Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Socmed Oh Socmed...(Ketika Ibu Jari Lebih Kejam dari Ibu Tiri)

21 Oktober 2014   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:17 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Neneeeeng...gue udah di deket eskalator, elo di mana???" *icon bingung

"Minah...bentar lagi gue nyampe, lo tungguin aja...gue nyetir udah ngebut neh..." *icon kaki lagi lari

(Nyetir ngebut sambil bbm-an? Gak takut bahaya?)

"Jangan kelamaan neng, udah kriting neh gue..." icon nangis

"Iya minaaaah, lo kemana dulu ke'...ngadem-ngadem di toko baju aja...*icon ketawa lebar

Percakapan di atas bukanlah percakapan via telepon, sms atau chat pribadi melalui bbm, WA atau line. "Percakapan" itu muncul di recent updates (status-status terbaru) bbm. Kebetulan Neneng dan Minah (bukan nama sebenarnya) ada di dalam list pertemanan bbm saya.

Saya suka mikir, kalau urgent kenapa gak telepon aja yah? Atau lewat pesan pribadi? Bukankah lebih praktis bisa langsung sama yang tertuju. Sepertinya hanya mereka yang tahu jawabannya. Akhirnya, saya hanya menganggap itu sekedar lucu-lucuan aja.

Dulu saya anti pake hp merk blackberry yang awalnya ngetop karena ada fitur bbm-nya. Bukan karena gak bisa beli. Saya cuma takut. Takut jadi 'autis' dan terlalu eksis, maklum saya orangnya rada narsis n gak bisa liat ada kamera nganggur, pengennya di"jepret" aja, hehehe.

Tapi lama-lama saya merasa butuh juga. Secara saya punya usaha yang butuh media promosi. Akhirnya saya kalahkan rasa takut karena tujuan saya ingin mengembangkan bisnis yang tengah saya rintis saya itu. Saya pun lebih sering menggunakannya untuk pajang jualan saya dan untuk kirim-kirim foto barang bila ada yang berminat atau via broadcast messenger.

Saat ini, fenomena media sosial a.k.a socmed (social media) semakin hari semakin mengerikan saja di mata saya. Semua begitu tak berjarak, tak bersekat ruang dan waktu. Begitu hebatnya media sosial, bahkan orang-orang biasa (bukan selebritis) bisa ditelanjangi dengan mudah tentang kehidupan pribadinya. Dikuliti dari ujung kepala sampai kaki. Dikorek-korek hingga ke tulang sumsum.

Pajang foto editan biar kliatan cakepan dikit, diomongin (pasti itu pake photoshop or camera360!). Beropini ekstrim, dibully. Tersinggung sedikit, marah-marah. Salah paham gara-gara beda pendapat, bisa ribut beneran. Keluarin unek-unek, kena semprot. Suka bohong, lama-lama ntar pasti ada aja yang curiga. Serba salah yah? Jadi mesti gimana dong?

Mulutmu harimaumu. Tulisanmu pisaumu. Saat bicara, saya selalu mengingat kalimat yang pertama. Saat menulis, saya selalu mengingat kalimat yang kedua. Apa-apa yang kita tulis bisa jadi dua sisi mata pisau, bisa bermanfaat atau malah akan menggorok leher sendiri.

Bila saya beberkan di sini, akan berderet contoh-contoh kasus yang menimpa teman-teman saya akibat socmed (tuh jadi nyalahin si socmed deh). Ada yang tertipu toko online abal-abal, tertipu teman kencan, selingkuh terus ketahuan pasangan, inbox minta sumbangan ke teman-teman untuk pengobatan ayahnya yang setelah ditelusuri ternyata bohong, ada yang pinjam-pinjam uang susah balikin lagi karena "habit"nya begitu dan sebagainya.

Tapi saya juga melihat ada sisi positifnya dalam bersocmed. Banyak teman saya yang terbantu usahanya karena rajin 'berkicau' di twitter atau update status di fb, bisa berbagi informasi misalnya reuni, berita pernikahan atau berita duka, ada juga yang digunakan sebagai media penggalangan dana untuk kemanusiaan, juga yang baru-baru ini ramai yaitu untuk kampanye pemilu.

