Mohon tunggu...
Dewi Leyly
Dewi Leyly Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ASN

Life is a journey of hopes.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menjaga Nyala Api Menulis

7 Juni 2020   21:29 Diperbarui: 7 Juni 2020   21:33 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah di antara kalian yang memiliki hobi: MENULIS?

Menulis tentu tak asing bagi seorang siswa. Sejak di bangku kelas 1 SD (Sekolah Dasar), siswa telah diperkenalkan dengan huruf dan angka. Selanjutnya, di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) bahkan seumur hidup, seseorang akan selalu berhubungan dengan menulis.

Ya, secara umum, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mendefinisikan Menulis adalah membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil,   kapur, dan sebagainya). Lebih jauh lagi, secara khusus, KBBI juga mendefinisikan Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan. Untuk selanjutnya, agar persepsi kita sama, kita gunakan definisi Menulis seperti definisi khusus di atas.

Ketika Menulis menjadi hobi, kita akan gemar melakukannya di saat senggang kita. Ada yang bilang, Menulis itu sesungguhnya adalah bercerita (Warkasa, 2020). Jadi kalau kita suka bercerita, itu sama artinya kita sedang menulis secara lisan. Tinggal bagaimana kita mengolahnya dalam bentuk tulisan. 

Pintar Curhat = Pintar Menulis (Widz Stoops, 2020), anggap saja Menulis itu Seperti Berbicara Dengan Temanmu (Budi Susilo, 2020). Kalau kita percaya pada seseorang, kita bisa curhat dan berbicara apa saja kepada teman kita. Ketika Curhatan itu kita tulis, disitulah kita melakukan kegiatan yang disebut Menulis.

Oya, ada juga lho yang berpikiran, Anggaplah Menulis Itu Seperti Makanan Yang Kita Sukai (Apriani Dinni, 2020). Makanan kita butuhkan setiap hari, demikian pula menulis adalah asupan nutrisi bagi jiwa, yang bagus dilakukan setiap hari.

Ada kalanya, setelah beberapa waktu kita berkecimpung di dunia menulis, ada Saat Tak Ingin Menulis (Niek, 2020). Beberapa alasan kerap dilontarkan untuk mendukung hal tersebut. Mungkin karena kita bosan, banyak kegiatan lain yang harus diprioritaskan, kecewa karena kenyataan tak sesuai dengan angan-angan, dan seribu alasan lainnya kita gunakan untuk membenarkan posisi kita.

Saya tak hendak membahas tentang alasan-alasan tersebut. Karena setiap orang tentu mempunyai pergumulan hidup masing-masing. Di sini saya ingin membagikan kisah saya, untuk Menjaga Nyala Api Menulis. Menurut saya, Menulis itu seperti Nyala Api. Sekali ia dinyalakan, ada 2 kemungkinan yang menjadi kelanjutannya.

Yang pertama, nyala api itu akan terus menyala. Yang kedua, nyala api itu akan padam.

Nyala api bahkan bisa berupa jilatan-jilatan lidah api yang membubung ke angkasa seperti saat acara api unggun di kegiatan Pramuka, ketika api di kayu bakar disiram dengan bensin. Blubbb !!! Api menari meliuk-liuk, ia memberi makna dengan menghangatkan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Ketika kita menekuni hobi Menulis, ada beberapa hal yang dapat membantu kita menjaga nyala api menulis itu, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal, adalah faktor yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Apa saja yang memotivasi kita, menyemangati kita setiap waktu untuk tetap konsisten melakukan kegiatan menulis. Menulis sebagai katup pelepasan (katarsis) dari kegundahan dan kegembiraan hati (Ayah Tuah, 2020). Selain sebagai katarsis diri juga bermanfaat bagi orang lain (Budi Susilo, 2020). Siapa tahu dengan membaca tulisan kita, bisa menginspirasi orang lain melakukan hal-hal yang positif.

Faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri kita. Ada bermacam-macam faktor eksternal yang bisa menjaga nyala api menulis kita. Di sini saya akan membahas dua faktor eksternal yang menjadi pengalaman saya pribadi.

Yang pertama, berada di dalam lingkungan yang mendukung dunia Menulis.

Sejak masih dini, tepatnya ketika usia kanak-kanak, ayah saya memperkenalkan budaya membaca. Dengan membaca, akan memperkaya wacana menulis. 

Hingga saat di bangku Sekolah Dasar, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti lomba mengarang dalam acara Porseni (Pekan Olah Raga Dan Seni) tingkat Kecamatan. Menjadi salah satu juaranya, meski bukan juara pertama, memacu semangat untuk terus berkarya lewat tulisan.

Di bangku sekolah SMP  dan SMA, bertemu dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia yang menyenangkan ketika mengajar, mendapat PR (Pekerjaan Rumah) menulis kisah fiksi dan non-fiksi dengan apresiasi pada setiap tulisannya, adanya wadah Mading (Majalah Dinding) yang menampung hasil tulisan siswa, dan berteman dengan teman sekolah yang sama-sama menyukai Menulis merupakan lingkungan yang mendukung dunia menulis. 

Oh ya, ada 2 teman saya yang sama-sama suka menulis saat SMA. Yang satu, pecinta puisi. Karena kami sekelas, kami sering bertukar puisi atau membuat puisi bersama di atas sehelai kertas tisu. Lalu menyalinnya di sebuah buku sebelum kertas tisu itu hancur. Yang kedua, pecinta Cerpen. Meski kami berbeda kelas, namun karena rumah kami searah, kami membahas alur cerita dalam perjalanan pulang sekolah sambil bersepeda.

Di bangku kuliah, saya juga tergabung dalam kepengurusan Buletin, majalah bulanan berskala lokal lingkup kampus tempat saya menimba ilmu. Sedikit banyak jadi belajar tentang hal tekhnis, bagaimana proses perencanaan, pengkoordiniran, dan  penerbitan buletin hingga  distribusi buletin sampai di tangan pembaca. Sebuah proses yang berulang dalam hitungan bulan. Dan itu cukup menarik buat saya.

Selesai kuliah, dan memasuki dunia kerja, sempat dunia menulis tak terjamah. Hingga saya bertemu dengan seorang kawan (yang tak mau disebut namanya... berasa seperti Voldemort-nya Harry Poter saja, hehehe) yang mengapresiasi puisi iseng saya yang terunggah di Facebook. Selain itu, saya juga bertemu dengan Ari Budiyanti, yang memperkenalkan saya pada Kompasiana dan Mas Warkasa, yang memperkenalkan saya pada Secangkir Kopi Bersama. Dua lingkaran inilah yang menjadi lingkungan menulis saya saat ini.

Selain berada dalam lingkungan yang mendukung dunia menulis, faktor eksternal kedua untuk menjaga nyala api menulis adalah apresiasi, dukungan dan motivasi dari orang-orang di sekitar kita.

Di dalam keluarga, ayah adalah seseorang yang mendukung dan mengapresiasi setiap pencapaian saya dengan hadiah buku. Itu adalah hadiah berharga yang beberapa diantaranya masih tersimpan sampai sekarang.

Di bangku SD, SMP dan SMA, peran guru dalam memotivasi dan mengapresiasi siswanya merupakan hal yang bisa memacu semangat menulis. Ketika mendapatkan pujian, meski mungkin tulisan kita 'nggak bagus-bagus amat', adalah hal yang melambungkan semangat untuk terus menulis. Awalnya mungkin sebatas pada tugas-tugas sekolah, siapa tahu bisa merambah dunia menulis di media sosial ataupun media komunikasi lainnya.

Ketika masa-masa perjuangan di bangku sekolah usai, ketika kita bertanggung jawab pada diri kita sendiri, mengikuti grup WA (Whats App) yang sesuai dengan hobi yang bisa dilakukan di masa senggang, akan mengalihkan kejenuhan pekerjaan utama kita. 

Seperti saat ini, grup WA KPB (Kompasianer Penulis Berbalas) dan grup WA SKB (Secangkir Kopi Bersama) adalah wadah yang selalu mengapresiasi, mendukung dan memotivasi dalam dunia menulis. Ketika ada yang mulai tidak bersemangat menulis, sesama teman akan saling menyemangati  menulis.

"Hajarrrrr... !!!" menjadi semangat motivasi yang didengungkan.
Sapaan : "Sudah menulis apa hari ini ?" seolah menjadi alarm yang mengingatkan untuk mencoretkan pena dalam karya.

Nah, bila kita berada dalam lingkungan yang mendukung dunia menulis dan bertemu dengan teman-teman di sekitar kita yang mengapresiasi, mendukung serta memotivasi hobi menulis, tinggal melecut semangat dari dalam diri kita sendiri.

Bersyukurlah bahwa kita bisa menulis. Karena tidak semua orang bisa melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan. Dan menjaga nyala api menulis selama hayat dikandung badan adalah salah satu cara untuk bersyukur. Bahkan ketika kita sudah tidak ada lagi di dunia ini, nyala api menulis kita tak akan pernah benar-benar padam. Bisa jadi nyala api menulis kita menyalakan semangat dan menginspirasi orang-orang di sekitar kita.

Salam Literasi.
(Ditulis sebagai sumbangsih Aliz Event for Library)

# 07.06.2020
# written by Dewi Leyly

Sudah ditayangkan di secangkir kopi bersama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun