"Mbah, Gunung Kelud ini masih bisa meletus lagi lho. Belum lagi kalau ada wedhus gembelnya. Bahaya Mbah, kalau disini terus," kembali sang anggota tentara merayu si kakek.
" Aku ora wedi (Aku tidak takut)," singkat jawaban si kakek.
Dan begitulah, seribu jurus rayuan maut tak mempan menggoyahkan niat si kakek untuk tetap berada di situ. Demi melihat kondisi si Mbah Putri (nenek) yang sesak nafas dan perlu dirujuk ke RS segera, maka meluncurlah truk pick up itu ke bawah, ke kota berjarak sekitar 20 km dimana ada RS disana. Sementara si kakek segera beranjak dari tempat itu, setengah berlari menuju rumahnya.
"Lho Bu, panjenengan tidak ikut turun tho ?" sapa seorang anggota tentara padaku.
 "Iya. Saya masih menunggu Pak Dokter dan Pak Min," jawabku.
"Oo begitu. Pak Dokter tadi sepertinya sudah turun dengan Pak Camat. Ya, panjenengan secepatnya turun saja. Ada berita suhu Kelud meningkat drastis lagi..." info sang anggota tentara.
"Oo nggih. Terima kasih infonya..." jawabku, lalu bersegera kembali ke Puskesmas.
Di Puskesmas masih belum ada tanda-tanda Pak Min. Saat itu, aku sendiri juga belum tahu, dimana rumah Pak Min. HP juga sudah benar-benar tidak berfungsi lagi. Dengan gelisah aku berdiri bersandar pada ambulans, memandang langit ke arah selatan. Nampak gumpalan asap keluar dari puncak Kelud. Tapi tidak nampak seperti wedhus gembel. Sedikit tenang batinku melihatnya, karena sebelumnya tiba-tiba aku  membayangkan Mbah Marijan yang duduk tersungkur menepati janjinya menunggui gunung Merapi. Nggak lucu lah, kalau aku memplagiat cerita akhir hidup beliau, sedangkan aku bagaikan tamu di lereng Kelud ini.
 Mungkin sekitar setengah jam aku menunggu kedatangan Pak Min dengan H2C (Harap-Harap Cemas). Dan itu terasa setengah abad lamanya.
Dalam hatiku berkata, besok-besok kalau diajak naik lagi dan aku tidak melakukan tugas apapun, akan kubuntuti Pak Dokter dari belakang. Gila saja, suasana mencekam seperti kota mati begini dan aku ditinggal sendiri.
Dan syukurlah, Pak Min kembali lagi ke Puskesmas.