Mohon tunggu...
Dewina Postalia Mayasari
Dewina Postalia Mayasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Sebelas Maret

Terkait dengan hobi sebenarnya saya memiliki hobi yang cukup mendasar seperti orang pada umumnya yaitu, saya suka menulis dan membaca artikel jurnal. Saat ini saya sering menekuni bacaan dalam bidang gender. Banyak orang bilang bahwa saya adalah orang yang visioner dan realistis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toxic Masculinity sebagai Penyakit dalam Dunia Gender

23 Mei 2022   20:35 Diperbarui: 23 Mei 2022   20:44 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Implikasi nyata dari adanya toxic masculinity tersebut dapat dilihat berdasarkan pengalaman sehari-hari. Toxic Masculinity ini menempatkan kesehatan mental pria dalam resiko yang cukup tinggi. 

Laki-laki lebih jarang untuk menangis atau meluapkan rasa emosionalnya dibandingkan dengan perempuan. Secara biologis memang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan untuk lebih sering menangis  karena adanya pengaruh dari hormon prolaktin. 

Di luar pengaruh biologis, hegemoni dari maskulinitas juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk kebiasaan tersebut. Demikian terjadi karena laki-laki takut jika dianggap sebagai orang yang lemah dan cengeng. 

Berdasarkan teori yang disampaikan oleh Sigmund Freud (1894) secara tidak langsung perilaku yang dilakukan laki-laki dalam kondisi tersebut termasuk dalam kategori mekanisme mempertahankan ego (ego defense mechanisms)  dengan pura-pura kuat dan bahagia. Menahan perasaan untuk tidak menangis dapat memberikan pengaruh yang buruk pada diri individu tersebut.  

Hal tersebut tentunya sangat berpengaruh  pada psikologis dan dapat menyebabkan adanya gangguan mental yang berbahaya seperti depresi. 

Harkavy Friedman menyatakan  bahwa laki-laki cenderung jarang untuk melakukan pemeriksaan kesehatan mentalnya dibandingkan dengan perempuan karena mereka tidak pernah sadar bahwa mental mereka sedang terganggu dan diikuti pula oleh adanya rasa malu dan kurangnya perhatian dari lingkungan sekitar.

Berdasarkan kasus tersebut kebanyakan laki-laki akan mencari jalan keluar yang mengarah ke hal negatif seperti mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. 

Mengkonsumsi alkohol dan narkoba pastinya hanya sebagai penyembuh sementara saja yang justru dapat menimbulkan ketergantungan. Bahkan banyak pula dari mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena terlalu banyaknya beban yang dipendam terlalu lama. 

 Atas dasar konstelasi sifat-sifat pria yang sudah terbentuk itu tidak hanya menimbulkan dampak yang membahayakan bagi kehidupan pria saja, akan tetapi juga menimbulkan kerugian pada gender lainnya. 

Banyak dari kaum laki-laki tersebut yang menyalahgunakan label maskulin yang ada dalam dirinya dan digunakan untuk melakukan hal yang merugikan seperti adanya kekerasan baik fisik maupun seksual, dominasi atau merasa superior dibandingkan dengan gender lain, devaluasi wanita, dan homofobia.

Dapat dikatakan bahwa Toxic Masculinity itulah yang sampai sekarang menjadi penyakit sosial yang susah disembuhkan dan sudah seharusnya membutuhkan upaya rekonstruksi dari masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun