Pengalaman ini saya tulis berdasarkan aktivitas "kondangan" saya pada acara pernikahan rekan saya di Jerman. Budaya dan adat tentu menjadi hal yang sangat membedakan antara upacara pernikahan di Indonesia dengan di Eropa khususnya di Jerman. Suasana sakral tentu tidak terlalu dirasakan oleh pengantin maupun tamunya, entah kenapa pada saat menghadiri acara pernikahan itu sendiri saya lebih merasakan suasana sukacita ala western party dibanding suasana sakral pernikahan yang biasanya dirasakan pada saat menghadiri pernikahan ala pengantin Indonesia.
[caption id="attachment_262055" align="aligncenter" width="600" caption="Tradisi der Polterabend, dok: t-online.de"][/caption]
Aktivitas makan bersama dan menyanyi serta menari bersama tentu menjadi kegiatan utama sepanjang acara berlangsung. Jumlah tamu undangan pun tidak terlihat sangat menumpuk karena kebanyakan keluarga pihak mempelai wanita hanya mengundang orang-orang dekat saja dalam hal ini tentu keluarga dan sanak saudara. Bahkan tetangga dalam hal ini yang menetap di radius 5 km pun belum tentu masuk dalam list undangan pernikahan, mungkin karena disebabkan oleh budaya individualisme itu sendiri.
[caption id="attachment_262053" align="aligncenter" width="403" caption="Pengantin ala Jerman-Brazil, dok: pribadi"]
Persiapan pernikahan pun tidak dilakukan secara dramatis dan mewah melainkan hanya menyiapkan wardrobe pengantin yang biasanya diperoleh melalui jasa penjahit khusus bukan baju sewaan dan tentunya manajemen catering serta event organizer dimana jasa fotografer sudah termasuk didalamnya. Ada satu hal yang paling unik dalam acara pernikahan ala Jerman dimana para tamunya tidak diwajibkan membawa amplop berisi uang karena hal itu merupakan sukarela dari masing-masing tamu. Kebanyakan mereka membawa rangkaian bunga yang cantik lengkap dengan kartu ucapan yang biasanya juga telah diisi oleh beberapa lembar euro atau gutschein (voucher belanja atau perjalanan).
Selain itu beberapa tamu yang sadar tradisi juga biasanya membawa beberapa buah piring atau peralatan dapur lain yang terbuat dari porcelain, dimana barang-barang tersebut merupakan barang bekas yang tidak lagi digunakan dirumah mereka. Dalam satu kesempatan sepasang pengantin tersebut wajib memecahkan semua barang dari porcelain yang telah dibawa oleh para tamunya. Tradisi unik tersebut dilakukan dalam rangka "memecahkan" masa lalu kedua mempelai yang mungkin terdiri dari hal-hal buruk atau kelam dan dipercaya akan membawa keberuntungan, dimana pada saat mengikat diri dalam ikatan suci pernikahan mereka harus menanggalkan hal tersebut demi memulai kehidupan baru bersama sosok baru selama hidupnya.
[caption id="attachment_262054" align="aligncenter" width="516" caption="suasana meja tamu bertemakan "]
Tradisi tersebut biasa dikenal dengan istilah der Polterabend dimana pada Negara tertentu seperti di Swiss, Austria dan Denmark tradisi ini dilakukan pada acara Junggesellenabschied yaitu kegiatan berupa pesta penutup masa lajang. Mungkin kalau di Indonesia ada tradisi "pingit" kalau di Eropa justru masa akhir lajang digunakan dengan cara berpesta bersama kawan-kawan dekat sebagai tanda masa lajang akan segera berakhir. Ya begitulah, beda Negara beda Tradisi tapi tetap menarik untuk disimak..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H