Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC] Rumah Kue

20 April 2015   18:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_361454" align="aligncenter" width="580" caption="www.urban75.org"][/caption]

Dewi Pagi – No. Peserta: 70

“La, tolong kamu siapkan pesanan dari Pemda. Mereka minta lima ribu cupcakes tapai coklat untuk acara pesta rakyat minggu depan. Jangan lupa orderan Bu Dian di Bandung, saya sudah hubungi ekspedisi. Hmm, menurut kamu apa kita perlu tambah mobil operasional yah?” Aku diam, lalu bicara lagi.

“Oh iya, gimana dengan catering Nissa Arthur? Sudah kamu follow up? Saya mau dia ambil snack-nya dari kita, kliennya ada tiga pabrik, kalau tidak salah satu pabrik buruhnya tiga ribu orang.”

“Baik, Bu. Nanti saya follow up semua. Sudah ada di agenda saya. Maaf, tolong tanda tangani giro ini dulu. Oh iya, kapan Ibu ada waktu untuk ketemu supplier Collata?”

Laila, orang kepercayaanku yang sangat kuandalkan. Wajar bila Laila kupertahankan dan ku beri jabatan terbaik. Laila karyawan pertamaku yang membantuku sejak awal aku merintis usaha yang kini kian berkembang pesat.

Laila meninggalkan ruangan. Aku melepaskan pegal dengan menyandarkan punggungku di atas kursi berbungkus kulit dan berisi busa yang super empuk. Tiba-tiba Ingatanku melayang pada tujuh tahun yang lalu…

Aku nekat melepaskan jabatan sebagai manager accounting di sebuah PMA demi impian besarku. Merasa otak kananku tak bekerja maksimal ketika menjadi seorang pekerja. Aku punya impian besar untuk berbuat lebih banyak pada orang lain. Bukan sebatas duduk dan membuat laporan-laporan keuangan.

Tahun demi tahun berlalu. Kini aku menjadi seorang pengusaha muda sukses di bidang kuliner spesial roti dan kue-kue tradisonal. Otodidak. Trial error hal biasa setiap kali menjajal resep orisinilku.

Tak peduli rasanya dengan kegagalan. Bagiku dibalik perjuangan pasti ada harga yang harus dibayar. Entah waktu, uang, keringat bahkan darah dan air mata. Mana pernah pula ku duga setelah tujuh tahun berlalu, aku bahkan mampu memberangkatkan tiga puluh karyawan terbaikku untuk umroh? Yah, Tuhan memang senang dengan kemisteriusan dan aku adalah salah satu “korban” kemisteriusan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun