Ayah dan Ibunya mulai menindak lanjuti, mereka terus dihantui oleh rasa penasaran yang terus menjalar dari hari ke harinya. Mereka mulai membuka pembicaraan dengan Rara si anak baru gede itu. Ayahnya akan bertanya adakah sesuatu yang menimpanya, ibunya khawatir anaknya di intimidasi di sekolahnya.
"Ra, coba kamu duduk dulu." Pinta ayah.
Rara yang sedang berjalan menuju kamarnya tiba-tiba terhenti dan berbalik dengan muka datar miliknya.
"Apa?" Tanya Rara seperti menolak terjadinya pembicaraan.
Ayah yang tidak suka dengan tanggapan Rara yang menurutnya tidak takzim, Ayahnya tak tahan menahan amarahnya dan BOM!
Ayah marah sejadi-jadinya bak petir suaranya dan mata yang berapi-api meluapkan kekesalannya pada Rara. Rara membalas teriakan ayahnya, terdengar suaranya tidak ingin kalah bicara dengan ayah, perkataan lanturannya ia lontarkan kepada ayahnya. Â Ibu yang sedang melaksanakan sembahyang tiba-tiba menghentikannya, dengan cepat ia berlari masih terpakai kain selubung berjahit ditubuhnya dan menuju suaminya. Melihat suami yang tangannya melayang ke udara ibu cepat-cepat menyergapnya dan meminta untuk berhenti. Rara meminta ayahnya untuk memukulnya, tampaknya Rara memang tidak ingin terlihat lemah.
"Ayo pukul saja anak pungutmu ini!" teriak Rara sembari meneteskan air yang meleleh dari matanya.
Rara tak sanggup lagi dengan suasana yang makin memanas, ia berlari berderai air hujan dimatanya menuju kamarnya. Isak tangis terdengar seperti tak kuasa lagi untuk menahannya. Ayah yang masih terkaget-kaget dengan perilaku Rara, dan tidak memahami mengapa tindakannya seperti itu.
***
Entah apa yang merasuki pada malam itu, yang jelas aku menyesal melakukan perilaku tersebut, padahal Ayah belum sempat mengatakan apa yang ingin dikatakannya padaku, ada apa gerangan? Jarang sekali Ayah meminta berbicara dengan serius terlebih suasana hatiku yang tidak stabil membuat semakin menjadi-jadi.
Esok harinya sebelum berangkat sekolah, aku memandangi Ayah yang sedang siap-siap pergi bekerja. Ayah terlihat masih marah padaku, aku mencoba untuk tenang dan pura-pura tak peduli dengannya. Sebelum aku berangkat sekolah Ibu memarahiku atas kejadian semalam, ucapannya memang benar, namun tersimpan kalimat yang membuatku sangat tak nyaman didengarnya. Aku menganggap mereka sudah tak bersedia lagi merawatku entahlah semakin buruk saja hariku. Rasa bersalah terus menyelimuti hari-hariku terkadang aku menyalahkan kedua orang tua kandungku mengapa mereka harus melahirkanku? Mengapa harus aku yang seperti ini? Mengapa tak ada yang mau mengerti tentangku dan perasaanku. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di kepalaku dan merusak hari-hari baikku.