Aku tahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, Gerai tekukan rambutnya sangatlah cantik, Rasa ciptanya bagaikan kristal mutiara yang menyatu dengan kodrat alam, Begitu cantiknya hingga Rabbku menyebutnya aurat, dan tak rela mata-mata durjana liar memandangi kecantikannya, Kecantikan itu harus tetap suci terbungkus kain hijab.Â
Seperti halnya puisi ibu Indonesia karya Sukmawati, puisi ibu muslimah hasil cipta rasa Irene Radjiman ini juga menjadi bahan perbincangan. Tak sedikit yang menggunakan puisi ini sebagai jawaban atas puisi Sukmawati. Bahkan ada yang mengatakan Sukmawati melakukan plagiasi terhadap puisi ibu muslimah. Benar-tidaknya hal ini perlu klarifikasi lebih lanjut.
Apabila kita simak lebih dalam, ada yang menarik dengan fenomena yang terjadi saat ini. Puisi kontroversi Sukmawati begitu banyak menuai komentar. Menariknya, puisi yang notabene merupakan karya sastra, dalam kasus ini tak hanya sastrawan yang angkat suara, namun semua kalangan ikut unjuk pendapat.Â
Seperti yang kita ketahui bersama, arus besar kritik yang beredar mengerucut pada kesimpulan bahwa puisi itu menistakan agama. Ya, di Indonesia sensitifitas dalam agama begitu tinggi, karenanya setiap karya dilarang  menyinggung SARA. Apabila ini tetap dilakukan sama saja dengan membangunkan singa yang sedang tidur.
Agama memang mempunyai fungsi ambivalen. Dalam satu sisi mampu menjadi alat pemersatu dan satu sisi agama berpotensi sebagai sumber konflik. Menghadapi persoalan ini kita selaku umat yang berke-Tuhanan memiliki tanggung jawab untuk melakukan deskontruksi serta rekontruksi pemahaman terhadap ajaran agama agar agama yang hadir di hadapan kita lebih terasa harmoni.
Bagaimana caranya? Â Pertama, selaku kaum beragama harus menunjukkan kebijaksanaan dan kearifan dalam menghadapi problem yang menyinggung agamanya. Semisal dalam kasus puisi ibu Indonesia.Â
Mungkin puisi Ibu Muslimah di atas merupakan salah satu cara yang tepat (menjawab dengan karya sastra pula). Dapat juga dilakukan klarifikasi secara santun, bukan mencaci dengan membabi buta. Karena sekali lagi kita adalah kaum beragama.
Kedua, para leluhur kita telah mengajarkannya dengan elok yakni integrasi antara agama dan budaya. Mungkin secara teori keduanya berbeda, namun dalam praktiknya, dua hal ini bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.Â
Gus Dur selaku tokoh agama yang juga guru bangsa pernah mengajarkan bahwa budaya berguna sebagai media untuk menjalankan beberapa titik kegiatan beragama. Di dalam mengagungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara masif.
Kita dapat melihat hal ini, semisal pada agama Islam terdapat  tahlilan, pujian sebelum sholat dengan menggunakan langgam jawa. Di agama Kristen ada patung, lukisan, atau drama prosesi pada saat penyaliban Isa al-Masih.
Kita dapat pula melihat jenis prosesi lain seperti barongsai, yang sesungguhnya juga merupakan peristiwa agama. Ketika Sang Naga (dalam kepercayaan Kongfusian) berusaha mengejar pusaka Cuk yang bulat kecil dan kaya mutiara, maka di situ diperlambangkan sebuah pergulatan antara keangkaramurkaan dengan kearifan penguasa.Â
Sementara itu, orang-orang Hindu selalu menggunakan salah satu unsur budaya, yakni seni, di dalam upacara keagamaannya.
Maka patut dipertanyakan ketika ada tindakan yang mencoba memperbandingkan atau membenturkan antara agama dan budaya. Harus selalu kita ingat bahwa sangat penting untuk mengintegrasikan keduanya. Ketika agama dan budaya dapat direlasikan secara integral maka yang akan tercipta adalah perdamaian.Â
Jika perdamaian sudah menghiasi kehidupan  berbangsa dan bernegara, maka sangatlah mudah untuk kita mencapai puncak peradaban.@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H