Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Politik dan Semangat Ukhuwah

18 September 2021   09:34 Diperbarui: 18 September 2021   09:43 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kita masih berada di tahun 2021; satu diantara dua tahun yang sangat sulit karena pandemi Covid-19. Banyak diantara kita yang harus jatuh bangun dalam kehidupan agar selalu sehat dan membesarkan anak-anak mereka.

Tahun 2021 artinya tiga tahun lagi kita menhadapi Pemilu 2024 dan beberapa pemilu daerah yang digelar tahun itu. Memang masih jauh dan keterlaluan jika dipikirkan mulai sekarang (karena bangsa kita masih harus berjuang melawan Covid-19), namun kita bisa menemukan banyak pihak yang sudah memperdengarkan riak pesta demokrasi di berbagai platmofm media; dia spanduk, di baliho maupun media sosial.

Kita mungkin ingat kisah dan cerita Pemilu tahun 2014 dan 2019, juga beberapa Pilkada seperti Pilkada Jakarta tahun 2017 yang begitu riuh dan menjadi catatan kita bersama sepanjang demokrasi kita. Karena saat Pemilu 2014 dan 2019 serta Pilkada Jakarta 2017 adalah pesta demokrasi yang sangat membuat bangsa kita terbelah. Keterbelahan itu masih terasa sampai sekarang dimana di media sosial masih ada sebutan kadrun dan kampret yang menjadi sebutan bagi pemilih dua kandidat yang menjadi kontestan Pemilu dan Pilkada.

Muncul peranyaan; bukannya keterbelahan (keterpecahan ) masyarakat sangat biasa terjadi di dunia ini? Jawabannya : memang ya. Beberapa bangsa di dunia menjadi terbelah bahkan terpecah karena persoalan etnis maupun politik. Kita melihat ada Yugoslavia yang pecah belah; ada Soviet yang terpecah belah juga; keduanya karena etnis. Namun yang layakkita cernati pada masa-masa ini adalah keterbelahan warga Amerika Serikat karena massifnya kampaye presiden yang rasis dan cenderung memecah belah. Komikus Mirco Tomicek menggambarkan Pemilu AS 2020 lalu sebai resleting yang macet; resleting yang berusaha menyatukan keterbehan bangsa yang pro parta A dan pro partai B. Tomicek menggambarkan bahwa Pemili AS lalu itu membuat AS terbelah menjadi dua; negara yang terpolarisasi dan politik yang memecah belah keluarga. Dia juga menggambarkan kondisi itu menjauhkan negara dan bangsa itu dari kedamaian.

Bagaimana dengan bangsa Indonesia ?

Ya, seperti cerita di atas kita memang seakan mudah terpecah belah karena politik; keluarga yang berbeda pilihan kandidat, rekan kerja atau sahabat yang berbeda kecenderungan partai, atau kita sangat terpengaruh dengan narasi-narasi di media sosial yang sangat memecah kita.

Tapi kita punya Pancasila dan semangat Ukhuwah di agama kita, Islam. Ukhuwah yang diajarkan agama tidak saja ukhuwah Islamiyah, tapi juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basariah, yaitu persaudaraan intra pemeluk agama Islam, persaudaraan sebagai sesama warga negara (bangsa Indonesia) dan persaudaraan sebagai umat dunia.

Keyakinan atas tiga ukhuwah itu tidak akan membuat kita terpecah belah hanya karena perbedaan politik. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun