Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tuhan, Aku Benci Indera Keenamku...

28 Januari 2014   19:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13909137691520883838

[caption id="attachment_292647" align="aligncenter" width="448" caption="sixth sense (foto dari www.6sense.com)"][/caption]

Jari jemariku memintal angin di pelataran senja yang sepi. Tak ku gubris dingin yang mencekat. Gerimis sepoi-sepoi sentuh pori-pori kulitku. Tubuhku terkungkung dalam musim penghujan yang begitu pekat. Teramat pekat.

Berjalan. Kedua tungkai kakiku perlahan berjalan. Hatiku yang diam. Ku paksa kaki ini menyusuri tanah berbatu. Punguti beberapa lembar daun kenangan yang telah mengering. Memandang langit. Kubiarkan wajahku tengadah pada awan berbungkus mendung. Senjaku berkabut.

Kini ku memapah hati. Singkap sebuah keinginan pada Sang Maha Pemberi. Atas lelah yang tak kunjung berhenti. Pada tanya yang tak kunjung terjawab. Tenggelam dalam kubang pengandaian. Berkhayal. Andai saja...

Yah, andai saja saat ini aku diberi sebuah permintaan yang akan langsung dikabulkan Tuhan. Kau mau tahu aku akan pinta apa pada Tuhan? Aku...Aku akan meminta agar Tuhan mengambil lagi sesuatu yang telah Dia titipkan untukku.

Benar. Aku tidak keliru. Bukan, bukan aku menyangkal ketetapan-Nya. Aku hanya jemu. Aku mau ada sesuatu yang berlalu. Aku mau sesuatu yang mengaku bernama indera ke-enam ini enyah dariku. Dari hidupku.

Ingin rasanya hidup normal. Namun nyatanya, ada satu lesatan panah takdir yang tak bisa ku hindari. Harus menjalani satu sisi yang berbeda. Di mana aku bisa merasakan ketika sesuatu yang akan terjadi di masa depan, sebagian besarnya bukanlah suatu misteri lagi bagiku.

Semuanya...semua berawal di satu waktu ketika aku bermimpi berada di sebuah dunia yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Kau tahu apa yang ku saksikan? Baiklah, akan kuceritakan di sini. Aku berjalan di sebuah jalan yang lurus. Baris pohon berjajar rapi di kanan kiriku dengan cabang-cabang yang bisa menyentuh langit dalam arti sebenarnya. Tinggi sekali. Aneh.

Masih dalam keanehan yang sama, pandanganku lalu terdampar pada elok lautan yang lebih indah dari lautan yang pernah ku lihat di dunia ini. Aku juga mampu pijakkan kakiku di atas sebuah telaga yang airnya jernih kehijauan seperti warna zamrud. Bayangkan saja, aku bisa berjalan di atas permukaan air! Rasanya tak terkatakan. Takjub! Pemandangan tak lazim yang banyak kutemui membuatku enggan beranjak pergi.

Tepat pukul tiga pagi, aku terbangun dengan peluh sekujur badan. Tiba-tiba ada sosok besar bersayap putih yang memelukku hingga sulit aku lepaskan. Aku berontak. Mahluk itu baru mau melepaskanku ketika tak berhenti aku sebut nama Tuhanku. Mahluk itu berselubung cahaya keemasan. Tak lama hilang setelah menembus langit-langit kamar.

Sejak itu, keanehan demi keanehan terjadi dalam hidupku. Aku bisa tiba-tiba berucap tentang masa depan seseorang. Aku mampu 'membaca' sesuatu bila teman-temanku sodorkan telapak tangannya, melalui foto atau nama. Bahkan beberapa orang meminta hari baik saat membuka usahanya untuk pertama kali. Gelar penasehat spiritual dari beberapa 'pasien' pun sempat bertahta untukku. Hei, cool! Kelihatan keren juga, gumamku saat itu.

Aku tersenyum miris saat ku setel televisi. Beberapa politikus wara-wiri tertawa tertiwi namun kepalanya ku lihat seperti binatang menyeringai atau mendesis. Anjing, babi, ular, ah...kenapa juga aku tidak bisa melihat wajah asli mereka itu seperti apa?

Tapi sebenarnya...sebenarnya ada yang paling aku takuti. Kedua telapak tanganku berpeluh ketika melihat sesuatu hal terutama yang tidak baik akan segera menerpa dunia. Deras mengucur pada jiwa yang tak bisa terbias dari mulut. Hanya celoteh hati yang berperan ketika pertanda itu muncul mengaduk-aduk rasa.

Dulu. Yah dulu. Dua hari sebelum tsunami Aceh terjadi, aku bermimpi melihat laut terbelah dan gelombang pasang. Aku saksikan kumpulan air pecah lalu tumpah di mana-mana. Aku melihat mayat. Bertumpuk-tumpuk. Aku mendengar jeritan. Saling bersahut memekak telingaku. Ketika bencana besar itu akhirnya terjadi, aku menangis hebat. Menyesali tak mampu memperingati.

Terlalu banyak mimpiku yang menyiratkan suatu musibah, namun aku tak pernah tahu kapan dan di mana akan terjadinya? Aku hanya bisa merasakan akan datang dalam waktu dekat. Itu saja. Ssst, aku mendapatkan bocoran bahwa musibah akan lebih banyak ditemui di awal, tengah dan akhir tahun. Entahlah benar atau tidaknya?

Senja mulai beranjak. Aku tundukkan hati. Gerimis telah berubah jadi tebal garis-garis hujan. Deras. Mulai ku rayu Tuhan dalam pintaku...Tuhanku Yang Maha Pemberi Anugerah, aku tak bilang semua ini menyiksaku, walau batinku berulang kali menolaknya. Aku hanya butuh ribuan waktu untuk bisa menerima seutuhnya. Sungguh tak mudah menjadi aku ini.

Kusudahi sekelumit doaku. Aku percaya Tuhan Maha Tahu apa isi hati terdalamku. Kubiarkan Tuhan menimbang-nimbang lagi pintaku. Dia Maha Adil. Maha Bijaksana. Maha Mengerti.

Saat ini aku mencoba belajar kembali renungkan semua. Biar bagaimana pun, hal ini adalah hadiah dari Tuhan. Meski aku seringkali berharap agar suatu saat nanti Tuhan bolehkan aku untuk mengembalikan hadiah ini kepada-Nya. Boleh kan, Tuhan?

Tuhan, maafkan aku. Aku bukan membenci-Mu. Terkadang aku hanya ingin tidak mengetahui sesuatu yang aku sendiri takut untuk mengetahuinya. Aku lebih memilih untuk tidak tahu apa-apa bila hanya akan memercikan lara di hatiku. Aku benci mengetahui sesuatu hal yang hanya akan membuat aku menjadi sedih, kecewa dan menangis pada akhirnya nanti.

Seperti ketika aku mengetahui akan banyaknya ketidakjujuran yang teramat melukai hatiku atau saat aku diperbolehkan melihat gambaran jelas atas masa depan orang lain sedangkan masa depanku sendiri tak berkenan ku intip walau hanya secuil sinopsisnya saja. Gelap sekali.

Aku menghapus hangatnya air yang jatuh perlahan dari kedua pelupuk mataku. Malam terus saja merambat. Serpih keinginan hati ini kubiarkan tetap buta dan meraba-raba ketika ingin bercermin tentang ketetapan-Nya untuk kehidupanku. Jalan hidupku setia menjadi misteri. Meski tajam firasat masih Tuhan izinkan menjadi bonus dan sewaktu-waktu datang menyelinap dalam kisi-kisi jiwaku.

Genting. Hanya ketika genting.
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun