Duka masih mau belum beranjak dari langit Indonesia. Kekerasan masih melingkupi negeri ini dalam seminggu. Jika beberapa hari lalu kita dikejutkan oleh kekerasan di rutan Mako Brimob Depok, Jawa Barat. Maka hari minggu pagi ini kita dikejutkan oleh tiga ledakan bom di gereja wilayah Surabaya, Jawa Timur.
Tiga gereja itu adalah Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di jalan Ngagel, Gubeng, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di jalan Arjuno. Seperti hari minggu biasanya, tiga gereja itu sedang melakukan ibadah. Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela sedang rehat dari misa pertama dan menunggu waktu ke misa kedua. Waktu bom meledak di halaman parkir, saat banyak orang yang hendak masuk gereja untuk misa kedua.
Menurut Kabid Humas Polda Jatim, Komisaris Besar Polisi Frans Barung rentetan bom itu dimulai sekitar pukul 07.15 di gereja Katolik Ngagel, kemudian pukul 07.59 di GKI Diponegoro dan 08.06 di GPPS jalan Arjuno. Sontak televisi menyiarkannya langsung, begitu juga media online dan sosial penuh dengan peristiwa itu. Duka, kemarahan dan kata-kata yang saling menguatkan dari banyak pihak terlontar.
Ledakan bom di tiga gereja pada minggu pagi itu adalah pembelajaran kepada kita bahwa banyak hal yang terlalu menyibukkan otak banyak orang selama ini, seperti perang tagar ganti presiden, konflik-konflik di negara lain, pemilihan umum di negara lain adalah hal-hal yang tidak prioritas untuk negara kita. Justru hal yang harusnya menjadi prioritas yaitu soal kemanusian menjadi hal yang terlupakan atau paling tidak dianggap sebagai hal biasa.
Bom tiga gereja di Surabaya dan serangkaian kekerasan di Mako Brimob adalah hal yang mengusik rasa kemuanusiaan kita. Semua agama (tak hanya satu agama!) dilarang melakukan kekerasan apalagi membakar rumah ibadah. Gereja dilarang dibakar, Masjid dilarang dibakar, Pura dilarang dibakar, juga Kelenteng dilarang untuk dibakar, Karena disitulah 'rumah kediaman' Tuhan yang disembah oleh para penganut agama itu.
Juga penyerangan kepada aparat kepolisian yang hakekat polisi adalah bagian dari bangsa untuk menegakkan aturan. Jika tidak setuju dengan aturan bisa melakukan kritik tapi tidak menyerang dengan kekerasan seperti yang kita lihat beberapa waktu lalu. Menyerang sampai menghilangkan nyawa adalah perbuatan yang paling hina di dunia, sama halnya mengambil kewenangan Allah. Apalagi jika hanya menuruti ajaran sesat yang tak ada di kitab suci manapun.
Bom di Surabaya dan penyerangan di Mako Brimob adalah perbuatan yang menafikan rasa kemanusiaan kita sebagai manusia. Jika kita ingat ucapan Gus Dur atau Proklamator negara kita yaitu Soekarno maka yang paling hakiki dari agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Kita tak bisa menjunjung agama saja tanpa mengindahkan rasa kemanusiaan kita, karena di situlah inti ajaran agama dan kemuliaan  itu.Â
Karena itu marilah kita semua sadar akan hal-hal mulia. Menjelang puasa ini adalah saat tepat untuk meluruhkan ego kita sebagai seseorang atau satu kaum yang harus bisa menjunjung rasa kemanusiaan itu di atas segalanya. Marilah kita sama-sama mengejar pahala dan hidayah Allah tidak dengan kekerasan atapi dengan ibadah khusyuk.
Bulan Ramadan dan puasa adalah momentum untuk melihat kembali kemanusiaan kita. Karena dengan mengamalkan kemanusiaan itu, sesungguhnya kita sudah mengamalkan dan menjunjung agama dan Allah itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H