Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlunya Harmoni dalam Berelasi Antar Umat Beragama

1 Juni 2024   19:39 Diperbarui: 1 Juni 2024   19:53 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara kita yang majemuk ini, sebenarnya dibangun dengan system moderasi beragama yang kuat. Moderasi beragama yang kuat ini tidak hanya ada dan dibangun bersama satu atau lima tahun saja. Namun sudah ada dan mengakar sejak zaman Majapahit, ketika Indonesia dikenal sebagai Nusantara.

Saat itu Nusantara penuh dengan aliran kepercayaan dengan bermacam bentuknya baik dinamisme maupun animism. Kemudian kepercayaan baru datang ke Nusantara. Mereka masuk tanpa ada kekerasan dan mulai dipeluk oleh warga Nusantara secara sukarela. Kondisi itu tidak mempengaruhi kehidupan mereka bermasyarakat. Mereka tetap menjalankan kehidupan dengan baik, tidak ada yang diganggu dan yang menganggu.

Sampai pada perjuangan kita mencapai kemerdekaan ini berdasarkan saling pengertian antar umat dan penghargaan sebagai warga negara. Soekarno Hatta menghargai warga tidak saja yang bertempat tinggal di Jawa saja tapi juga di Sumatera, Kalimantan bahkan Papua. Para the founding fathers sadar bahwa banyak sekali warga yang ada di pelosok Indonesia dan sesedikit apapun  itu mereka harus menghargainya. Mereka memahami itu karena pernah "dibuang" oleh Belanda,  ke Bengkulu, Digul dan di beberapa tempat lainnya.

Penghargaan terhadap harmoni berbangsa kemudian dilanjutkan dengan berlandaskan falsafah Pancasila yang menjadi dasar dari semua tingkah dan gerak dari warga Indonesia. Pancasila semacam kompas bagi kita untuk menjalankan kehidupan berbangsa berdasarkan norma atau nilai yang berlaku di Indonesia. Saat itu kehidupan atau berelasi antar warga tidak bermasalah.

Kepemimpinan Soeharto memang bersifat represif dan ini agak berpengaruh terhadap hubungan negara dan warganya. Banyak aturan-aturan yang membuat tidak lelauasa, sampai ormas bahkan partai Islam pun tidak dibiarkan besar. Begitu juga gerakan mahasiswa juga sangat dibatasi bahkan banyak mahasiswa yang dipenjara begitu juga pers.  Ini membuat banyak orang merasa tidak nyaman. Bahkan seorang Gus Dur pun merasakan sikap repsresif ini.

Dengan berjalannya waktu ada kelompok-kelompok pro ideologi transnasional yang bergerak dalam senyap mengkritisi suasana represif ini. Mereka menafikan Pancasila sebagai falsafah negara dan menawarkan jalan atau solusi yaitu syariat Islam. Kondisi politik di luar negeri memang sangat mempengaruhi kelompok ini yang nantinya kita sebut sebagai kelompok garis keras atau radikal. Sifat gerakan mereka yang bergerak dibawah tanah dan fokus pada sektor pendidikan akhirnya berhasil mempengaruhi kaum intelektual khususnya para generasi muda.

Karena itu setelah era reformasi, dan keterbukaan menjadi hal yang wajar di negara ini, mereka muncul sebagai kekuatan baru yang layak diwaspadai. Sikap dan safat mereka yang membuat para pengikutnya intoleran sangat bertentangan dengan kondisi indonesia yang sebenarnya. Kebanyakan mereka radikal bahkan ada beberapa diantaranya merambah menjadi teroris.

Padahal banyak ormas Islam yang bersifat moderat dalam berelasi dengan umat lain. Muhammadiyah misalnya , banyak sekali punya sekolah dan rumah sakit dan mereka tidak berkeberatan jika apara ahli mereka beragama berbeda dengan mereka. Begitu juga NU dan beberapa ormas yang tetap pada sifat-sifat moderat.

Karena itu, kita harus berupaya dengan lebih keras untuk mengembalikan relasi antar umat beragama menjadi lebih harmoni. Kehidupan berbangsa yang harmoni membuat kehidupan jauh lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun