Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Bukan Soal Kembalian yang Jumlahnya Tak Seberapa, melainkan Soal Iktikad Baik

11 Februari 2018   08:36 Diperbarui: 11 Februari 2018   20:27 2289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Transaksi jual beli haruslah berlandaskan kejujuran, karena berangkat dari keadaan yang sama-sama butuh. Penjual membutuhkan uang, pembeli membutuhkan suatu barang, maka sudah seharusnya terjadi hubungan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Perkara berapa banyak keuntungan yang diambil oleh penjual itu sah-sah saja, tinggal pembelinya yang memutuskan sendiri tetap akan membeli atau tidak. Tetapi kalau soal ketidakjujuran terhadap hak milik pembeli itu sangat tidak bisa dibenarkan.

Mungkin masih bisa diterima jika kasir mengatakan, "Mohon maaf Ibu, apakah seratus rupiahnya boleh disumbangkan?" sambil kepala dimiringkan ke kanan, walaupun pembeli tidak tahu ke mana sebagian uang kembalian tersebut akan disumbangkan.

Tetapi yang seperti ini menunjukkan masih ada iktikad baik dari penjual yang menyampaikan tentang suatu hal terkait sebagian uang milik pembeli yang "tidak dapat ia berikan". Atau tentu masih sangat bisa diterima jika kasir mengatakan, "Mohon maaf Ibu kembaliannya kurang seratus rupiah..." sambil kepala miring ke kiri, sebelum pembeli menanyakan ke mana kekurangan kembaliannya. Kalau sudah begini tidak mungkin pembeli tidak mengiyakannya, dan tentu akan ikhlas melepas sebagian uang kembaliannya. Poin ini sangat penting yaitu, ikhlas.

Bisnis itu bukan hanya masalah untung rugi saja, tetapi lebih luas lagi yaitu tentang bagaimana membuat hubungan yang saling menguntungkan antar dua pihak yang tidak saling kenal, lalu bagaimana membuat para pembeli kembali lagi membeli untuk ke sekian kalinya karena merasa sangat puas dengan produk maupun pelayanan yang diberikan.

Bahkan untuk umat muslim urusan berdagang tanggung jawabnya lebih luas lagi yaitu mencakup urusan surga dan neraka. Bagaimana jadinya kalau cara-cara mengambil keuntungan seperti ini terus dilakukan oleh penjual? Halalkah??? Berapa banyak keuntungan dari sisa-sisa uang kembalian yang didapatkan dengan cara seperti ini? Seratus rupiah dikali berapa ratus orang dalam satu hari? Ah... sungguh cara berdagang yang tidak patut ditiru.

Selain itu, sudah sepatutnya pedagang dalam kelas besar misalnya mini market atau pusat perbelanjaan menyediakan uang kembalian sebagai tanggung jawab atas nominal harga yang telah dicantumkan. Jika memasang harga Rp 8.900 sudah seharusnya menyediakan banyak uang logam seratus rupiah atau pecahannya untuk mengembalikan kepada konsumen, sehingga tidak ada alasan lagi tidak tersedia koin seratus rupiah. Jangan semata-mata ingin menunjukkan produk yang dijualnya tampak murah namun justru ini adalah jebakan untuk konsumen dengan tidak mendapatkan kembalian sepenuhnya.

Sebaliknya, di beberapa tempat justru ditemukan restoran yang menetapkan sistem pembulatan ke bawah sehingga resto atau pusat perbelanjaan tersebut yang ikhlas "menanggung kerugian", namun walaupun "rugi" tetap saja akan untung karena tertutup dari hasil penjualan atau transaksi lainnya. Dalam konteks yang sama pembeli juga tentu akan ikhlas "menanggung kerugian" jika disampaikan di awal. Kembali lagi ini soal transparansi atau keterbukaan.

Gaess... Sungguh ini bukan masalah nilai uang seratus rupiah, tetapi lebih dari itu, ini tentang etika, tentang tidak adanya iktikad baik pihak penjual. Mirip kejadiannya dengan kembalian uang yang digantikan dengan beberapa butir permen, jika dibalik apakah penjual bisa terima jika ada seseorang yang ingin membeli produknya menggunakan permen? Tentu saja tidak. Lalu mengapa penjual tega mengganti kembalian yang seharusnya berupa mata uang menjadi permen tanpa persetujuan pembeli? Lalu jika ditanyakan lebih jauh lagi, apakah permen merupakan alat tukar jual beli??? Jelas bukan!

Buatlah hubungan jual beli yang halal, yang kedua belah pihak menjadi puas atas transaksinya, tidak meninggalkan kekesalan ataupun umpatan yang menyebalkan. Ini lebih dari sekadar nilai mata uang, tapi tentang iktikad baik dan kejujuran.

(dnu, ditulis sambil nonton live report the royal fairytale wedding of angel and vicky hahaha...., 10 Februari 2018, 21.55 WIB).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun