Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bila Ini Ramadhan Terakhirku

27 Juli 2014   13:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bulan suci ini kutemukan dia
Di bulan suci ini kunantikan dia
Kunantikan senyum manisnya
Kunantikan sapaan lembutnya
Dia, cambukan semangat yang entah datang dari mana, namun begitu kuat mengajakku mengisi Ramadhan mu dengan indah.
Dia, untaian pesonan keikhlasan yang selalu bersemayam di hati. Tanpa pernah pergi, dan membuat ku selalu menjadi ikhlas dalam hati.
Dia, senyum manis semua umat muslim setiap kali bertemu. Seakan jalinan ukhuwah ini tidak pernah ternoda seperti yang sesungguhnya nyata.
Dia, sapaan lembut kumandang adzan setiap kali waktu sholat fardlu, yang berhasil membuat tidak hanya aku namun juga mereka senantiasa berlari untuk bersama-sama mendirikan tiang agamaku.
Bila ini Ramadhan terakhirku,
Mungkin aku boleh menggunungkan penyesalan karena masih banyak keindahan sunah Ramadhan yang telah aku tinggalkan.
Yang sengaja tidak aku perdulikan
Yang sengaja aku mudahkan
Yang sengaja aku biarkan
Dengan bayaran sebuah pengharapan agar kembali dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan.
Bila ini ramadhan terakhirku,
Jelas sudah tidak ada lagi yang bisa aku sesalkan, karena fajar Fitri akan segera dijelang.
Anggap saja ini adalah Ramadhan terakhir kita,
Saat sanak saudara bergembira karena Ramadhan tahun depan akan segera dijelang,
Sementara kita sedang dipapah jasad lahirnya untuk segera dikebumikan, karena Allah SWT sudah meminta kita untuk pulang.
Tubuh kaku, dingin dan pucat.
Dibungkus kain putih suci.
Diiringi kalimat tahlil, derai air mata dan kesedihan yang tak terkira.
Kalimat tahlil dari seluruh handai taulan, semata-mata sebagai upaya agar jalan kita dipermudah.
Tangisan seluruh keluarga, tidak dapat kembali menghidupkan, agar Ramadhan tahun depan dapat kembali kita rasakan.
Didalam ruang sempit nan gelap.
Tidak ada lagi keluarga, atau siapapun mereka yang di dunia selalu bersama kita.
Tujuh langkah mereka pergi dari peristirahatan terakhir kita,
Disinilah keagunan nan syahdu sebuah Ramadhan hanya dapat kita sesalkan.
Saat yang lain bersuka cita menyambut Ramadhan tahun depan,
Sementara kita tengah berdebar menanti masa penyiksaan atas apa yang telah kita lakukan di dunia.
Saat cahaya Ramadhan tahun depan mulai tampak,
Sementara kita sedang menjalani masa hisab atas semua perbuatan kita di dunia.
Saat gema Ramadhan tahun depan sedang digaungkan oleh jutaan umat,
Sementara kita sedang mencari pertolongan,
Sedang menangis untuk ribuan penyesalan,
Sedang memohon untuk mengulang,
yang padahal semua itu tidak dapat dikembalikan.
Mungkin saja ini adalah Ramadhan terakhir kita, maka menangislah sejadi-jadinya seraya mengisi berbagai amalan ibadah yang kemarin kita lupa.
Ramadhan yang indah, Ramadhan yang penuh berkah.
Selalu ada waktu untuk berubah, menjadi peribadi yang lebih baik dan sholeh/sholehah.
Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Untuk itu jalanilah setiap hari-hari yang kita lalui sebagai hadiah yang paling indah.
Semoga keberkahan melimpah, dan kita diperkenankan kembali merasakan indahnya Ramadhan tahun depan.
Amin.
(dnu, ditulis sambil tiduran, sambil nahan sakit kepala, 27 Juli 2014, 06.05)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun