Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indahnya Harmoni Dalam Perbedaan

1 November 2019   23:23 Diperbarui: 1 November 2019   23:28 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa belas tahun lalu, seorang akademisi Jerman pernah mengemukakan kekagumannya terhadap Indonesia. Bahwa begitu banyak perbedaan di negara ini namun masyarakatnya bisa hidup dengan harmoni. Satu pihak seakan bisa paham pihak lainnya sehingga orang Indonesia bisa hidup dengan nyaman dan saling mengerti.

Dia tidak membayangkan jika keberagaman itu ada di Eropa atau negaranya. Mungkin kondisinya sangat buruk mengingat sifat individualistis yang ada pada mereka. Tidak mungkin satu pihak mau saling mengalah dan mengedepankan musyarawarah untuk mencapai mufakat seperti halnya Indonesia.

Saking kagum dan respeknya dengan Indonesia, dia menikah dengan orang Indonesia dan dibawanya ke Jerman setelah melakukan penelitian di Yogya dan Surabaya.

Tahun lalu dia berkesempatan untuk ke Indonesia lagi dan berkeliling ke beberapa kota dan mendapati bahwa Indonesia tidak seharmoni dahulu. Dia melihat sekelompok orang merasa eksklusif dibanding yang lain sehingga tidak mau berinteraksi maupun menyapa yang lain. Bahkan dia menemukan saat kontestasi politik berlangsung, seorang bahkan tega memutus tali persaudaraan dengan saudara lainya hanya karena pilihan politik yang berbeda. Malah ada pasangan suami istri yang berpisah hanya gegara beda pilihan politik juga.

Yang membuat situasi lebih runyam adalah waktu kampanye yang sangat panjang yaitu mencapai 1 tahun. Dengan waktu selama itu, narasi-narasi yang keluar dari dua belah pihak sangat berlimpah dan nyaris seperti sampah.  Sehingga di akhir masa kampanye, situasinya Indoensia seperti terbelah.

Narasi-narasi yang keluar tidak saja bersifat politis, tapi juga menyangkut isu-isu yang menyiratkan intoleransi misalnya kesukuan, agama, asal pulau dan kebiasaan etnis, menjadi olok-olokan yang seakan air bah sepanjang hari. Diucapkan baik oleh orang dewasa sampai anak kecil yang belum punya hak pilih.

Bagi bangsa Indonesia sendiri situasi ini tentu menyedihkan karena kondisi Indonesia seperti itu  tidak menjadi kondisi yang diinginkan oleh siapapun. Apalagi orang / warga lain seperti akademisi Jerman beristrikan Indoensia itu.

"Intoleransi muncul dan makin parah, tidak saja dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Ini yang membuat prihatin," katanya. Menurutnya, sayang sekali bangsa sekelas Indonesia yang selama ini sudah bisa menunjukkan  toleransi di tengah keberagaman harus gagal hanya oleh pemantik politik. Menurutnya, seharusnya rakayat Indonesia bisa mengendalikan diri agar situasi tidak bertambah buruk.

Dari cerita ini kita bisa simpulkan bahwa mungkin banyak orang diluar Indonesia yang mengikuti perkembangan situasi Indonesia dan menilai bahwa Indonesia makin tidak kondusif karena isu intoleransi. Kita tahu bahwa ketidak kondusifan itu berpengaruh pada banyak hal semisal investasi dan suasana kebatinan rakyat di masa depan.

Karena itu mungkin kita harus lebih keras berupaya untuk bisa mewujudkan suasana harmoni dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena hidup harmoni dalam perbedaan sejatinya adalah sesuatu yang sangat indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun