Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Cinta untuk Calon Presiden

4 Juni 2014   01:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:44 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Malam, Tuan. Apa kabarnya? Semoga Tuan selalu berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Bijaksana. Kiranya Tuan juga selalu mendapat kesehatan tak terkira dan limpahan kebahagiaan lahir serta batin.

Sebelumnya saya perkenalkan diri saya dulu. Saya adalah satu jiwa dari sekian ratus juta jiwa yang bernafas di bawah atmosfer ibu pertiwi. Satu dari sekian ratus juta manusia yang mengais rezeki kehidupan di negeri yang (katanya) kaya raya ini.

Tahukah Tuan? Pesona Tuan begitu luar biasa di mata dan hati saya. Bahkan (mungkin) di ratusan juta pasang mata lainnya. Nama Tuan begitu terkenal seantero nusantara. Pun sejagad maya. Dahsyat. Baru kali ini saya merasakan euforia pada calon pemimpin bangsa yang tak ada habis-habisnya.

Tapi dibalik semua euforia itu, hati saya sempat terluka, Tuan. Saya yang mendambakan sebuah pertarungan dari dua ksatria dengan cara yang ksatria pula, harus dikotori dengan hujaman kata-kata hujatan yang datangnya justru bukan dari mulut Tuan sendiri. Kebencian seperti nyala api yang kencang berkobar dan tak mau padam. Etika kesantunan hanya jadi milik segelintir orang saja.

Siapa mereka ini, Tuan? Apa mereka tulus mencintai Tuan ataukah malah ingin membunuh Tuan? Apa sebuah pertarungan harus diramaikan dengan suporter yang melempari batu tapi juga sembunyi tangan? Apa suporter juga boleh saling gebuk demi jagoannya? Miris.

Sekarang kita lupakan dulu soal pertarungan. Izinkan saya bertutur sekelumit cerita yang mungkin luput dari perhatian Tuan. Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah fakta bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang memakan nasi aking. Tuan tahu nasi aking? Nasi aking itu sisa nasi yang dijemur lagi hingga kering lalu diolah hingga 'layak' untuk menjadi pengisi perut yang kosong.

Nasi aking jadi alternatif makanan pokok mereka yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan ketika segenggam beras sudah tak terjangkau lagi harganya. Bahkan beras merk RASKIN yang katanya murah saja kini sudah tak mampu terbeli. Penyakit lapar obatnya hanya makan, walau pun dengan sepiring nasi aking. Tak apa nasinya sedikit berjamur dan berbau 'pesing'.

Tuan tahu rasanya nasi aking? Maukah Tuan mencicipinya walau hanya sesuap saja? Nikmat Tuan. Aromanya saja bisa membius indera penciuman Tuan. Tuan harus mencobanya, sebelum Tuan menikmati masakan lezat dari para chef di istana nantinya. Kelak perut mereka harus menjadi perut Tuan juga.

Tuanku yang (kelak akan menjadi) mulia, maaf bila saya menulis surat ini terlalu panjang. Tapi persoalan bangsa ini lebih panjang dari sekedar yang tertuliskan di mana-mana. Tuan harus segera berdiri, melangkah dan berlari demi terealisasinya mimpi bangsa ini.

Tuan jangan duduk manis saja di singgasana tertinggi dan tunjuk sana-sini karena menjadi orang nomor satu di republik ini. Apalah artinya tahta bila rakyat-nya Tuan masih sengsara? Apalah artinya kursi bila kesejateraan rakyat-nya Tuan masih 'jomplang' di sana sini?

Ada lagi, Tuan. Andai nanti Tuan benar-benar menjadi orang nomor satu di negeri ini, maukah Tuan jebloskan ke hotel prodeo para koruptor dan pelanggar hukum tanpa tedeng aling-aling?

Bisakah Tuan tidak plintat-plintut saat menghadapi kenakalan para pejabat korup di seantero negeri ini? Sudah lama negeri ini keropos karena digerogoti 'maling' mulai kelas teri hingga kakap.

Dari atas langit, wajah negeri ini begitu muram. Lautannya bak kumpulan air mata. Paru-paru bumi seolah tengah sesak bernafas. Zamrud khatulistiwa tak lagi berkilau warnanya. Negeri yang terdiri dari ribuan pulau dan terpisah satu sama lainnya kini seperti cermin dari penghuninya. Mungkinkah sekarang penghuninya sudah belah dan terpecah?

Ah, betapa pelik dan rumitnya permasalah bangsa ini. Kuatkah pundak Tuan menopang beban itu? Bisakah mata Tuan melihat semua kenyataan yang terjadi di negeri ini? Mampukah hati Tuan menyentuh dan mengulurkan pertolongan atas segala bentuk keprihatinan bangsa ini? Sudikah Tuan ikut menyeruput rasa getir dari pahitnya kehidupan anak-anak negeri yang tumpah ruah di belantara kemiskinan?

Semua itu pastinya bukan pekerjaan yang mudah dan bisa selesai dalam satu kejapan mata. Negeri ini bukan negeri dongeng yang diisi dengan peri-peri bertongkat ajaib. Bukan negeri sulap yang bisa berubah seketika dengan mengatakan simsalabim. Bukan pula negeri nirwana yang hanya berpenghuni orang-orang berhati malaikat saja.

Ini Indonesia, Tuan. Negeri yang sedang pusing kepalanya, meriang badannya, keseleo tangannya dan pincang kakinya. Negeri ini memiliki ratusan juta isi kepala yang berbeda satu sama lainnya. Bisakah Tuan bayangkan betapa harapan mereka semua bertumpu pada Tuan? Tuan akan menjadi kepanjangan dari suara hati mereka. Sudah siapkah, Tuan?

Baiklah, sebelum kepala Tuan nyut-nyutan karena celoteh-celoteh dan setumpuk pertanyaan saya, sebentar lagi saya akhiri saja surat ini.

Jangan marah pada saya, Tuan. Ini hanya surat cinta berbumbu tanya. Silahkan Tuan jawab pertanyaan yang timbul karena rasa cinta ini ketika Tuan mulai bekerja sebagai pemimpin negeri Indonesia. Tuan ingat lirik lagu Iwan Fals? 'Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta....'. Jadi, pertanyaan dengan cinta dibalas jawaban dengan cinta. Deal, Tuan?

Sebagai salah satu bentuk cinta saya pada Tuan, selesai menulis surat ini, saya akan berdoa untuk Tuan. Berdoa semoga kelak ketika Tuan terpilih, Tuan akan mencintai saya dan ratusan juta rakyat di negeri ini dengan sepenuh hati. Membawa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik lagi. Membuat kami semua tidak fakir mimpi akan kesejahteraan Indonesia dalam arti yang sebenarnya.

Doa kami (saya dan ratusan juta rakyat Indonesia) menyertai langkah Tuan. Semoga Tuhan Yang Maha Berkehendak mengabulkan segala pinta kami. Semoga bila terpilih nanti Tuan tidak akan lupa diri dan semoga kursi yang Tuan duduki nanti, bukan semata-mata Tuan raih karena ambisi pribadi. Tuan akan jadi milik Indonesia dan Indonesia adalah kita semua tanpa terkecuali.
.
.
~ Salam Hangat Penuh Kasih dan Harapan ~
.
.
***
.
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun