Mohon tunggu...
Dewips
Dewips Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary woman

Mau copy-paste artikel? Boleh saja, dengan tetap tampilkan asal sumber tulisan! Visit me @ ladiesbackpacker.wordpress.com, Email me : swap.commune@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Golongan Anti-masker, Efek "Mangkel" atau Bandel?

17 September 2020   05:56 Diperbarui: 21 September 2020   05:10 2694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga EU dan turis di Bandara Zurich saat pandemi, sumber : dokpri

Beginilah penampakan fesyen warga serta turis EU yang berada di bandara internasional Zurich. Foto tersebut saya ambil saat lock down di Swiss akibat dari puncak mewabahnya Covid-19.

Selama pandemi berlangsung ada banyak macam tren fesyen yang digunakan oleh orang-orang di lingkungan saya. Perbedaan mencolok terlihat mulai dari tipe maskernya sampai model APD yang meng-cover seluruh tubuh penggunanya. Unik dan lucu memang.

Kebanyakan pengguna APD lengkap seperti foto di atas justru dikenakan oleh warga Asia. Yang mana dari mereka adalah tim medis, turis dan juga pelajar yang berwajah oriental.

Sejak masa lock down sampai sekarang, saya sendiri tidak pernah lupa menggunakan safety mask. Mulai dari masker model N95 sampai masker rajutan buatan sendiri juga dikenakan.

Outfit saat didalam Kereta, sumber: dokpri
Outfit saat didalam Kereta, sumber: dokpri
Untuk saya pribadi penggunaan masker setiap hari justru membuat saya semakin hemat, karena tidak perlu menggunakan make-up tipis seperti lipstik dan bedak.

Dengan begitu saya hanya tinggal memadupadankan pakaian dan aksesoris yang saya kenakan sehari-hari, bukan karena tuntutan fesyen tapi agar tetap enak dipandang saja. 

Jadi ya beginilah hasilnya, simpel dan nyaman. Meski begitu masih banyak saja warga di Eropa yang tidak mengenakan masker. 

Pernah juga beberapa kali terjadi di dalam kereta saya malah menjadi tontonan banyak orang, karena pada saat itu saya satu-satunya penumpang yang mengenakan masker. Aneh tapi nyata, bukan.

Sekarang mari kita membahas isu yang sedang merebak di Indonesia, mengenai efek/akibat diberlakukannya kembali PSBB di Jakarta.

Menilik dari pengamatan saya pribadi, di mana aturan physical distancing sudah diberlakukan sejak PSBB tahap awal sampai pada penerapan Era New Normal yang ditetapkan oleh pemerintah.

Saya agak rancu dengan kalimat New Normal itu sendiri, karena pada faktanya masih banyak warga kota yang menjalani aktivitas mereka seperti saat sebelum mewabahnya pandemi corona.

Jadi apa gunanya istilah 'New Normal' itu kalau ujung-ujungnya PSBB diterapkan lagi. Fungsi New Normal sendiri pada aktivitas warga sehari-hari di kota bagaimana? Sedangkan jam masuk dan pulang kantor pun masih sama, semua karyawan yang masuk juga tidak dibatasi jumlahnya. 

Padahal dengan mengatur jadwal masuk karyawan pasca PSBB juga penting dilakukan. Info itu pun saya peroleh berdasarkan kabar kerabat yang juga bekerja di gedung perkantoran Jakarta.

Pembatasan pengunjung di tempat-tempat umum seperti pasar, pusat perbelanjaan dan supermarket juga tidak serius diterapkan.
Sungguh ironi, bukan!

Bahkan masih banyak juga pengunjung atau penjual yang beraktivitas di pasar tidak mengenakan masker sebagai pelindung. Parahnya lagi banyak yang menggunakan face shield tapi tidak dilengkapi dengan penggunaan masker. Dengan berdalih agar wajah rupawan tetap kelihatan. Alamak, ada-ada saja!

Melihat fenomena itu sehari-hari jadi membuat saya merasa miris. Dimana banyak tim medis yang berjatuhan karena Covid-19 tetapi warganya malah tidak mengindahkan aturan yang ada.

Mungkin karena adanya budaya 'aturan dibuat untuk dilanggar', hal itulah yang membuat warga menjadi bandel atau mungkin karena mereka sebenarnya 'mangkel' (baca : kesal) terhadap pemerintah yang tak kunjung bisa menerapkan solusi aktif dan efektif pasca PSBB sebelum diterapkannya new normal.

Semua akibat pasti ada sebabnya begitulah kalimat yang cocok disematkan kepada pemerintah kita. Bukan rahasia umum lagi bahwa kepercayaan warga terhadap pemerintah kita saat ini sangatlah minim.

Terkhusus bagi mereka yang merasa pemerintah saat ini sama saja, tak ada bedanya dengan yang terdahulu. Meski hal itu tidak salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Semua itu kembali kepada kepercayaan kita masing-masing. Sebagai sosok warga yang baik sudah seharusnya kita mengikuti aturan yang berlaku. Apapun itu konsekuensinya.

Jadi kalau jumlah korban Covid-19 di Dunia meningkat, itu salah siapa?

Jawaban itu tentu mengacu kepada kesadaran kita masing-masing.

✓ Sudahkah kita menggunakan masker bersih saat di tempat umum?
✓ Sudahkah kita rutin mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik?
✓ Sudahkah kita menyegerakan mandi setelah bepergian keluar?
✓ Sudahkah kita menjaga jarak ditempat umum untuk kebaikan bersama?
✓ Sudahkah kita memakai hand sanitizer setelah menyentuh fasilitas umum?

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita.

Pada kesimpulannya pemerintah tidak akan bisa menangani masalah kesehatan warganya jika kita tidak ikut serta bergerak nyata. Dengan menjalani protokol kesehatan yang ditetapkan.

Contoh nyatanya ada pada pemerintah Swedia yang juga dikecam seluruh dunia karena tidak diberlakukannya lockdown saat puncak pandemi berlangsung.

Bahkan warganya pun tidak mengindahkan ajakan WHO untuk menggunakan masker saat keluar rumah. Meski saat pertama kali wabah merebak, WHO juga labil mengenai keharusan penggunaan masker bagi warga non-medis.

Meski begitu warga Swedia sebenarnya sangat patuh terhadap peraturan pemerintahnya. Dengan tetap melakukan beberapa hal yang sudah disebutkan sebagai pertanyaan di atas.

Jadi letak perbedaannya dengan warga kita adalah mereka lebih mengutamakan gaya hidup bersih dan sehat guna menghindari paparan Covid-19.

Sedangkan warga kita karena sudah terbiasa hidup 'pasrah' jadi ya asal-asalan saja. Seperti kata peribahasa "Anjay (agar lebih enak dibaca) menggonggong kafilah pun berlalu".

Tentu saja hal itu bisa terjadi karena kepercayaan warganya yang rendah terhadap pemerintah, khususnya di DKI Jakarta.

Pada akhirnya kita semua hanya bisa berasumsi, tetapi keberhasilan didalam memerangi Covid-19 sebenarnya dimulai dari diri sendiri dan juga lingkungan di sekitar kita.

Jadi, golongan Anti Masker karena efek "Mangkel" atau Bandel?

Silakan dijawab sendiri dalam hati dan menurut kepercayaan masing-masing :D

Berikut saya lampirkan juga beberapa foto 'kenakalan' warga benua biru. Ada yang mengenakan masker untuk kegiatan sehari-hari saat pandemi, tapi banyak juga yang tidak.

Salam sehat!

Stok masker hasil subsidi yang masih tersedia, sumber: dokpri
Stok masker hasil subsidi yang masih tersedia, sumber: dokpri
Warga Belanda, sumber : politico europe
Warga Belanda, sumber : politico europe
Warga Ceko, Sumber: sciencemag
Warga Ceko, Sumber: sciencemag
Warga Italia kebanyakan hanya turis yang mengenakan masker, sumber: thelocal.it
Warga Italia kebanyakan hanya turis yang mengenakan masker, sumber: thelocal.it
Kebanyakan hanya lansia yang mengenakan masker di Swedia, sumber: thelocal.se
Kebanyakan hanya lansia yang mengenakan masker di Swedia, sumber: thelocal.se

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun