2.Prinsip Proporsionalitas: Menjaga agar serangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tidak melebihi batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan militer, guna mencegah kerusakan yang tidak perlu pada infrastruktur sipil dan menyebabkan banyak korban di kalangan warga sipil.
3.Prinsip Diskriminasi: Mewajibkan pihak yang terlibat dalam konflik untuk membedakan antara sasaran militer yang sah dan warga sipil atau objek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran serangan.
Konvensi Jenewa 1949 beserta protokol tambahan yang disepakati setelahnya adalah landasan utama bagi HHI. Namun, meskipun ada hukum internasional yang jelas, implementasi HHI sering kali menemui banyak tantangan. Salah satunya adalah ketidak mampuan negara-negara untuk menegakkan hukum ini secara efektif, seperti yang terlihat dalam beberapa konflik besar, termasuk perang di Suriah yang menyebabkan banyaknya korban sipil meski ada perlindungan yang seharusnya diberikan oleh HHI.
Responsibility to Protect (R2P):
   Tanggung Jawab untuk Bertindak R2P merupakan norma internasional yang berkembang pada awal abad ke-21 sebagai respons terhadap kegagalan komunitas internasional untuk mencegah kejahatan besar yang menimpa kelompok-kelompok rentan. Konsep ini pertama kali disepakati dalam KTT Dunia PBB tahun 2005 dan mengandung tiga pilar utama:
1.Tanggung Jawab Negara: Negara memiliki kewajiban utama untuk melindungi warga negaranya dari kejahatan yang paling serius seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2.Tanggung Jawab Komunitas Internasional: Komunitas internasional, melalui organisasi seperti PBB, harus membantu negara-negara yang tidak mampu atau tidak bersedia melaksanakan kewajiban ini.
3.Intervensi Kolektif: Jika suatu negara gagal melindungi rakyatnya, komunitas internasional berhak untuk bertindak, termasuk melalui intervensi militer dengan mandat dari Dewan Keamanan PBB, untuk melindungi populasi sipil dari kejahatan yang sedang berlangsung.
Penerapan R2P pertama kali terlihat secara signifikan dalam intervensi internasional di Libya pada 2011. Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi 1973 yang memungkinkan intervensi militer untuk melindungi warga sipil dari kekerasan rezim Muammar Gaddafi. Seperti yang dikatakan oleh Ban Ki-moon, mantan Sekjen PBB, "R2P bukanlah alat untuk menggulingkan pemerintahan, tetapi untuk mencegah kejahatan paling keji terhadap umat manusia."
Namun, penerapan R2P sering kali menjadi kontroversial dan diperdebatkan, terutama mengenai apakah intervensi internasional benar-benar dapat melindungi warga sipil atau malah memperburuk situasi.
Contoh Kasus Aktual: Rohingya di Myanmar dan Konflik Sudan