Aku hanya ingin melangkah sendiri, menyatu dengan alam, memandangi hijau dedaunan dan menikmati hembusan angin.
Jika sesekali hujan turun, sungguh aku ingin menjadi bagian darinya. Yang tulus membasahi bumi walau kadang kehadirannya menuai caci.
Dan bersama air-air masam itu aku telah bisa menghempaskan seluruh kegelisahan, dari titik yang paling tinggi lalu menghantam tajam ke bumi.
Akupun percaya, seketika itu aku akan terlahir menjadi manusia yang baru. Kembali dari tanah. Karena air hujan telah menembus dinding tanah basah.
Melangkah dengan pasti, bebas pergi kemanapun yang diingini.
Memeluk alam kala siang menjelang.
Berpayung lembayung saat petang datang.
Dan bermandi taburan bintang ketika gulita malam mulai merata.
Jika ingin menangis tak harus ku tahan.
Jika ingin teriak tak perlu ku tekan.
Bahkan jika ingin ku berontak tak ada lagi hati kecil yang harus ku pertimbangkan.
Karena disini hanya ada aku dan alam.
Memeluk semesta.
Bermanja dengan suasana.
Dan disana adalah hati yang telah benar-benar seadanya, seutuhnya.
Saat fajar datang, butiran embun tersenyum bahagia.
Dan lagi-lagi, aku ingin menjadi bagian dari bulirnya.
Menangispun tak perlu ku menunggu turun hujan yang akan mampu membasahi wajah, lalu memudarkan jutaan tetes air mata.
Karena tak ada siapa-siapa lagi yang akan menyapa, mengapa aku tak lagi tertawa seperti biasanya.
And all of my tears will be lost in the rain…
(dnu, ditulis sambil menikmati hujan diawal Februari – bersiap untuk ditembak kalau ini adalah curahan hati – padahal bukan – cuma lagi belajar nulis puisi, 1 Februari 2015, 16.10)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H