Akhir-akhir ini kita berhadapan dengan terorisme dalam alam nyata yaitu penusukan kepada Menkopolkam Wiranto yang dilakukan oleh Abu Rara. Banyak orang menilai bahwa kejadian tersebut adalah aksi terorisme yang dilakukan oleh pihak yang punya afilasi tertentu terhadap jaringan terorisme. Atau bisa juga pihak yang punya inisiatif sendiri untuk melakukan aksi radikal karena alasan tertentu.
Jika melihat rekaman penusukan itu memang sesuatu yang sadis dan diluar prakiraan para petugas. Yang layak diperhatikan bahwa ancaman itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak mengenal usia dan strata sosial. Bahkan mereka seperti rakyat kebanyakan yang bisa berprofesi apa saja semisal pedagang sayur, pedagang barang antic dan lain sebagainya. Bahkan orang yang punya ekonomi dan pekerjaan yang baik juga bisa menjadi teroris, seperti seorang ASN dari Batam atau keluarga di Surabaya yang mengebom tiga gereja itu.
Atas kejadian terorisme biasanya orang yang aktif di ranah sosial media akan menyatakan simpati atau dukungannya pada pembasmian radikalisme sampai akarnya. Mereka mengatakan jika perlu ada semacam brainswashing bagi mereka yang sudah terpapar radikalisme kelas berat.
Radikalisme memang punya tingkatan-tingkatan. Ada yang ringan yaitu masih terpapar ringan (intoleran) ada yang skala berat dimana semua orang dianggap musuh; bisa keluarga, teman sejawat dan orang di lingkungannya. Mereka tidak mau berteur sapa dengan orang yang berbeda keyakinan (agama), mereka tak mau dekat dengan keluarganya lagi, sampai pada mereka tak mau berhubungan dengan masyarakat yang meski satu agama tetapi beda cara.
Dukungan melawan terorisme di media sosial sudah selayaknya kita dukung, apapun alasannya. Bisa saja yang mendukung melawan terorisme itu adalah orang berpengaruh soal terorisme, atau kita sebut sebagai influencer, atau bisa saja pendukung yang tak kita kenal satu persatu yang kita sebut buzzer. Jadi buzzer sebetulnya netrel. Hanya saja karena dipengaruhi oleh mayoritas yang positif maka buzzer bisa positif sedangkan dipengaruhi negative maka buzzer bisa bersifat negative.
Mungkin kejadian penusukan pak Wiranto oleh simpatisan teroris atau teroris itu sendiri bisa menghadirkan kesadaran bagi kita yang sering bermain sosial media untuk selalu melihat persoalan lebih jernih dan mendukung hal --hal positif. Tak apa menjadi buzzer, asal jadilah buzzer positif  , misanya buzzer yang anti terhadap terorisme dan radikalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H