Politik lokal di Indonesia selalu berubah sepanjang tahun. Pada era sebelum kemerdekaan, politik lokal di Nusantara menunjukan potret buram karena penguasa memperoleh kekuasaan dalam kerangka hukum adat yang totaliter. Akibatnya mayoritas masyarakat hanya diakui sebagai hamba (bukan warga) yang tidak pernah menjadi objek dari pembangunan semasa itu. Masyarakat dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak berpihak kepada mereka. Para penguasa selalu menarik pajak dan upeti melalui aparatur represif yang menjadikan kondisi ekonomi masyarakat semakin terpuruk. Perlakuan penguasa yang tidak manusiawi itu kemudian mencetuskan perlawanan rakyat. Kehadiran dan kiprah orang kuat lokal telah menegaskan atas melembaganya local strongmen dan polisentrisme di masa lalu.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ketika kekuatan masyarakat mulai masuk ke lembaga-lembaga formal yang merupakan legasi positif dari kolonial Belanda untuk menyediakan kesempatan bagi masyarakat awam terlibat dalam konteks implementasi politik etis. Para elit tradisional harus bersaing dengan masyarakat umum yang sama-sama berusaha mendapatkan posisi dalam lembaga negara. Ketegangan politik yang bernuansa etmisitaspun meningkat semasa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin khususnya diluar Jawa dimana militer ikut campur tangan.
Indonesia di bawah kekuasaan rezim otokratik (1966-1998) selama 30 tahun lebih, sistem politik ditingkat pusat maupun daerah sangat terkontrol oleh pusat kuasa di Jakarta. Badan eksekutif dan legislatif di kabupaten, kota, dan provinsi terkunci dalam hegemoni Jakarta ini disebabkan posisi pejabat di daerah pada dasarnya ditentukan oleh Depdagri yang berkepentingan mengendalikan kekuasaan elit lokal. Hal tersebut terlihat dalam upaya yang dilakukan elit politik pusat pada saat pemilihan gubernur Riau pada tahun 1985. Kontrol tidak hanya dilakukan oleh Pusat pada lembaga sipil dipemerintahan daerah saja, tetapi juga dilaksanakan pada lembaga kemiliteran. Elit politik pusat telah menyiapkan hadiah kepada perwira aktif maupun purnawirawan yang setia dan mau tunduk terhadap kehendak pusat dengan memberikan kepada mereka kursi dilegislatif dan eksekutif.
Ledakan politik yang didenatori oleh gerakan mahasiswa berhasil menghancurkan kuasa pusat di Jakarta. Ambruknya Orde Baru sekaligus menandai polisentrime baru yang menolak kuasa pusat. Perubahan haluan dari politik lama yang tersentralisasi dan terkontrol kepada politik baru yang terdesentralisasi dan egaliter membawa angi segar bagi politik lokal di Indonesia.
Melalui proses demokratisasi dan desentralisasi, para lokal strongmen dan bos ekonomi semakin memperoleh kesempatan untuk menjabat kursi sentral di lembaga pemerintah daerah dibandingkan masa sebelumnya. Dalam konteks lain politik lokal juga mesti dipahami sebagai arena persaingan antara birokrat dari bangsawan, birokrat dari masyarakat awam, dan para local strongmen.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa politik lokal di Indonesia mengalami dinamika polotik yang sering kali bergejolak. Keadaaan seperti ini akibat dari pengendalian ketat oleh pemerintah pusat, pembatasan luar biasa atas kebebasan berpendapat di bidang politik dan ekonomi, eksploitasi dan penggelapan sumberdaya. Banyak di antara peningkatan konflik, persaingan, maupun manfaat jangka pendek yang terjadi terkait dengan terbukanya peluang seluas-luasnya dalam kondisi kelembagaan yang belum stabil.
Terkait dengan hal tersebut ini akan menimbulkan pertarungan untuk memperoleh akses antara berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik dengan pemerintah daerah, dan antara pusat dengan daerah. Menjadi menarik karena Undang-Undang telah menyediakan lahan pertarungan tersendiri pasca reformasi. Namun aktor lokal yang tidak memiliki patron, modal politik, ekonomi, dan sosial sulit sekali menjadi aktor nasional. Salah satu cara mudah yaitu melalui otonomi daerah untuk membaca politik lokal dimana didalamnya terdapat aktor lokal yang bersaing. Dua hal yang menonjol dari kedinamisan politik lokal di Indonesia yakni, pertama politik lokal di selalu dikendalikan oleh pusat karena SDM yang menggiurkan, serta munculnya local strongmen sebagai akibat yang disebutkan hal pertama.
Tahapan berikutnya pemerintahan di Indonesia akan merupakan sebuah penyesuaian terhadap masa transisi  dan merupakan masa pembangunan kelembagaan yang tepat untuk situasi dan kondisi saat ini. Dimana tidak akan ada pembangunan jika tidak ada korupsi begitu pula sebaliknya. Sebuah  alasan untuk meyakini bahwa pembelajaran dan penyesuaian seperti itu akan terus berlanjut. Bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat memang harus bekerjasama untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dan meminimalkan kerusakan lingkungan dengan melahirkan pemimpin yang aspiratif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H