Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Lawu Rampai

22 Juli 2015   21:04 Diperbarui: 22 Juli 2015   21:04 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="pic from wallpaperHD.com"][/caption]

Saat ini aku berada di sebuah lingkungan yang tidak aku pahami seperti apa sebelumnya. Seperti sebuah desa. Namun sepi sekali. Entah apa namanya, aku terdampar di sebuah tempat terpencil di Barat Kalimantan.

Andai saja aku bisa menolak penugasan dari kantor, mungkin aku masih berada di Jakarta saat ini. Tetapi keahlianku sangat dibutuhkan oleh perusahaan. Perusahaan memintaku untuk meneliti salah satu tanaman langka yang katanya hanya hidup di hutan Kalimantan sebagai salah satu obat untuk kanker. Aku pergi bersama lima orang lainnya. Rencana lama tinggal kami adalah sekitar dua minggu. Perusahaan sudah membuatkan jadwal – jadwal termasuk tempat tinggal kami di Kalimantan.

Adalah Ampong, salah satu guide kami yang keturunan Dayak Ngajo sudah dipilih untuk menjadi penujuk jalan tentang hutan-hutan di Kalimantan. Kulitnya putih, orangnya ramah. Aku nyaman berada di dekatnya walau baru saja mengenalnya.

Namun khusus hari ini, Ampong tidak ikut dengan kami. Padahal aku hanya berangkat berdua saja dengan Haris. Rekan yang lain menuju tempat yang berbeda. Ampong meminta izin karena istri yang baru dinikahinya tiga bulan itu tengah demam tinggi. Aku dan Haris, rekan kerjaku sepakat berangkat tanpa Ampong. Hingga akhirnya kami berdua tersesat di dalam hutan lalu menemui desa ini.

Tak lama ada sesosok pria berperawakan kurus melewati mereka. Lalu…

“Cari apa kalian di sini?”

Pria itu begitu fasih berbahasa Indonesia, padahal kami semua berada di sebuah pedalaman hutan Kalimantan. Tapi kami bersyukur, semoga ia bisa membantu kami menemukan jalan pulang karena hari sudah akan gelap.

Seolah mengerti kebingungan kami, pria itu memberi kode untuk mengikutinya. Kami pasrah, lalu beranjak pergi bersamanya. Hutan yang begitu lebat terasa tak bersahabat, suara-suara penghuni malam yang liar mulai nyaring terdengar di telinga kami. Bulu kuduk tiba-tiba serentak berdiri. Kami berdua mengatur jarak sedekat mungkin agar tak terpisah satu sama lain.

Sepanjang perjalanan, aku yang berjalan paling belakang melihat beberapa sosok yang wajahnya selalu menunduk ketika melewati kami. Aneh. Karena sudah mulai gelap, aku pun tak menggubrisnya. Perjalanan yang cukup jauh membuatku begitu lelah, hingga akhirnya aku dan Haris tiba di sebuah rumah sederhana berdinding kayu. Pintu dan daun jendela terlihat begitu lusuh dan ringkih. Sebelumnya kami juga melewati beberapa rumah yang pintunya rapat tertutup.

“Saya pergi dulu mencari makan, kalian jangan ada yang keluar dari rumah ini sebelum saya kembali.”

Aku dan Haris mengangguk. Dua jam kemudian, sepeninggal pria tua tadi, Haris, yang cukup pemberani membuka pintu.

“Mau ke mana, Ris?” aku langsung menghadangnya.

“Aku lapar, Za, siapa tahu di sekitar sini ada yang menjual makanan.” Haris memegang perutnya.

“Tapi bapak tua itu menyuruh kita menunggu, dia yang akan membawakan makanan untuk kita, Ris.”

“Dia sudah pergi dua jam, aku bisa keburu mati, Za…” wajah Haris memelas padaku.

“Terserah kaulah, Ris. Tapi hati-hati. Perlu kutemani?” aku sedikit khawatir.

“Tidak usah, aku gak lama ko…” setengah memaksa akhirnya Haris keluar dari rumah.

Aku menatap kepergian Haris. Sejujurnya aku pun lapar karena kehabisan bekal sejak siang tadi. Tapi bapak tua tadi…ah, ini sudah dua jam berlalu, bapak tua tadi juga belum kembali.

***

Malam merambat semakin cepat. Bapak tua belum kembali, begitu juga Haris. Aku mulai resah. Aku bukan menahan lapar, tetapi aku khawatir terjadi apa-apa dengan bapak tua yang menolong tadi dan juga Haris!

Akhirnya aku nekat menyusul Haris. Yah, Haris yang harus ku cari terlebih dahulu. Aku takut Haris tersesat. Berbekal senter, aku berkeliling desa itu.

“Kung…Kung…Kung…”

Terdengar sayup-sayup diantara rimbun pepohonan yang menjulang tinggi. Sesekali angin membuat daun-daunan itu bergoyang. Aku berjalan terus. Lalu aku mendengar alunan musik seperti gending jawa di kejauhan. Hah? Di pedalaman hutan Kalimantan? Tidak mungkin rasanya.

Aku terus berjalan. Tak jauh kulihat ada sebuah keramaian dengan beberapa obor yang menyala. Aku melihat sosok….itu kan…

“Haris! Ris! Kamu ngapain di situ”

Sosok yang kupanggil Haris itu lalu menengok dan…

Haris…kenapa dia..matanya merah, dia seperti tidak mengenaliku!

Tiba-tiba tubuhnya terhuyung lalu terjatuh dan menyebut-nyebut sesuatu…”Kambang…Kambang…jangan pergi….”

Aku goncang-goncangkan tubuhnya, lalu memberi air minum yang kubawa sejak tadi. Kubaca doa-doa semampuku. Aku menyeretkan ke pinggir jalan setapak. Obor-obor yang tadi kulihat dan suara keramaian yang tadi aku dengar beranjak menghilang.

“Ris, bangun Ris…bangun…” aku menampar-nampar halus pipi Haris. Matanya pelan-pelan terbuka.

“Aku di mana, Za?”

“Sudah…sudah…lebih baik kita kembali ke rumah bapak tua. Nanti kau ceritakan semua di sana apa yang kau alami.

Aku dan Haris berjalan kembali pulang. Aku sengaja menabur garam sepanjang perjalananku mencari Haris agar tidak tersesat untuk kedua kalinya.

Ketika aku berada di ujung garam yang kutaburkan, aku terhenyak. Tak ada rumah! Ini bukan rumah, tapi….Ya Tuhan, ini apaaaaa??? Aku melihat begitu banyak tulang-tulang berserakan, aku melihat beberapa tengkorak kepala yang berada di sudut-sudut tempat itu. Aku yakin ini adalah rumah bapak tua tadi. Aku hafal dengan pohon jati yang berada di sekitar rumah bapak itu. Aku menggoreskan beberapa kulit pohon dengan pisau sebagai penanda. Tapi ini….???

“Za, aku takut…”

“Ris, kita berdoa banyak-banyak saja saat ini. Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali minta pertolongan Tuhan.”

“Kambang cantik, Za…aku jatuh hati pada pandangan pertama. Belum pernah kutemui perempuan seperti bidadari. Tadi Kambang sempat menangis di bahuku, dia bilang banyak yang jahat padanya. Dia ketakutan, Za. Aku harus tolong dia!”

“Minum, Ris. Kau terlalu mengigau. Lebih baik kau baca ayat-ayat suci supaya kita bisa keluar dari tempat ini.”

Malam terasa begitu panjang. Aku dan Haris begitu menantikan pagi. Sesekali aku melihat sosok yang berkelebat diantara pepohonan. Sekilas seperti macan yang tengah terbang. Sayup-sayup terdengar raungan bak harimau. Aku pasrah, entah bagaimana nasibku dengan Haris kini?

***

Aku tertidur di sebelah Haris. Berlindung di antara rimbunnya semak belukar. Sekitar lima menit aku terpejam tiba-tiba…

Ada sosok sebesar pohon beringin berdiri tegap di hadapanku! Bertaring! Matanya menyala-nyala. Sekilas kuperhatikan seperti seekor macan. Aku memeluk Haris yang ikut terbangun. Kami ketakutan setengah mati! Haris yang lemah masih saja menyebut-nyebut kata Kambang. Duh, dalam situasi seperti ini masih saja dia begitu, gerutuku.

Tubuhku dan juga Haris perlahan menjauh dan menjauh dari mahluk itu…hingga akhirnya aku dan Haris berada di bibir sungai. Kami kelelahan. Aku melihat langit mulai terlihat terang. Kami pun tertidur.

“Pak, bangun, Pak…bangun…”

Seperti ada yang menggoncang-goncangkan tubuhku.

“Am…Ampong…” Aku langsung memegang tangannya. Ampong datang bersama beberapa orang.

“Saya mendapat kabar bapak dan kawan bapak tidak pulang malam tadi, saya khawatir lalu mencari bapak bersama teman-teman. Kenapa bapak bisa sejauh ini?”

“Di mana saya?”

“Bapak ada di Simpang Dua…sudah terlalu jauh dari penginapan.”

“Tapi semalam saya ada di Desa…kalau tak salah namanya Desa Dawu Sampai…”

“Dawu Dampai? Itu Desa Lawu Rampai, Pak. Sudahlah, Pak. Nanti ceritanya di rumah saja. Kita pulang sekarang, kasian kawan bapak, sepertinya butuh pertolongan.

***

“Dulu, seringkali para peneliti datang ke Desa Lawu untuk mengambil sesuatu yang katanya bisa menjadi obat. Tetapi, mereka tidak mau mengikuti peraturan di desa. Tiga orang diantaranya malah memperkosa Kambang, si bunga desa. Karena stres, Kambang akhirnya bunuh diri. Lama-lama penduduk desa itu banyak yang merantau dan desa pun akhirnya kosong tanpa penghuni. Namun, beberapa peneliti yang penasaran masih saja datang ke sana. Entah mengapa, diantara mereka ada yang kembali dan ada yang tidak. Telah ada larangan dari ketua adat desa seberang untuk datang ke sana lagi, tetapi masih saja ada yang melanggar, mungkin karena di sana banyak tumbuh tanaman obat untuk penyakit langka…”

Aku mendengar dengan seksama. Haris pun dikatakan “kesambet” dan sudah mulai pulih diobati oleh tabib setempat. Ternyata arwah Kambang si bunga desa Lawu itu masih saja gentayangan. Kata Ampong, Kambang masih mencari siapa pemerkosanya untuk membalas dendam.

“Lalu suara gending Jawa? Saya mendengarnya sayup-sayup” ujarku penasaran.

“Leluhur desa itu katanya berasal dari pulau Jawa, itu mengapa namanya seperti nama desa itu seperti nama desa dan gunung di pulau Jawa…tidak aneh kalau bapak bisa mendengarnya…”

“Saya juga bertemui dengan bapak tua yang menolong…tapi bapak itu tidak kembali lagi…”

Ampong lalu memintaku tak meneruskan bercerita. Hanya tersenyum.

“Pak Reza dan Pak Haris pasti telah melanggar apa yang beliau larang…jadi saja seperti ini…”

“Ampong tahu siapa dia?”

Ampong terdiam, lalu mendenguskan nafasnya. Tatapan matanya nelangsa. Aku tak mampu menerjemahkan raut wajahnya. Aku hanya bersyukur sudah kembali ke sini. Masih takut rasanya membayangkan. Aku melihat Haris tengah terlelap. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

Ku lihat Ampong tersenyum simpul lalu pandangannya ke arah luar rumah. Tak lama terdengar suara auman yang lumayan keras dari hutan tidak jauh tempatku menginap.

Duh, bulu kudukku jadi kembali merinding.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun