Mulai dari bekerja, belajar, bersosialisasi, berbelanja, dan perbankan semuanya dilaksanakan secara  online. Tampaknya kehidupan banyak orang telah ter digitalisasi sejak Maret ketika pandemi COVID-19 mulai menyebar di seluruh dunia. Dan meskipun percepatan digitalisasi memiliki kelebihan. Tentunya ia bukan datang tanpa masalah, banyak dampak negatif yang dibawanya salah satunya yaitu aksi penindasan online atau cyberbullying.
Cyberbullying meningkat selama pandemi. Cyberbullying adalah penggunaan komunikasi online untuk menindas seseorang dengan mengirimkan sebuah komen dan konten yang bersifat melecehkan, mengancam, mempermalukan atau meneror seseorang. Hal Ini dapat mengakibatkan efek jangka panjang seperti melukai diri sendiri, depresi, dan kecemasan pada korban.Â
Dampak dari cyberbullying untuk para korban tidak berhenti sampai pada tahap depresi saja, melainkan sudah sampai pada tindakan yang lebih ekstrim yaitu bunuh diri. Departemen Kesehatan & Layanan Kemanusiaan AS mencatat bahwa beberapa anak yang mendapatkan bullying di sosial media telah melakukan pembalasan atau mungkin membalas dengan cara yang sangat kejam. Cyberbullying telah menjadi masalah serius selama beberapa waktu.
  Selama pandemi, orang-orang diisolasi. Sebagian besar sekolah mengajar di rumah dan memulai kelas online, masuk akal jika anak-anak akan lebih sering online daripada sebelumnya. Bagaimanapun pendidikan di masa pandemi sangat bergantung pada internet. Akibatnya, mereka jadi menggunakan media sosial seperti Tik-Tok, Facetime, dan Zoom lebih sering daripada sebelumnya.
  Menurut laporan dari L1ght, sebuah perusahaan yang mendeteksi dan memfilter konten yang kasar dan konten toxic, bahwa ujaran kebencian di antara anak-anak dan remaja telah meningkat sebesar 70% sejak siswa memulai kelas secara online. Korban cyberbullying sering mengalami perasaan marah, tidak berdaya, takut, dan sedih yang sejalan dengan efek negatif dari bullying dengan tambahan masalah anonimitas dalam cyberbullying, korban cenderung merasa tidak berdaya karena tidak sadar bagaimana cara menghentikan tindakan tersebut.
  Sebagian dari masalah muncul karena pekerjaan dan pendidikan yang dilakukan dari jarak jauh. Tetapi juga waktu luang online meningkat. Sebelumnya, seseorang melakukan aktivitas apa pun di luar rumah. Tetapi karena karantina banyak aktivitas hiburan dan waktu luang dilakukan melalui internet. Memiliki lebih banyak waktu luang digital, ditambah dengan stres yang meningkat, dapat membuat orang bermusuhan. L1ght menemukan peningkatan ketoxican 40% di platform game populer, contohnya Discord. Selain itu, karena ada lebih banyak orang yang online, berpotensi akan lebih banyak lagi penyerang dan calon korban.
  Anak-anak terkadang terlibat dalam cyberbullying karena mereka bosan, kesepian atau ingin perhatian. Dan, karena pandemi ini memperburuk masalah tersebut, hal ini juga menyebabkan peningkatan perilaku jahat di media sosial. Akibatnya, beberapa anak menindas orang lain di media sosial tidak hanya untuk menghilangkan stres, tetapi juga karena mereka bosan. Cyberbullying memenuhi kebutuhan para pelaku akan perhatian, meskipun itu negatif.
  Menurut Megan Meiner Foundation , bunuh diri adalah penyebab kematian paling umum ke-2 bagi orang berusia 15-24 tahun, karena bullying dan cyberbullying. Saat melihat statistik lain, 16% siswa yang di bully di media sosial mempertimbangkan untuk bunuh diri, 13% membuat rencana tentang cara bunuh diri, dan 8% pernah mencobanya.
  Meskipun pemerintah mungkin tahu tentang masalah yang berkembang ini , mereka tetap tidak melakukan pembatasan nyata pada teknologi, internet, atau media sosial. Meskipun masalah ini benar-benar tidak dapat dihindari, banyak orang tidak berusaha untuk menghentikan atau setidaknya mencegahnya. Pencegahan adalah kuncinya. Jadi, bagaimana penindasan dapat dicegah? Apa tindakan terbaiknya?
  Kita perlu mengambil tindakan dan berpikiran dewasa ketika melihat cyberbulying terjadi, jangan hanya mengabaikannya. Meskipun sebagian besar cyberbullying yang terjadi tidak terlihat, namun itu bukan alasan karena kita tahu hal tersebut memang nyata. Pemerintah perlu menjadikan bullying dan cyberbullying 100% ilegal, karena hal ini harus benar-benar diakhiri.
  Orang dewasa dapat membantu memberikan contoh bagaimana menanggapi dengan membicarakan masalah dan pengalaman mereka sendiri dengan anak-anak mereka. Dan ingat, anak-anak itu seperti spons. Mereka menyerap semua yang mereka lihat dan dengar. Jadi, orang tua dan orang dewasa, berhati-hatilah dengan apa yang Anda katakan dan bagaimana Anda mengatakannya.
  Karena COVID-19, banyak orang tua lebih sering berada di rumah bersama anak-anak mereka. Jadi, orang tua memiliki kesempatan untuk sangat memperhatikan apa yang anak-anak lakukan saat Online dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain di media sosial.
  Melakukan sosialisasi online juga sangat berguna bagi siswa. Linda Charmaraman , direktur Youth, Media, and Wellbeing Research Lab di Wellesley Centres For Women, meneliti bagaimana kaum muda menggunakan media sosial dan internet. Dia menemukan bahwa lebih dari setengahnya mengirim atau menerima dukungan sosial dan emosional secara online. Jadi sosialisasi online dapat dilakukan untuk pencegahan kasus cyberbullying agar tidak terus berkembang.
  Cyberbullying merupakan tindakan keji dan mengerikan yang harus diakhiri. Kita sebagai remaja perlu lebih berusaha untuk menghentikannya dan memberi tahu orang dewasa ketika kita melihat hal tersebut terjadi. Pemerintah perlu memberikan banyak batasan pada media sosial, dan lebih memperhatikan pengaruh cyberbullying terhadap orang-orang di seluruh negeri. Penindasan di dunia maya harus diakhiri untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H