Oh iya, socmed juga bisa membantu kepolisian untuk mengungkap kejahatan salah satunya dengan cara menelusuri 'celoteh' korban di dunia maya sebelum dibunuh penjahat, masih inget kan sama kasus Sisca Yofie?

Lucunya, yang sering terdengar santer dan berlarut-larut biasanya tentang kehidupan pribadi. Jika mengandung suatu aib, hap! Langsung jadi makanan empuk untuk disantap ramai-ramai pastinya. Mendadak semua orang bisa jadi wartawan infotainment. Bisik sana bisik sini. Cari info kesana kemari.

Kalau dulu biasa disebut bisik-bisik tetangga, sekarang namanya bisik-bisik japri, inbox atau DM. Semakin aibnya dirasa menarik untuk diperbincangkan, siap-siaplah habis-habisan dipretelin dalemannya sama orang-orang.

Tak ada asap kalau tak ada api. Tak ada aib yang terungkap kalau bukan karena perbuatan kita sendiri. Mungkin status/tulisannya kurang "terstruktur dan sistematis" atau terlalu "show up" sehingga mengundang siapapun yang suka KEPO. Yang biasa cuekpun lama-lama bisa jadi KEPO bila apinya semakin kencang menyulut dan terus berkobar.

Sudah dari sananya sifat manusia itu selalu dipenuhi rasa ingin tahu meski hanya untuk konsumsi pribadi. Ada yang dijadikan pelajaran hidup, ada juga yang sebatas hiburan pelepas penat. Buat saya pribadi, socmed bisa jadi keduanya, bahkan (bonusnya) bisa untuk "nyambung hidup" a.k.a nambah pundi-pundi (dari jualan produk).

Fenomena socmed ini sulit dibendung.
Arus informasi yang hadir di setiap detiknya jadi penawar bagi mereka yang haus informasi dan kebetulan sibuk atau mobile. Tidak sempat baca koran? Tak ada waktu untuk nonton televisi? Cek berita online saja. Bila ada berita yang tiba-tiba "BOOM!" trus heboh, biasanya sih berawal di socmed. Maklum socmed itu ibarat pesan berantai. Tapi seiring waktu orang-orang akan melupakan dan mengabaikan.

Ibu jari dan "teman-teman"nya hanyalah salah satu alat bantu untuk mengetik di media sosial yang kita miliki. Pandai-pandailah mengendalikan diri, karena bukan tidak mungkin gara-gara kita sulit mengendalikan, kita bisa tergelincir lalu hancurlah "reputasi" kita di dunia maya bahkan bisa jadi sampai ke dunia nyata.

Satu kata bisa jadi ribuan makna. Satu kalimat bisa jadi jutaan arti. Satu tanda baca bisa jadi segunung maksud. Semua kembali tergantung niat, bila niatnya bukan untuk kebaikan, yah harus siap dengan segala resikonya. Terkadang niat baik saja masih suka disalahartikan. Iya gak?

Dunia maya terutama media sosial bukanlah sekedar dunia ilusi yang bisa seenak udel kita untuk sulap sana sulap sini atau digunakan untuk berbuat apapun yang kita mau sesuka hati. Kita di situ tidak sendirian. Namanya juga SOSIAL, pasti melibatkan lebih dari satu orang.

Nah, bisakah kita menghitung berapa pasang mata yang 'watching' kita di dunia maya tanpa kita sadari? Bisakah kita menghitung siapa saja yang suka atau tidak suka atas keberadaan kita? Saya rasa cukup sulit.

Sebagai penutup, bersyukurlah bila masih ada teman-teman yang ikhlas mengingatkan bila kita sudah melampaui batas karena itu berarti kita masih disayangi dan diperhatikan oleh mereka. So, be careful and smart aja yah, my friends.

Salam hangat pagi dari dunia tanpa batas dan salam bijaksana ketika bersocmed ria.

.
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun