Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi melempar wacana perubahan sistem subsidi sehingga tarif KRL Commuter bagi orang  yang dianggap kaya akan dinaikkan tarifnya.
Atas wacana tersebut, yang saya pahami bahwa; KRL itu adalah public good, sama dengan jalan raya dan jembatan. Maka bila ada tarif dalam public good maka tarif tersebut harus terjangkau, dan sama.
Apabila orang kaya dibedakan tarifnya, maka pemerintah sudah offside, kehilangan fungsi "govern" nya. Dan bila nekat diterapkan hal itu akan menjadi studi kasus yang dibahas di semua Universitas yang mempunyai program studi public policy.
Tentu hal ini akan menjadi bahan kajian bagi mahasiswa mulai dari Universitas Indonesia, LKY School of Government NUS hingga John F Kennedy School of Government, Harvard University. Walaupun hanya sebatas wacana tapi hal itu telah menjadi bahan diskusi publik seluruh dunia, karena sudah diekpos media dan ditanggapi banyak kalangan (terutama anggota DPR).
Lagi pula definisi orang kaya dari kacamata Public Administration itu adalah orang yang membayar pajak besar, sehingga tax revenue bagi negara juga besar.
Nah, pajak besar itu juga untuk membayar gaji menteri perhubungan dan membayar gaji "petugas partai" atasannya para menteri. Oleh karena itu dari aspek azas equity maka tidak boleh sebuah mode transportasi publik sebagai public good tadi, membedakan tarif lebih banyak untuk orang kaya.
Bila dibedakan maka orang-orang kaya tersebut harus dibebaskan membayar pajak yang besar dan pajaknya harus disamakan dengan pajak golongan masyarakat miskin.
Inilah pentingnya wawasan public policy. Indonesia memang belum ada UU tentang Public Goods.
Alangkah baiknya bila pak menteri berbicara mengenai isu yang konkrit seperti; wacana keselamatan umum dalam public transportation dan semacamnya.
_______________
Note : sekedar kritik (membangun) demi kemajuan.