku terhenti. Aroma cilor gulung menguar, dari mamang penjual cilor yang sudah siap menjajakan dagangannya.

     Aku hanya menghela nafas. Aku lupa minta uang jajan pada Ibu. Buruk nasibku pada hari itu, tidak sarapan, ke sekolah tanpa uang jajan. Yang lebih buruk adalah melihat pertengkaran Ayah dan Ibu. Yang hampir setiap hari kusaksikan.

     Seorang perempuan kemudian mendekatiku, ia berdiri di depanku. Ditangannya ada sebungkus cilor gulung yang masih panas. Aroma cilor gulung kembali menguar, uap panasnya menari-nari di depan hidungku.

   "Kamu mau ini, Nak?" Ambillah ...." perempuan yang sangat pengertian itu memberikan cilor gulung dari tangannya. Sepertinya dia memerhatikanku saat aku bergeming melirik gerobak mamang yang berjualan di gerbang sekolah. Dan menangkap basah diriku yang sedang menelan saliva. Tanpa berpikir lama, kuterima pemberiannya, lalu kuucapkan terima kasih.

     Cekrek--cekrek---tanpa permisi perempuan itu mengambil fotoku. Mungkin aku hanya seorang anak SMP yang tidak penting. Mungkin dia ingin memosting di media sosialnya, karena sudah memberi makanan kepada anak SMP yang kelaparan. Ada banyak kemungkinan.

                               ___

       Aku pulang dari sekolah seperti biasa, tapi ada yang tidak biasa. Aku melihat rumahku dari kejauhan. Ada banyak polisi dan beberapa orang dewasa dengan nametag di saku bajunya. Sejenak aku ragu untuk melangkah masuk rumah. Namun aku berpikir, "aku harus tahu apa yang sedang terjadi".

     Kemudian kulihat Ayah keluar rumah dibawa beberapa petugas kepolisisan, dengan tangan terborgol. Ayah ditangkap polisi. Seorang lainnya--yang berkemeja dengan nametag--menghampiriku. Dia mengatakan padaku bahwa mereka dari Komisi Perlindungan Anak.

     Ayahku ditangkap, Ibuku babak belur, dan dilarikan ke rumah sakit karena ulah Ayahku. Kemudian kulihat perempuan yang memberiku cilor gulung seminggu yang lalu. Dia adalah tetangga depan rumahku. 

     Dia yang saat itu mengambil fotoku dengan kondisi mata kiriku yang membiru karena lebam. Dia lalu menyebarkannya ke media sosial. Fotoku viral. Banyak orang bersimpati. Meminta polisi mengambil tindakan. Aku tersadar itulah yang terjadi pada saat itu.

     Aku dan adikku--yang berusia 3 tahun--kemudian dititipkan ke keluarga terdekat Ibu. Tapi hal itu tidak dapat membuatku bahagia. Walaupun tidak pernah lagi kudengar Ayah dan Ibu yang selalu bertengkar. Aku tetap merindukan rumahku, kamar tidurku dan tentu saja Ayah dan Ibu kandungku sendiri.

                              ___

     Saat ini aku berdiri di depan kelas. Namun bukan sebagai murid Sekolah Menengah Pertama. Aku berdiri sekarang di depan murid-muridku. Aku memberikan mereka--murid muridku--secarik kertas gambar. Aku ingin mereka menggambarkan apa yang mereka rasakan saat ini.

    Lonceng berbunyi, sudah saatnya tugas dikumpulkan. Satu per satu murid muridku meletakkan gambar mereka di mejaku, gambar penuh warna warni. Mencerminkan kebahagiaan yang mereka rasakan.

     Murid terakhir mengumpulkan tugas tanpa goresan apapun di kertas gambarnya. Wajahnya terlihat sedih dan sayu. Aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Muridku yang satu ini tampaknya tidak dapat menggambarkan warna warni dalam hidupnya.

     Seketika kupeluk dirinya. Dan dia lalu menangis. Hanya aku dan dia sekarang yang masih tersisa dalam kelas. Kubujuk dia untuk menceritakan apa yang telah terjadi. 

     Dia menceritakan apa yang sedang dialaminya. Kisah hidupnya tidak berbeda dengan sejarah hidupku. Aku kembali memeluknya. Menguatkan hatinya, menyemangatinya.

     "Ibu tetap akan mendampingimu, anggaplah aku juga ibumu, Nak." Kupeluk lagi dirinya, dan ia kembali menangis dipelukanku. Aku berjanji akan terus mendampinginya. Aku tidak ingin dia menjadi korban keadaan. Karena di masa depan, dia masih punya kesempatan untuk bersinar.

                                ___

Writen by CoretanEmbun, Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun