Mohon tunggu...
Dewi Nursafala
Dewi Nursafala Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Negeri Jakarta

Jangan takut berjalan lambat, takutlah jika hanya berdiri diam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perspektif Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf

25 Desember 2021   16:02 Diperbarui: 25 Desember 2021   16:15 5898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Biografi Singkat

Dahrendorf merupakan penerus dan pengembang dari Teori Konflik Karl Marx. Dilahirkan di Hamburg Jerman pada 01 Mei tahun 1929. Awalnya Dahrendorf mempelajari filsafat dan sastra klasik di Hamburg sedangkan ilmu sosiologi dipelajarinya di London Inggris. Karyanya yang paling popular adalah buku berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society yang diterbitkan pada tahun 1959. Sebagai orang dilahirkan pada masa perang dunia pertama sangat mempengaruhi pemikiran Dahrendorf dan terlibat dalam akitivitas politik di Jerman Barat hingga akhirnya pernah menjadi anggota parlemen Jerman Barat. Sedangkan karir akademis yang pernah diraihnya adalah menjadi direktur London School of Economics di Inggris.

Pemikiran Ralf Dahrendorf

Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang harus ada dan kehadirannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Konflik dapat terjadi karena di setiap masyarakat atau individu memiliki tujuan dan kepentingan masing-masing. Kepentingan merupakan elemen dasar dalam kehidupan sosial. Apabila kepentingan itu saling bertabrakan atau bergesekan baik yang manifes ataupun laten, maka sudah tentu itu akan menimbulkan terjadinya konflik. Teori konflik ini berkembang sebagai bentuk reaksi dari teori fungsional struktural. Salah satu kontribusi utama dari teori konflik ini adalah meletakan landasannya untuk teori-teori yang lebih menempatkan pada pemikiran Marx. Salah satu tokoh sosiologi modern yang membahas konfik tetapi disejajarkan dengan fungsionalis adalah Ralf Dahrendorf. Pemikirannya juga dipengaruhi oleh Marx. Dahrendorf menjelaskan teori kelas dan konflik kelas dalam masyarakat industri itu berangkat dari teori struktural fungsional.

Ralf Dahrendorf ini dikenal sebagai ahli dalam perspektif konflik, tetapi ia juga memiliki andil dalam mengembangkan perspektif integrasi misalnya dalam memahami masyarakat. Pokok-pokok pikiran Dahrendorf mengenai itu antara lain : setiap masyarakat secara relative bersifat langgeng. Setiap masyarakat merupakan struktur elemen yang terintegrasi dengan baik. Dan setiap elemen di dalam suatu masyarakat memiliki satu fungsi, yaitu menyumbang pada bertahannya sistem itu. Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada consensus nilai di antara pada anggotanya. [1]Asumsi yang mendasari teori sosial non-Marxian Dahrendorf antara lain : (1) manusia sebagai makhluk sosial mempunyai andil bagi terjadinya disitegrasi dan perubahan sosial. (2) masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat terintegrasi atas dasar dominasi (bourjuasi) menguasai proletar. Konflik kelas ini disebabkan tidak adanya pemisahan antara kepemilikan serta pengendalian sarana-sarana produksi. [2] 

 Seperti para fungsionalis, teori-teori konflik diorientasikan ke arah studi mengenai struktur dan institusi atau lembaga sosial. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Tetapi, menurut Dahrendorf dan teoritisi konflik lainnya, bahwa setiap saat masyarakat tunduk pada proses perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menenkankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban di dalam masyarakat. Kaum fungsionalis juga berpendapat atau melihat bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas dalam kata lain pertikaian dan konflik tidak dapat terhindarkan dalam system sosial dan masyarakat. Sedangkan, teorisi konflik melihat berbagai elemen atau setiap masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.

 Dahrendorf (1959,1968) adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsensus.[3] Dua hal ini tidak dapat dipisahkan karena Dahrendorf melihat masyarakat itu ganda, memiliki sisi konflik dan sekaligus sisi kerja sama atau konsensus. Sehingga segala sesuatunya dapat dianalisis dengan fungsionalisme struktural dan dapat pula dengan konflik. Dimana teori konfik ini harus menguji kepentingan dan penggunaan sedikitnya kekerasaan yang mengikat masyarakat. Sedangkan teori konsensus ini sendiri itu hanya menguji nilai integrasi di dalam masyarakat. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Jadi, hubungan otoritas dan konflik sosial menurut Dahrendorf itu berada pada posisi masyarakat yang mana otoritas itu tidak terletak di dalam diri individu melainkan di dalam posisi sehingga tidak bersifat statis. Jadi, seseorang atau individu bisa saja berkuasa dan memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu tetapi tidak memiliki otoritas di lingkungan lainnya. 

 Menurut Dahrendorf, Struktur sosial atau sistem sosial itu dikarakterisasi oleh hubungan kekuasaan atau power yang dimana peranan yang memiliki kekuasaan dapat melaksanakan perintah atau kontrol terhadap pihak lainnya atau pihak yang tidak memiliki kekuasaan. Menurutnya, Konflik hanya muncul di dalam interaksi sosial dalam sistem. Yang artinya setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung di dalam sistem, tidak mungkin terlibat dalam konflik. Berkaitan dengan struktur sosial yang dikarakteristik oleh kekuasaan maka Dahrendorf mendefinisikan kekuasaan itu sebagai kewenangan yang melekat secara legal terhadap posisi dari individu. Jadi, kewenangan itu bukan berasal dari kharakteristik subyektif individu melainkan dari posisi yang diduduki oleh individu tersebut di dalam sistem sosial.  

 

Otoritas

 

Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Menurutnya, gagasan bahwa berbagai posisi mempunyai kualitas otoritas yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Di dalam otoritas itu sudah ada kekuasaan, tetapi di dalam kekuasaan belum tentu ada otoritas. Kekuasaan adalah kemungkinan dalam suatu relasi sosial dimana seseorang melaksanakan kehendaknya tanpa memerlukan basis tertentu. Sedangkan, otoriter adalah kemungkinan untuk memerintah dalam sebuah kondisi spesifik tertentu yang dipatuhi oleh kelompok atau individu tertentu pula.

 Dalam analisis Dahrendorf, unsur kuncinya adalah otoritas yang melekat pada posisi. Bukan pada orangnya. Mungkin seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam satu kelompok, mungkin menempati posisi yang superordinat dalam kelompok lain. [4]Mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat. Selain itu, Otoritas juga melekat pada peran, maka dari itu ketika ada otoritas maka relasi ini tidak sejajar atau timpang. Ketika ada orang yang mempunyai otoritas berarti mempunyai posisi yang superordinat, yang tidak memiliki maka disebut sebagai subordinat. Dahrendorf menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari ejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Karena masyarakat terdiri dari berbagai posisi, seorang individu dapat menempati posisi otoritas di satu unit dan menempati posisi yang subordinat di unit lain.

 Dalam konsep otoritas disebutkan bahwa yang menjalankan otoritasdan yang tunduk pada otoritas tersebut mempunyai kepentingan yang bertentangan sehingga orang yang menyadari akan kepentingan kelasnya dan membentuk kelompok konflik kelas untuk mengubah struktur otoritas tersebut. Otoritas tidak terletak dalam diri seseorang melainkan pada posisi. Letak otoritas ini pada posisi menyebabkan sifat otoritas tentatif dan dapat berubah pada tempat dan waktu yang berbeda. Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.

 Otoritas yang secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Individu yang menduduki posisi otoritas atas diharapkan dapat mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada di sekitar individu tersebut, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri. Peran yang ada dalam individu ini pun melekat juga pada posisi. Individu yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol. Ditentukan di dalam masyarakat. Di dalam otoritas bersifat absah, artinya sanksi dapat dijatuhkan pada pihak-pihak yang menentang.

Kelompok, Konflik, dan Perubahan

 Dahrendorf menganalisis konflik dengan mengidentifikasi berbagai peranan dan kekuasaan dalam masyarakat. Dahrendorf mengatakan bahwa kekuasan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan, karena individu yang memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang bertentangan, yaitu antara penguasa dan dikuasai atau yang kita sebut tadi superordinasi dan subordinasi. Dimana pertentangan ini terjadi karena golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo yang dimilikinya, sedangkan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur.

 Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang  yang berkuasa) dan orang yang dikuasai  atau dengan kata lain atasan dan  bawahan. Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain : Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam  tipe  kelompok  kedua,  yakni  kelompok  kepentingan  dan  karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga  dalam  kelompok  akan  terdapat  dalam  dua  perkumpulan  yakni kelompok  yang  berkuasa  (atasan)  dan  kelompok  yang  dibawahi  (bawahan). Kedua kelompok  ini mempunyai  kepentingan berbeda. Bahkan, menurut  Dahrendorf mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama. Mereka  yang  berada  pada  kelompok  atas  (penguasa)  ingin  tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka yang berada di bawah atau yang sedang dikuasi merasa ada  perubahan.  Dahrendorf  mengakui pentingnya konflik  mengacu  dari  pemikiran  Lewis  Coser  dimana  hubungan  konflik  dan perubahan  ialah  konflik  berfungsi  untuk  menciptakan  perubahan  dan perkembangan. Jika konflik  itu intensif, maka perubahan akan  bersifat radikal, sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-tiba. Kelompok diatas merupakan konsep dasar untuk menerangkan konfik sosial.

 Kelompok-kelompok tersebut merupakan konsep dasar untuk menjelaskan konflik sosial. Kelompok dalam masyarakat tidak pernah berada dalam posisi ideal sehingga selalu ada factor yang mempengaruhi terjadinya konflik sosial. Berkaitan dengan ini Dahrendorf mengatakan, jika anggota kelompok direkrut secara acak dan ditentukan oleh peluang, kelompok kepentingan dan kelompok konflik tidak akan muncul. Jika rekrutmen anggota kelompok berdasarkan struktur akan sangat memungkinkan munculnya kelompok kepentingan hingga kelompok konflik. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, perubahan dalam struktur itu sebabkan oleh kelompok yang melakukan tindakan. Bila konflik itu hebat, perusahaan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo.

 Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Diamembangun teori konflik dengan separuh penolakan, separuh penerimaan, dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai menganalisa fenomena sosial. Teori kelas Marx dan teori konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri) dan tidak lagi sesuai dengan masyarakat industri post kapitalis. Dahrendorf  berpendapat bahwa pekerjaan masyarakat semakin heterogen karena adanya peningkatan keterampilan, peningkatan persamaan, dan arti hak-hak warga dalam politik, peningkatan kemakmuran materiil masyarakat, peningkatan upah kerja, dan berdirinya berbagai mekanisme institusional dalam membahas isu konflik. Pemikiran Dahrendorf ini lebih bersifat umum karena bisa diterapkan pada masyarakat kapitalis maupun sosialis yang berpusat pada struktur otoritas perusahaan industri dari pola kepemilikan.

 Menurut Dahrendorf teori konfliknya adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Karena dalam situasi konflik, golongan yang terlibat konflik itu melakukan perubahan dalam struktur sosial. Dahrendorf melihat masyarakat selalu dalam kondisi konflik dengan mengabaikan norma-norma dan nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Dahrendorf menjelaskan, apa yang terjadi sangat tergantung pada pilihan orang yang melakukan peran. Suatu peran yang mengandung kekuasaan membawa harapan yang bertentangan yang dikaitkan dengannya.

Sumber :

Bernard Raho. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2007

Johnson, Doyle P diterj. Robert M.Z.Lawang. Teori Sosiologi Klasik Modern. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama. 1990

George Ritzer. Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh. Depok: Prenadamedia Group.

2014.

Sari, Ira Permata. Konflik Perbatasan Pemerintah Daerah. Universitas Brawijaya.

Jurnal Ilmu Pemerintahan UB, 08 Januari 2014.

Tualeka, Nur Wahid. Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern. Universitas

Muhammadiyah Surabaya. Jurnal Al-Hikmah, Volume 3 No 01, Januari 2017.

Wirawan. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigm (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan

Perilaku Sosial) . Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun